cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

hukum administrasi negara uas 6


DPR SETUJUI RUU APBN TAHUN ANGGARAN 2011 DISETUJUI DISAHKAN MENJADI UU
27 Oct 2010
Business News Opini
Jakarta, 26 Oktober 2010 (Business News)

Rapat paripurna DPR menyetujui RUU APBN tahun anggaran 2011 disahkan menjadi UU. Ketua Badan Anggaran DPR, Melchias Markus Mekeng dalam laporannya mengatakan, berdasarkan perhitungan Pendapatan Negara Hibah, dan Belanja Negara, maka dalam tahun 2011 disepakati besaran defisit sebesar Rpl24,7 triliun atau 1,8% terhadap PDB.

Selain itu Badan Anggaran DPR, Pemerintah dan sbb.

Terhadap asumsi dasar tersebut, Fraksi Golkar memberikan catatan minta pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2011 sebesar 6,6% dan lifting minyak sebesar 1 juta barel per hari. Sedang Fraksi PDI-Perjuangan memberikan catatan meminta agar Pemerintah segera menyampaikan data 10 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang menyumbang lifting terbesar.

Sesuai dengan asumsi dasar tersebut, maka dalam tahun 2011 Pendapatan Negara Hibah sebesar Rpl. 104,9 triliun, yang terdiri atas Penerimaan Dalam

Dalam rangka pengendalian defisit APBN Tahun Anggaran 2011, disepakati bahwa Pemerintah melakukan penghematan belanja barang, khususnya perjalanan dinas dalam pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2011, agar lebih efektif dan efisien. Pembiayaan defisit tersebut bersumber dari pembiayaan non utang sebesar negatif Rp2,4 triliun dan pembiayaan utang sebesar Rpl27,0 triliun. Bank Indonesia menyepakati asumsi dasar dalam tahun 2011

Negeri sebesar Rpl.101,2 triliun dan Hibah sebesar Rp3,7 triliun. Penerimaan Dalam Negeri terdiri atas Penerimaan Perpajakan sebesar Rp850,3 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp250,9 triliun.

Badan Anggaran DPR dan Pemerintah sepakat dalam tahun 2011 Belanja Negara sebesar Rpl.229,6 trilun yang terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp836,6 triliun dan Transfer ke Daerah sebesar Rp393,0 triliun. (Dm)

Sumber :
http://bataviase.co.id/node/436126

Analisis
A.    Gambaran Umum tentang Anggaran
Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam UU No. 17 Tahun 2003 meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran.

Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.

Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Sehubungan dengan itu, dalam UU No. 17 Tahun 2003 ini disebutkan bahwa belanja negara dan belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD.

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah.

Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.

Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan gambaran yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.

Sebelum diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2003, anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran.

Sementara itu, penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undangundang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi.

Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.

Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD.

B. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, atau disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.

Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN
Selambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir, Presiden menyampaikan RUU tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN kepada DPR berupa Laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan

Struktur APBN
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara saat ini adalah:
Belanja Negara
Belanja terdiri atas dua jenis:

Belanja Pemerintah Pusat, adalah belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan Pemerintah Pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan). Belanja Pemerintah Pusat dapat dikelompokkan menjadi: Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Pembiayaan Bunga Utang, Subsidi BBM dan Subsidi Non-BBM, Belanja Hibah, Belanja Sosial (termasuk Penanggulangan Bencana), dan Belanja Lainnya.
Belanja Daerah, adalah belanja yang dibagi-bagi ke Pemerintah Daerah, untuk kemudian masuk dalam pendapatan APBD daerah yang bersangkutan. Belanja Daerah meliputi:
-.    Dana Bagi Hasil
-.    Dana Alokasi Umum, adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum terdiri dari:
-.    Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi
-.    Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten/Kota
Jumlah Dana Alokasi Umum setiap tahun ditentukan berdasarkan Keputusan Presiden. Setiap provinsi/kabupaten/kota menerima DAU dengan besaran yang tidak sama, dan ini diatur secara mendetail dalam Peraturan Pemerintah. Besaran DAU dihitung menggunakan rumus/formulasi statistik yang kompleks, antara lain dengan variabel jumlah penduduk dan luas wilayah
Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintahan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
DAK termasuk Dana Perimbangan, di samping Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Otonomi Khusus.
Pembiayaan
Pembiayaan meliputi:

Pembiayaan Dalam Negeri, meliputi Pembiayaan Perbankan, Privatisasi, Surat Utang Negara, serta penyertaan modal negara.
Pembiayaan Luar Negeri, meliputi:
-.    Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman Program dan Pinjaman Proyek
-.    Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri, terdiri atas Jatuh Tempo dan Moratorium.
Asumsi APBN
Dalam penyusunan APBN, pemerintah menggunakan 7 indikator perekonomian makro, yaitu:

Produk Domestik Bruto (PDB) dalam rupiah
Pertumbuhan ekonomi tahunan (%)
Inflasi (%)
Nilai tukar rupiah per USD
Suku bunga SBI 3 bulan (%)
Harga minyak indonesia (USD/barel)
Produksi minyak Indonesia (barel/hari)
Fungsi APBN
APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum.

APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya.

Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan, Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun tersebut. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka negara dapat membuat rencana-rencana untuk medukung pembelanjaan tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan membangun proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar.
Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak.
Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian.
Fungsi distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Prinsip penyusunan APBN
Berdasarkan aspek pendapatan, prinsip penyusunan APBN ada tiga, yaitu:

Intensifikasi penerimaan anggaran dalam jumlah dan kecepatan penyetoran.
Intensifikasi penagihan dan pemungutan piutang negara.
Penuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara dan penuntutan denda.
Sementara berdasarkan aspek pengeluaran, prinsip penyusunan APBN adalah:

Hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan.
Terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan.
Semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan atau potensi nasional.
Azas penyusunan APBN

Penyusunan dan penetapan APBN
Tujuan dan fungsi dan klasifikasi APBN (Pasal 11):

APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang- undang.
APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.
Pasal 1 angka 13 UU No. 17 Tahun 2003 mendefinisikan pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih
Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Pasal 1 angka 14 UU No. 17 Tahun 2003 mendefinisikan belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih
Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja
Rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan kementerian negara/lembaga pemerintahan pusat.
Rincian belanja negara menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.

Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

Ketentuan umum penyusunan APBN (Pasal 12):
APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.

Dalam menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
Defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.
Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antargenerasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan dana cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.

Mekanisme penyusunan APBN (Pasal 13):

Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.
Mekanisme penyusunan APBN Pasal 14

Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya

Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.

Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun.

Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.

Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Mekanisme penyusunan dan penetapan APBN (Pasal 15):

Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya.
Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN. Perubahan Rancangan Undang-undang tentang APBN dapat diusulkan oleh DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran
Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan
APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
C.    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
APBD terdiri atas:
    Anggaran pendapatan, terdiri atas

Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain
Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat.
    Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah.
    Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya

Penyusunan dan penetapan APBD
Tujuan dan fungsi dan klasifikasi APBD (Pasal 16):

APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah.
APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih
Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja
Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Rincian belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan perangkat daerah/lembaga teknis daerah.
Rincian belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial.
Rincian belanja daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.

Ketentuan umum penyusunan APBD (Pasal 17):

APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan
Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antar generasi, sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
Mekanisme penyusunan APBD (Pasal 18):

Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.
DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Mekanisme penyusunan APBD (Pasal 19):

Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah tahun berikutnya.
Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
Mekanisme penyusunan dan penetapan APBD (Pasal 20):

Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya.
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.
DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD. Perubahan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dapat diusulkan oleh DPRD sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.

hukum perorangan dan kekeluargaan islam 3

Putusnya Hubungan Perkawinan

1. Perkawinan

Perkawinan ditujukan untuk seumur hidup dan kebahagiaan bagi pasangan suami istri yang bersangkutan. Keluarga yang kekal dan bahagia, itulah yang dituju. Banyak perintah-perintah Tuhan dan rasul yang bermaksud untuk ketentraman keluarga seumur hidup tersebut.

