cari tugasmu

Selasa, 27 Desember 2011

Hukum Lingkungan PIDANA

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Terdakwa DRG. Julius Ahmad Zuir selaku Direktur RSIA Hermina Depok dan Arie Setyo Wahyudi, SKM, selaku Kepala Bagian Sarana dan Prasarana RSIA Hermina Depok pada hari Sabtu tanggal 25 Mei 2002 sampai dengan hari Selasa tanggal 6 Juli 2004 pada kurun waktu tahun 2002, tahun 2003, dan tahun 2004 bekerja di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Hermina Depok di dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Cibinong, sebagai orang yang melakukan atau menyuruh lakukan atau turut melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dengan cara sebagai berikut bahwa Julius sejak tahun 1998 bekerja di RSIA Hermina Depok dan terakhir sebagai Direktu RSIA Hermina Depok, termasuk dalam pengelolaan sistem IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang dihasilkan oleh Rumah Sakit tersebut. Sedangkan  Arie Setyo sejak bulan April menjabat sebagai Kepala Bagian Pengembangan Fisik Departemen Pengembangan RSIA Hermina Group yang mempunyai tugas dan bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengelola sistem IPAL yang dihasilkan oleh RSIA Hermina Depok.
            Berdasarkan data UKL/UPL (Upaya Kelola Lingkungan/Upaya Pemantauan Lingkungan) yang disahkan oleh Departemen Kesehatan, RSIA Hermina Depok tergolong dalam katergori tipe C, serta diwajibkan mempunyai IPAL untuk mengolah limbah cair yang dihasilkannya yaitu, limbah cair yang mengandung Kuman Ekoli, Amoniak, Detergen, Chlor, Sulfida, BOD5, COD, dan Phenol yang harus dikelola oleh IPAL sehingga sesuai dengan baku mutu sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-58/MENLH/12/1995 lalu dibuang ke Sungai Ciliwung sesuai izin Pemerintah Daerah Kota Depok. Namun dilihat dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh Laboratorium Tekhnologi dan Manajemen Lingkungan Institut Pertanian Bogor sampel air limbah RSIA Hermina Depok masih dibawah standar, sehingga keluar surat teguran berupa peringatan. Namun pada Rabu tanggal 2 Juni 2004, pihak Polres Depok melakukan pengambilan sampel limbah cair dengan kesimpulan limbah cair RSIA Hermina Depok telah melampaui batas ambang baku mutu yang ditetapkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Sehingga Julius dan Arie Setyo dikenakan pidana pencemaran lingkungan. hal tersebut menyebabkan Julius dijatuhkan pidana selama satu tahun penjara dengan masa percobaan selama dua tahun, dan Arie Setyo dijatuhkan pidana satu tahun penjara dengan masa percobaan selama dua tahun. Selain itu kedua terdakwa dikenakan denda sebesar Rp.100.000.000,- subsidair enam bulan kurungan. Penjatuhan pidana tersebut didasarkan dengan barang bukti yang ditemukan, yaitu satu jerigen air limbah dari bak in let dan satu jerigen air limbah dari bak out let. Putusan Pengadilan Negeri Cibinong memutuskan bahwa Drg. Julius sebagai Direktur RSIA Hermina Depok terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan melawan hukum menjalankan kegiatan Pengelolaan Limbah Cair yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan hidup dan menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara dan denda sebesar Rp. 125.000.000,00. Dan membebaskan tuduhan terhadap Arie Setyo karena tidak terbukti melakukan kesalahan tersebut.

B.     Rumusan Masalah
  1. Kedudukan terdakwa dan apa yang didakwakan?
  2. Apakah dapat diterapkan tindak pidana korporasi? (Apakah syarat tindak pidana korporasi telah terpenuhi? Apakah tindak pidana korporasi sama dengan penyertaan?
