Perceraian adalah haram hukumnya. Banyak larangan tuhan dan rasul mengenai perceraian suami dan istri tersebut. Ada pula larangan tuhan itu dalam bentuk sindiran dan dalam kesimpulan-kesimpulan dalam ayat tersebut.

Pada Q.S. An-nisa ayat 19 di sebutkan bahwa kita harus tetap mencintai pasangan kita walaupun kita tidak senang dengan perilaku pasangan kita. Seorang suami hendaknya tetap mencintai istrinya walaupun ada perasaan tidak senang dari istrinya tersebut. Adapun prosedur syiqaq atau pertengkaran yang dialami dalam hubungan suami istri juga tidak dapat langsung menceraikan pasangannya. Diatur dalam Q.S. An-nisa ayat 35 yang menyebutkan bahwa jika terjadi pertengkaran tersebut dalam hubungan sepasang suami istri, maka hendaknya masing-masing suami dan istrinya tersebut menunjuk seorang hakam untuk mewakilinya agar dapat menyelesaikan masalah mereka dengan baik.

Untuk masalah kedua hakam ini, jika kedua hakam menghendaki tidak terjadi cerai, maka pasangan tersebut tidak bisa cerai. Dan begitu pula jika salah satu hakam menghendaki tidak cerainya suami istri tersebut maka, kedua pasangan tersebut diwajibkan untuk melanjutkan hubungan tersebut. Sepasang suami istri diperbolehkan cerai apabila kedua hakam menyetujui untuk mereka bercerai.

Begitu pula dari pihak istri yang tidak dapat begitu saja meminta cerai terhadap suaminya dikarenakan tidak senang, karena hal itu diharamkan. Di sini jelas dikatakan bahwa haram hukumnya jika seorang wanita pada asasnya terlarang minta cerai dari suaminya kalu tidak ada alasan-alasan yang sungguh-sungguh dapat dibenarkan.

2. Arti Perceraian


Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talaq” atau “furqah”. talaq berarti membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang berarti perceraian antara suami-isteri.

Perkataan talaq dalam istilah ahli Figh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan arti yang khusus. talaq dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. talaq dalam arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.

Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang disebabkan karena talaq maka untuk selanjutnya istilah talaq yang dimaksud di sini ialah talaq dalam arti yang khusus.

Meskipun Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas – asas Hukum Islam.


3. Sebab-sebab Putusnya Hubungan Perkawinan


Yang menjadi sebab putusnya perkawinan ialah:

1. talaq ta'liq

2.  Syiqaq

3. Ila’

4. Zhihar

5. Fahisyah

6. Khulu’

7. Fasakh

8. Li’an

9. Murtad


3.1. Talaq


3.1.1. Hak Talaq

Talaq adalah suatu bentuk perceraian yang umum terjadi di Indonesia. Tata cara kurang dikenal walaupun sebenarnya ada cara-cara lain tersebut. Sehingga kata talaq telah dianggap sebagai penyebab perceraian terbesar di Indonesia.

Hukum Islam menentukan bahwa hak talaq adalah pada suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talaq diberikan kepada isteri. Di samping alasan ini, ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak talaq pada suami, antara lain:

a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri waktu dilaksanakan akad nikah.

b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan dianjurkan membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada isterinya) setelah suami mentalaq isterinya.

c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia mentalaqnya.

d. Perintah-perintah mentalaq dalam Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan pada suami.