BAB 1

ANALISIS KEDUDUKAN TERDAKWA DAN APA YANG DIDAKWAKAN

KedudukanTerdakwadanApa yang Didakwakan
A.    Terdakwa dan Apa yang Didakwakan
1.      Kedudukan Terdakwa
Pada Putusan tersebut terdapat dua Terdakwa yaitu:
1.      Terdakwa I: DRG. JULIUS AHMAD ZUIR sebagai Direktur RSIA Hermina Depok atau selaku penanggungjawab seluruh operasional RSIA Hermina Depok termasuk mengawasi dan mengelola IPAL RSIA Hermina Depok.
2.      Terdakwa II: ARIE SETYO WAHYUDI, SKM. selaku karyawan Hermina Group Jatinegara Jakarta yang pernah betugas selama 2 (dua) bulan yaitu dari bulan Mei sampai dengan Juni 2004 yang diperbantukan untuk membantu Pelaksana Harian (PLH) Kepala Bagian Rumah Tangga (Kabag Rumga) RSIA Hermina Depok.
Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup:
1)      Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
2)      Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
3)      Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
4)      Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
Menurut pertimbangan hakim, berdasarkan dengan ketentuan Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 maka Terdakwa I dalam kapasitas sebagai Direktur yang bertanggungjawab atas seluruh operasional RSIA Hermina Depok termasuk operasional Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) RSIA Hermina Depok dapat dipertanggunjawabkan sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup.
Dalam hal ini, Terdakwa I bertindak untuk dan atas nama Badan Hukum RSIA Hermina Depok dan dapat dikatakan sebagai pelaksana atau yang memberi perintah atau pemimpin dalam perbuatan atas nama Badan Hukum RSIA Hermina Depok. Menurut analisis kami, kedudukan Terdakwa I sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup sudah sesuai dengan Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997.
Sedangkan pertimbangan hakim yang diberikan pada Terdakwa II adalah bahwa Terdakwa II tidak dapat dikatakan bertindak atas nama sendiri atau bertindak atas nama Badan Hukum RSIA Hermina Depok sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997. Menurut analisis kami, Terdakwa II tidak bisa dikatakan sebagai Terdakwa karena Dia tidak bertindak atas nama sendiri atau bertindak atas nama Badan Hukum RSIA Hermina Depok melainkan hanya pihak yang diperbantukan membantu PLH Kabag Rumga sdr. Rispayuni karena Rispayuni berlatar belakang pendidikan Sarjana Ekonomi kurang memahami masalah IPAL guna melakukan pengawaan dan hasilnya serta saran-saran disampaikan oleh Terdakwa II kepada Kepala Bagian Rumah Tangga (Kabag Rumga) RSIA Hermina Depok dan kepada Terdakwa I.
2.      Dakwaan terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II
Dakwaan alternatif yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, yaitu:
Primair       : Melanggar Pasal 41 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Subsidair   : Melanggar pasal 43 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP































BAB 2

TINDAK PIDANA KORPORASI DAN PENYERTAAN


Teori korporasi
Dalam kepustakaan hukum pidana, dapat dimintainya pertanggungjawaban pidana korporasi dimana dikenal beberapa teori, antara lain teori identifikasi, teori pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability) dan teori pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang (strict liability). Masing-masing teori memiliki karakteristik tersendiri dengan kelebihan dan kekurangannya, yang akan diuraikan sebagai berikut:
a.       Teori identifikasi
Di negara-negara Anglo Saxon seperti Inggris, dalam rangka mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana telah dikenal konsep direct corporate criminal liability atau dikenal dengan doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. Dalam pengertian ini, perusahaan dapat melakukan delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Dalam teori ini, perusahaan bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat senior di dalam perusahaan sepanjang ia melakukannya dalam ruang lingkup kewenangan atau dalam urusan transaksi perusahaan.
b.      Teori pertanggungjawaban pidana pengganti
Teori ini secara sederhana dapat dikatakan sebagai pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.
c.       Teori pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang
Menurut E. Sefullah Wiradipradja, adalah tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan kata lain adalah suatu prinsip tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataanya ada atau tidak.