3.1.2. Syarat-syarat menjatuhkan talaq


Seperti kita ketahui bahwa talaq pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan/dibenarkan, maka untuk sahnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu ada pada suami, isteri, dan sighat talaq.


a. Syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talaq ialah:

· Berakal sehat

· Telah baliqh

· Tidak karena paksaan

Para ahli Fiqh sepakat bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talaq ialah telah dewasa/baliqh dan atas kehendak sendiri bukan karena terpaksa atau ada paksaan dari pihak ketiga. Dalam menjatuhkan talaq suami tersebut harus dalam keadaan berakal sehat, apabila akalnya sedang terganggu. Misalnya: orang yang sedang mabuk atau orang yang sedang marah tidak boleh menjatuhkan talaq. Mengenai talaq orang yang sedang mabuk kebanyakan para ahli Fiqh berpendapat bahwa talaqnya tidak sah, karena orang yang sedang mabuk itu dalam bertindak adalah di luar kesadaran. Sedangkan orang yang marah kalau menjatuhkan talaq hukumnya dalah tidak sah. Yang dimaksud marah di sini ialah marah yang sedemikian rupa, sehingga apa yang dikatakannya hamper-hampir di luar kesadarannya.


b. Syarat-syarat seorang isteri supaya sah ditalaq suaminya ialah:

· Isteri telah terikat denagn perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila akad-nikahnya diragukan kesahannya, maka isteri itu tidak dapat ditalaq oleh suaminya.

· Isteri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya dalam waktu suci itu.

· Isteri yang sedang hamil.


c. Syarat-syarat pada sighat talaq

Sighat talaq ialah perkataan/ucapan yang diucapkan oleh suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talaq pada isterinya. Sighat talaq ini ada yang diucapkan langsung, seperti “saya jatuhkan talaq saya satu kepadamu”. Adapula yang diucapkan secara sindiran (kinayah), seperti “kembalilah ko orangtuamu” atau “engkau telah aku lepaskan daripadaku”. Ini dinyatakan sah apabila:

· Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talaq pada isterinya.

· Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan talaq kepada isterinya. Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan talaq kepda isterinya maka sighat talaq yang demikian tadi tidak sah hukumnya.

Mengenai saat jatuhnya talaq, ada yang jatuh pada saat suami mengucapkan sighat talaq (talaq “munziz”) dan ada yang jatuh setelah syarat-syarat dalam sighat talaq terpenuhi (talaq “muallaq”).


3.1.3. Macam-macam talaq


a. talaq raj’i adalah talaq, di mana suami boileh merujuk isterinya pada waktu iddah. talaq raj’i ialah talaq satu atau talaq dua yang tidak disertai uang ‘iwald dari pihak isteri.


b. talaq ba’in, ialah talaq satu atau talaq dua yang disertai uang ‘iwald dari pihak isteri, talaq ba’in sperti ini disebut talaq ba’in kecil. Pada talaq ba’in kecil suami tidak boleh merujuk kembali isterinya dala masa iddah. Kalau si suami hendak mengambil bekas isterinya kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan melaksanakan akad-nikah. Di samping talaq ba’in kecil, ada talaq ba’in besar, ialah talaq yang ketiga dari talaq-talaq yang telah dijatuhkan oleh suami. talaq ba’in besar ini mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali isterinya baik dalam masa ‘iddah maupun sesudah masa ‘iddah habis. Seorang suami yang mentalaq ba’in besar isterinya boleh mengawini isterinya kembali kalau telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

· Isteri telah kawin dengan laki-laki lain.

· Isteri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.

· Isteri telah dicerai oleh suaminya yang baru.

· Talah habis masa ‘iddahnya.


c. talaq sunni, ialah talaq yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Yang termasuk talaq sunni ialah talaq yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri dan talaq yang dijatuhkan pada saat isteri sedang hamil. Sepakat para ahli Fiqh, hukumnya talaq suami dalah halal.


d. talaq bid’i, ialah talaq yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-Quran maupun Sunnah Rasul. Hukumnya talaq bid’i dalah haram. Yang termasuk talaq bid’i ialah:

· talaq yang dijatuhkan pada isteri yang sedang haid atau datang bulan.