Berdasarkan Pasal 45 UU No. 23 Tahun 1997, dapat dikatakan bahwa undang-undang ini telah secara tegas mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana dengan menyebutkannya sebagai badan hukum, prseroan, perserikatan, yayasan, dan bahkan tidak hanya dibatasi dengan itu, tetapi dengan menjaga kemungkinan lain dari bentuk korporasi dengan istilah yang disebut dengan “organisasi lain”. Hal ini membawa konsekuensi bahwa tidak menutup kemungkinan subjek hukum korporasi dalam bentuk organisasi selain yang disebutkan dalam rumusan pasal ini sebagai subjek tindak pidana. Penyebutan badan hukum sebagai subjek tindak pidana berarti membawa konsekuensi pada dapat dipidananya korporasi.
Berdasarkan Pasal 46 ayat (1) UU No 23 Tahun 1997, terlihat bahwa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana adalah :
a.       Korporasi yang meliputi: badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain;
b.      Yang melakukan perintah untuk melakukan tindak pidana (yang bertindak sebagai pemimpin);
c.       Kedua-duanya
Pertanggungjawaban pidana korporasi belum lengkap bila hanya disebutkan tentang siapa yang dimintai pertanggungjawaban pidana dan kapan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Oleh sebab itu perlu rumusan tentang sanksi apa yang dapat dijatuhkan kepada korporasi. Dalam Pasal 45 UU No 23 Tahun 1997 terlihat bahwa dalam hal tindak pidana dilakukan korporasi, berarti terdapat pemberatan terhadap tuntutan dan penjatuhan pemidanaan yaitu sepertiga, dalam Pasal 47 dikatakan bahwa sanksi yang dapat dijatuhkan adalah sanksi yang sebagaimana tercantum dalam KUHP, dan sanksi sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Pegelolaan Lingkungan Hidup, disertai dengan sanksi berupa tindakan tata tertib, berupa: perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.
Pelaksanaan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat bertanggung jawab dalam delik lingkungan tetap harus melihat unsur kesalahan dalam perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi. Pembuat suatu perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Dalam ilmu hukum hal ini kita kenal dengan asas “ tiada pidana tanpa kesalahan ( geen straf zoonder schuld )”. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah atau ia tidak memiliki unsur kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya sebagai pertanggung jawaban. Untuk menentukan adanya kesalahan pada seseorang harus memenuhi beberapa unsur, yaitu:
a.       Adanya kemampuan bertanggung jawab si Pembuat
b.      Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya yang berupa kesengajaan atau kealpaan
c.       Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf

Mari kita lihat Pasal 116 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dapat dikenakan pertanggungjawaban korporasi tidak hanya badan hukum/korporasinya saja akan tetapi juga para pengurusnya. Dalam menentukan pertanggungjawaban tersebut maka ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan. Korporasi tersebut mutlak merupakan obyek dari norma hukum yang bersangkutan.
Dalam hal ini tindak pidana dilakukan atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain. Tentunya tindak pidana yang dilakukan ditentukan secara limitative.
Korporasi yang bersangkutan atau manajemennya memiliki power terhadap orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut, termasuk terhadap pelaku fisik tindakan yang menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain korporasi dan pengurusnya akan dikenakan pertanggungjawaban pidana apabila dapat menerima tindakan-tindakan melanggar dari pegawainya sehingga menimbulkan pencemaran.

Pengurus disini adalah:          
-                                                                                        Pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana
-                                                                                        Pemimpin kegiatan tindak pidana
Apabila manajemen dari korporasi tersebut telah mengetahui tindak pidana yang telah dilakukan, dan membiarkannya maka dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Selanjutnya apabila manajemen memiliki kewenangan untuk menghentikan tindakan pelaku fisik yang melakukan pencemaran lingkungan, tapi tidak melakukannya, maka dapat dikenakan tindak pidana lingkungan[1].
Sebagai pribadi ciptaan hukum, tentu saja wujud PT bersifat abstrak (artificial). Oleh karena itu,agar PT dapat melakukan tindakan hukum dalam mencapai tujuannya, diperlukan organ untuk menjalankan kegiatan usahanya.

Teori penyertaan
Penyertaan diartikan sebagai turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana[2]. Hal ini dikarenakan dalam melakukan delik, sering pembuat dibantu oleh orang lain, dan justru karena turut sertanya orang lain ini memberi bantuan tapi tidak membuat, maka peristiwa pidana itu mungkin dilakukan[3].
Penyertaan merupakan buah pikiran dari Von Feurbach, seorang sarjana hukum berkebangsaan Jerman, yang pada pokoknya mengenal dua jenis peserta, yaitu[4]:
a.       mereka yang langsung berusaha terjadinya peristiwa pidana
b.      mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka yang langsung berusaha terjadinya peristiwa pidana, yaitu mereka yang tidak langsung berusaha
Teori penyertaan ini dibuat untuk menghukum mereka yang bukan melakukan atau bukan pembuat dan tidak dibuat untuk menghukum orang-orang yang perbuatannya memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana yang bersangkutan[5]. Penyertaan ini dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua anasi-anasir peristiwa pidana tersebut[6]. Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori penyertaan ini muncul untuk menuntut dan menghukum pihak yang tidak secara langsung melakukan suatu tindak pidana, namun memiliki pertanggungjawaban di dalamnya. Namun, penyertaan bukanlah suatu perluasan delik, tapi merupakan suatu pertanggungjawaban pidana karena dalam penyertaan terdapat kehendak untuk terjadinya delik.
Pengaturan mengenai penyertaan terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pada pasal 55 dan tambahannya pada pasal 56. Adapun pasal 55 KUHP berbunyi:

(1)   Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1.      mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2.      mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2)   Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Lalu, pasal 56 KUHP berbunyi:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1.      mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2.      mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.
Oleh kedua pasal tersebut di atas, dapat digolongkan empat jenis peserta tindak pidana, yaitu[7]:
a.       yang melakukan perbuatan (plegen, dader), yaitu pelaku tindak pidana
b.      yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, meddelijke dader), yaitu suatu keadaan apabila sorang lain menyuruh si pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku itu tidak dapat dikenai hukuman pidana karena si pelaku hanya dijadikan “alat” belaka[8]. Pada doen plegen, niat berasal dari penyuruh, sedangkan perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana dilakukan oleh pelaku. Pelaku tidak dapat dikenakan pidana, hanya orang yang menyuruh melakukan sajalah yang dapat dikenai pidana.
c.       yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader). Dalam hal medeplegen, Hoge Raad Belanda mengemukakan dua syarat yaitu adanya kerja sama yang disadari antara para turut melakukan tindak pidana yang merupakan suatu kehendak bersama dan mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu[9]. Pada medeplegen, niat muncul dari seluruh peserta dan perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana dilakukan oleh seluruh peserta, serta pidana dapat dikenakan kepada seluruh peserta.
d.      yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker). Pada awalnya, orang yang digerakkan tidak memiliki niat. Namun, setelah bertemu dengan pembujuk, orang tersebut menjadi terbujuk untuk melakukan suatu tindak pidana. Menurut perumusan yang tercantum dalam pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP, maka unsur-unsur membujuk itu adalah[10]:
-          dengan memakai salah satu atau beberapa cara-cara yang disebut dalam Undang-Undang pidana, sengaja membujuk (mengajak) seorang lain melakukan satu perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang pidana.
-          adanya kehendak pada yang melakukan (yang dibujuk) untuk melakukan perbuatan yang dilarang Undang-Undang pidana itu, adalah akibat dari yang membujuk
-          yang dibujuk telah melaksanakan atau telah mencoba perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan yang dikehendakinya
-          yang dibujuk bertanggungjawab penuh menurut hukum pidana
Maka, dapat disimpulkan bahwa pada uitlokken, niat timbul setelah dibujuk dan orang yang terbujuk tersebutlah yang memenuhi unsur tindak pidana. namun, semua pihak yang terlibat dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
-          yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige). Dalam hal ini, pembantuan dilakukan dengan sengaja pada waktu dan sebelum tindak pidana dilakukan. Pada waktu terjadinya tindak pidana, orang yang membantu mengetahui dan dalam ukuran umum, normal, wajar tahu atau patut menduga mengenai tindak pidana tersebut. Sebelum terjadinya tindak pidana, yaitu dengan melakukan cara-cara yang limitatif berupa memberikan kesempatan, sarana maupun keterangan untuk dapat terlaksananya tindak pidana tersebut[11]. Penggerak di sini memiliki kepentingan terhadap terlaksananya delik, sedangkan pembantu tidak memiliki kepentingan terhadap terlaksananya delik.
Analisis Terhadap Tindak Pidana Korporasi Dalam Kasus Rumah Sakit Ibu dan Anak Hermina Depok