· talaq yang dijatuhkan pada isteri yang dalam keadaan suci tetapi telah dicampuri.

· talaq yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalaq isterinya untuk selama-lamanya.


3.1.4.. Talaq Ta'liq

Arti daripada ta'liq ialah menggantungkan, jadi pengertian talaq ta'liq ialah suatu talaq yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu.

Di Indonesia pembacaan talaq ta'liq dilakukan oleh suami setelah akad nikah. Adapun sighat talaq ta'liq yang tercantum dalam buku nikah dari Departemen Agama adalah sebagai berikut:

Sewaktu-waktu saya:

a. Meninggalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut;

b. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;

c. Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu;

d. Atau saya membiarkan/tidak memperdulikan isteri saya itu enam bulan lamanya.

Kemudian isteri saya tidak rela dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut dan isteri saya itu membayar uang sebesar Rp …….. sebagai ‘iwald (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talaq saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang ‘iwald (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.

talaq satu yang dijatuhkan suami berdasarkan ta'liq, mengakibatkan hak talaq suami tinggal dua kali, apabila keduanya kembali melakukan perkawinan lagi.

Kalau kita perhatikan jatuhnya talaq dengan ta'liq ini hampir sama dengan khuluk, sebab sama-sama disertai uang ‘iwald dari pihak isteri. Sehingga talaq yang dijatuhkan atas dasar ta'liq dianggap sebagai talaq ba’in, suami boleh mengambil isterinya kembali dengan jalan melaksanakan akad-nikah baru.




3.2. Syiqaq


Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.

Menurut Syekh Abdul ‘Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang boleh diangkat menjadi hakam adalah sebagai berikut:

a. Berlaku adil di antara pihak yang berpekara.

b. Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami-isteri itu.

c. Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami-isteri.

d. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.


3.3. Ila’


Arti daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalaq ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.

Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:

a. Suami yang mengila’ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.

b. Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri atau mentalaqnya.

Bila sampai batas waktu empat bulan itu habis dan suami belum mentalaq isterinya atau meneruskan hubungan suami-isteri, maka menurut Imam Abu Hanifah suami yang diam saja itu dianggap telah jatuh talaqnya satu kepada isterinya.

Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu:

a. Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau

b. Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau

c. Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga maka

d. Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.

Pembayaran kafarah ini pun juga harus dilaksanakan apabila suami mentalaq isterinya dan merujuknya kembali pada masa ‘iddah atau dalam perkawinan baru setelah masa ‘iddah habis.


3.4. Zhihar


Zhihar adalah prosedur talaq, yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta akibat zhihar sama dengan ila’. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:

a. Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu sama denagn punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi.

b. Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh Allah dan sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa.

c. Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri. Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar kafarahnya lebih dulu.

d. Bentuk kafarahnya adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan berurut menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yakni:

· Memerdekakan seorang budak, atau

· Puasa dua bulan berturut-turut, atau

· Memberi makan 60 orang miskin.


3.5. Fahisyah


Fahisyah atau faahisyah atau kekejian. Dalam hukum perkawinan mengenai soal-soal putusnya hubungan perkawinan ini, fahisyah diartikan sebagai zinah. Fahisyah adalah semua perbuatan buruk dari pihak suami atau pihak istri yang mencemarkan nama baik keluarga tersebut. Dengan demikian fahisyah dapat dimaksudkan dengan berbuat zina, pemabok, pemadat, penjudi dan sebagainya.

Penyelesaian persoalna jika terjadi fahisyah adalah pertama kali dengan mengadakan usaha untuk memperbaiki yang sudah terjadi tersebut, dan jika tidak berhasil dapat menjurus pada suatu perceraian. Kalau yang melakukan fahisyah itu adalah isteri maka suami menahan isteri agar insyaf dan kalau tidak berhasil suami dapat menjatuhkan talaq. Jika suami yang melakukan fahisyah sang isteri dapat mengambil keputusan untuk bercerai.