KASUS POSISI
1. Terdakwa I:
·         Nama Lengkap            : DRG. JULIUS AHMAD ZUIR
·         Tempat Lahir               : Lintau, Sumatera Barat
·         Umur/Tanggal Lahir    : 15 Juli 1940
·         Jenis Kelamin              : Laki-laki
·         Kebangsaan                 : Indonesia
·         Tempat Tinggal           : Jl. Sederhana V No. 8 RT.03/04 Kel. Gedong Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur
·         Agama                         : Islam
·         Pekerjaan                     : Direktur RSIA HERMINA DEPOK
·         Pendidikan                  : Sarjana
2. Terdakwa II:
·         Nama Lengkap            : ARIE SETYO WAHYUDI, SKM
·         Tempat Lahir               : Yogyakarta
·         Umur/Tanggal Lahir    : 11 Januari 1978
·         Jenis Kelamin              : Laki-laki
·         Kebangsaan                 : Indonesia
·         Tempat Tinggal           : Kel. Dukuh RT. 10/03 Kec. Kramatjati Jakarta Timur
·         Agama                         : Islam
·         Pekerjaan                     : Karyawan/Kepala Bagian Sarana dan  Prasarana RSIA HERMINA DEPOK
·         Pendidikan                  : Sarjana
Untuk selanjutnya kedua pihak diatas disebut sebagat PARA TERDAKWA. Dalam hal ini PARA Terdakwa diatas dituduh telah melakukan pencemaran terhadap lingkungan dari adanya Limbah yang dihasilkan Oleh Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) HERMINA DEPOK. Dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum mendakwa para Terdakwa dengan beberapa dakwaan terkait dengan masalah ini. Karena menurut mereka, limbah yang dihasilkan oleh RSIA HERMINA DEPOK ini melebihi ambang baku mutu yang telah ditetapkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor : Kep-58/MENLH/12/1995, adapun perincian batasan baku mutu tersebut akan dijelaskan dalam tabe dibawah ini :
NO
Parameter
Satuan
Kadar Maksimum
1
BOD5
Mg/l
30
2
COD
Mg/l
80
3
Amoniak Bebas (NH3)
Mg/l
0,1
4
TSS
Mg/l
30
5
PH
-
9
Tabel 1
Tabel diatas menjelaskan batasan maksimum baku mutu yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor : Kep-58/MENLH/12/1995. Menurut Pendakwa, baku mutu yang dilakukan oleh RSIA HERMINA DEPOK menyalahi aturan yang dijelaskan dalam tabel diatas. Sehingga pada akhirnya, Laboratorium Tehnologi dan Manajemen Lingkungan Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Kriminalistik Mabes Polri Nomor LAB : 2991/KTF/2004 melakukan pemeriksaan secara langsung kelapangan dengan melakukan penelitian terhadap sampel air limbah RSIA HERMINA. Adapun jumlah baku mutu yang dilanggar oleh RSIA HERMINA DEPOK akan dijelaskan pada tabel berikut ini (Bandingkan dengan tabel 1 diatas).