3.6. Khuluk


Talaq khuluk atau talaq tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya talaq satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.

Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi hak talaq yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”.

Syarat sahnya khuluk ialah:

a. Perceraian dengan khuluk itu harus dilaksanakan dengan kerelaan dan persetujuan suami-isteri.

b. Besar kecilnya uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan bersama antara suami-isteri.

Apabila tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai jumlah uang penebus, Hakim Pengadilan Agama dapat menentukan jumlah uang tebusan itu.

Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu, tidak usah menanti isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri, hal ini disebabkan karena khuluk itu terjadi atas kehendak isteri sendiri.


3.7. Fasakh


Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.

Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di pengadilan:

a. Suami sakit gila.

b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh.

c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin.

d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya.

e. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.

f. Suami pergi tanpa diketahui tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.


3.8. Li’an


Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya.

Proses pelaksanaan perceraian karena li’an diatur dalam Al-Quran syrat An-Nur ayat 6-9, sebagai berikut:

a. Suami yang menuduh isterinya berzina harus mengajukan saksi yang cukup yang turut menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut.

b. Kalau suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya ia tidak terkena hukuman menuduh zina, ia harus mengucapkan sumpah lima kali. Empat kali dari sumpah itu ia menyatakan bahwa tuduhannya benar, dan sumpah kelima menyatakan bahwa ia sanggup menerima laknat Tuhan apabial tuduhannya tidak benar (dusta).

c. Untuk membebaskan diri dari tuduhan si isteri juga harus bersumpah lima kali. Empat kali ia menyatakan tidak bersalah dan yang kelima ia menyatakan sanggup menerima laknat Tuhan apabila ia bersalah dan tuduhan suaminya benar.

d. Akibat dari sumpah ini isteri telah terbebas dari tuduhan dn ancaman hukuman, namun hubungan perkawinan menjadi putus untuk selama-lamanya.



3.9. Murtad


Jika ada salah satu dari suami atau isteri yang keluar dari agama islam atau murtad, maka putuslah hubungan pernikahan mereka. Jika pihak wanita telah bersusah payah untuk bercerai tetapi tidak bisa karena suami tetap mempertahankannya, maka sang isteri memaklumkan dirinya untuk keluar dari agama islam dan putuslah hubungan pernikahan mereka. Jangan sampai hal ini dipergunakan untuk dapat terjadinya perceraian suami isteri. Suami tidak boleh bersikeras menahan isterinya  yang memang tidak dapat hidup bersama lagi dalam menuju kebaikan menurut kehendak Allah. Dalam hal ini digunakan prosedure syiqaq untuk menyelesaikan masalah ini.



4. Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan


4.1. Cara-cara Putusnya Perkawinan


Di dalam Undang-Undang perkawinan tidak diatur secara rinci mengenai cara-cara perceraian seperti yang diatur dalam Hukum Islam, melainkan hanya menyebut secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ini dalam tiga golongan seperti yang tercantum dalam pasal 38 sebagai berikut:

a. Karena kematian salah satu pihak

Putusnya hubungan perkawinan karena kematian salah satu pihak tidak banyak menimbulkan persoalan karena putusnya perkawinan di sini bukan karena kehendak salah satu pihak, tetapi karena kehendak Tuhan.

b. Perceraian

Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Walaupun perceraian itu urusan pribadi, tetapi perlu ada campur tangan pemerintah karena demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum.



4.2. Alasan-alasan Perceraian


Berdasarkan pasal 39 ayat 2 beserta penjelasannya dan dipertegas lagi dalam pasal 19 P.P. No. 9/1975, alasa menggugat perceraian sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahaykan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumahtangga.