No
Parameter
                         Sampel



Limbah Cair
(Inlet)
Limbah Cair
(Outlet)




1
BOD5/mgl
46
42,2
2
COD/mgl
336,54
103,97
3
Amoniak Bebas (NH3)/mgl
2,1
0,26
4
TSS/mgl
256
104
5
PH/-
8
8
Tabel 2 (Tanggal 16 Juli 2004)
Jika kita bandingkan Tabel 2 dengan Tabel 1, memang sangat jelas sekali terlihat adanya baku mutu yang tidak memenuhi syarat seperti yang telah ditetapkan oleh Kementerian sebagaimana telah dijelaskan dalam Tabel 1 diatas. Sehingga kesimpulannya adalah Limbah Cair RSIA HERMINA DEPOK untuk Parameter BOD5, COD, TSS, dan Amoniak Bebas (NH3) telah melampaui batas ambang baku mutu sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor : Kep-58/MENLH/12/1995. Maka dari itu dalam hal ini, terhadap tindakan yang dilakukan oleh PARA TERDAKWA oleh kelompok kami akan mencoba menganalisa apakah adanya unsure Tindak Pidana Korporasi dan apakah juga terdapat Penyertaan yang disamakan dalam Tindakan korporasi.
ANALISIS TERHADAP PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM
·         Pertimbangan hakim mengenai penerapan tindak pidana korporasi (apakah syarat tindak pidana korporasi telah terpenuhi, apakah tindak pidana korporasi sama dengan penyertaan)?
Dalam kasus RSIA HERMINA DEPOK ini, dasar hukum yang didalilkan kepada Terdakwa adalah Pasal 41 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun kedua terdakwa akhirnya diputuskan oleh Hakim melanggar Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 1997 jo Pasal 55 ayat 1 KUHP. Adapun unsur dari Pasal 43 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:
Unsur  Pasal 43 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997:
1.      Barang siapa
2.      Dengan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
3.      Padahal mengetahui perbuatan melanggar itu bisa menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dan membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
Adapun alasan hakim memutuskan untuk menjatuhkan Pasal 43 diatas adalah terbuktinya kedua Terdakwa yang telah melakukan pelanggaran seperti yang ada dalam unsure-unsur pasal 43 diatas. Akan tetapi, setelah dipahami lebih lanjut masalah tindak pidana yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kelompok kami memberikan saran dan mengkritisi terhadap Putusan Hakim tersebut. Adapun kelompok kami berpendapat bahwa Putusan Hakim tersebut kurang sempurna, hal tersebut dikarenakan kurang cermatnya Hakim dalam memasukkan unsur-unsur pasal yang kemungkinan terkait terhadap kasus. Seharus nya hakim juga memasukkan unsur pasal 46 ayat 1 dan 2 UU Nomor 23 Tahun 1997. Akan lebih sinkron jika pasal 43 diatas dikaitkan dengan pasal 46 ayat 1 dan 2 yang menurut kelompok kami sangat erat kaitannya. Adapun bunyi Pasal 46 ayat 2 dan 2 UU Nomor 23 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:
1.      Pasal 46 ayat 1 :
Jika tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang member perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