4.3. Tatacara Perceraian


Berdasarkan pasal 39-41 Undang-Undang Perkawinan dan dalam Peraturan Pemerintah No. 9/1975 pasal 14-36, perceraian ada 2 macam yaitu:

a. Cerai talaq

Tatacara tentang seorang suami yang hendak mentalaq isterinya diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 14-18 yang pada dasarnya dalah sebagai berikut:

· Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Di sini ditegaskan bahwa pemberitahuan itu harus dilakukan secara tertulis dan yang diajukan oleh suami tersebut bukanlah surat permohonan tetapi surat pemberitahuan. Setelah terjadi perceraian di muka Pengadilan, maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.

· Setelah pengadilan menerima surat pembritahuan tersebut, kemudian setelah mempelajarinya, selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima surat itu, Pengadilan memanggil suami dan isteri yang akan bercerai itu, untuk dimintai penjelasan.

· Setelah Pengadilan mendapat penjelasan dari suami-isteri, ternayat memang terdapat alasan-alasan untuk bercerai dan Pengadilan berpendapat pula bahwa antara suami-isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumahtangga, maka Pengadilan memutuskan untuk mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu.

· Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu di dalam sidang tersebut.

· Kemudian Ketua Pengadilan memberi surat keterangn tentang terjadinya perceraian tersebut, dan surat keterangan tersebut dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.

· Perceraian itu terjadi terhitung pada saat terjadi perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.



b. Cerai gugat

Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dan perceraian itu terjadi dengan suatu putusan Pengadilan.

Tatacara perceraian ini diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 20-36 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:

· Pengajuan gugatan

ü Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tergugat.

ü Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai kediaman yang tetap, begitu juga tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.

ü Demikian juga gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat penggugat.

· Pemanggilan

a) Pemanggilan harus disampaikan kepda pribadi yang bersangkutan apabila tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan dengannya. Pemanggilan ini dilakukan setiap akan dilakukan persidangan.

b) Yang melakukan pemanggilan tersebut adalah jurusita (Pengadilan Negeri) dan petugas yang ditunjuk (Pengadilan Agama).

c) Panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut dan sudah diterima oleh para pihak atau kuasanya selambat-lambatanya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat harus dilampiri dengan salinan surat gugat.

d) Pemanggilan bagi tergugat yang tempat kediamannya tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkan melalui satu atau beberapa suratkabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan yang dilakukan dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.

e) Apabila tergugat berdiam di luar negeri pemanggilannya melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

· Persidangan

a) Persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan oleh Pengadilan selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat gugatan di Kepaniteraan. Khusus bagi gugatan yang tergugatnya bertempat kediaman di luar negeri, persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhiitung sejak dimasukkannua gugatan perceraian itu.

b) Para pihak yang berpekara dapat menghadiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan.

c) Apabila tergugat tidak hadir dan sudah dipanggil sepatutnya, maka gugatan itu dapat diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali kalau gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

d) Pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

· Perdamaian

a) Pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak baik sebelum maupun selama persidangan sebelum gugatan diputuskan.

b) Apabila terjadi perdamaian maka tidak boleh diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

c) Dalam usaha mendamaikan kedua belah pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang lain atau badan lain yang dianggap perlu.

· Putusan

a) Pengucapan putusan Pengadilan harus dilakukan dalam sidang terbuka.

b) Putusan dapat dijatuhkan walaupun tergugat tidak hadir, asal gugatan itu didasarkan pada alasan yang telah ditentukan.

c) Perceraian dianggap terjadi dengan segala akibat-akibatnya terdapat perbedaan antara orang yang beragama Islam dan yang lainnya. Bagi yang beragama Islam perceraian dianggap terjadi sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedang bagi agama lain terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat.


4.4. Akibat Perceraian


Hal-hal apa yang perlu dilakukan oleh pihak isteri maupun suami setelah terjadi perceraian diatur dalam pasal 41 Undang-Undang Perkawinan yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggungjawab pihak bapak, kecuali dalam kenyataannya bapak dalam keadaan tidak mampu sehingga tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.