2.      Pasal 46 ayat 2 :
Jika tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
Menurut kelompok kami, Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim tersebut kurang cermat dan kurang sempurna, karena tidak memasukkan unsur Pasal 46 ayat 1 dan 2 yang telah dijelaskan diatas. Adapun alasan kelompok kami dalam mengkritisi Putusan Hakim tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Dalam Pasal 43 UU terkait, kata “barang siapa” menurut kelompok kami tidak jelas diperuntukkan untuk siapa. Dalam kasus RSIA HERMINA DEPOK ini kata “barang siapa” tadi kurang jelas apakah untuk RSIA HERMINA DEPOK (sebagai badan hukum) atau untuk para TERDAKWA I dan II sebagai pengurusnya. Sedangkan dalam tindak pidana korporasi secara jelas bahwa yang di dakwakan  sesuai dengan unsur dari pasal 46 ayat 1 diatas adalah sebagai berikut:
·         Korporasi yang meliputi: badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain;
·         Yang melakukan perintah untuk melakukan tindak pidana (yang bertindak sebagai pemimpin);
·         Kedua-duanya
2.      Dengan memasukkan unsur Pasal 46 ayat 1 dan 2 UU No. 23 Tahun 1997, bisa memberikan secara jelas bahwa Tindak Pidana ditujukan kepada Badan Hukum dan Pihak yang memberikan perintah serta pihak yang melakukan atas adanya perintah selain itu jelas diperuntukkan kepada pihak yang memiliki hubungan secara langsung terhadap Badan Hukum tersebut baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan yang lain.
Dengan demikian kesimpulan kelompok kami terhadap Putusan Hakim ini kurang sempurna  dengan tidak memasukkan unsur Pasal 46 ayat 1 dan 2 sebagaimana yang telah kami jelaskan diatas. Seharusnya hakim dalam membuat sebuah keputusan atau membuat kebijakan haruslah dengan kecermatan dan ketelitian yang tinggi supaya kebijakan tersebut tidaklah timpang.
ANALISIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORPORASI TERHADAP RSIA HERMINA DEPOK DAN APAKAH TINDAK PIDANA KORPORASI TERSEBUT SAMA DENGAN PENYERTAAN.
1. Tindak Pidana Korporasi Dalam Kasus RSIA HERMINA DEPOK
Dalam pembukaan awal pembahasan ini, dibagian landasan teori sub bahasan ini telah dijelaskan mengenai Tindak Pidana Korporasi dan Penyertaan. Mengenai tindak pidana korporasi, disini akan sedikit kami jelaskan secara singkat. Adapun tindak pidana korporasi itu sendiri adalah tindak pidana yang ditujukan kepada Badan Hukum dan dapat dikenakan pertanggungjawaban korporasi tidak hanya badan hukum/korporasinya saja akan tetapi juga para pengurusnya. Jika dikaitkan dalam Kasus ini, Badan Hukum nya adalah RSIA HERMINA DEPOK, sedangkan Pengurusnya adalah Terdakwa I DRG. JULIUS AHMAD ZUIR sebagai Direktur RSIA HERMINA DEPOK dimana dalam hal ini sebagai pihak yang melakukan perbuatan (dader) dan menyuruh (doen plegen, meddelijke dader), yaitu suatu keadaan apabila sorang lain menyuruh si pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku itu tidak dapat dikenai hukuman pidana karena si pelaku hanya dijadikan “alat” belaka[12]. Pada doen plegen, niat berasal dari penyuruh, sedangkan perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana dilakukan oleh pelaku. Pelaku tidak dapat dikenakan pidana, hanya orang yang menyuruh melakukan sajalah yang dapat dikenai pidana. Dalam hal ini Terdakwa I sebagai yang melakukan dan menyuruh melakukan, dan itu berarti bahwa Terdakwa II adalah pihak yang disuruh melakukan dan yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader) dimana Tergugat II tersebut melakukan perbuatan tersebut secara sadar dan bersama-sama dengan Terdakwa I, dan itu artinya memang ada kerja sama diantara keduanya. Maka dari itu wajar saja jika kedua Terdakwa diatas dihukum.

Dari uraian diatas, dapat lah ditarik sebuah pertanyaan apakah unsur-unsur atau karakteristik Tindak Pidana Korporasi telah dipenuhi? Berdasarkan pasal 46 ayat 1 diatas adalah sebagai berikut:
·         Korporasi yang meliputi: badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain;
·         Yang melakukan perintah untuk melakukan tindak pidana (yang bertindak sebagai pemimpin);
·         Kedua-duanya
Berdasarkan penjelasan unsur pasal 46 ayat 1 diatas, Korporasi terdiri dari salah satunya adalah Badan Hukum dalam hal ini adalah RSIA HERMINA DEPOK, dan seperti yang kita ketahui adalah selain Badan Hukum yang di kenakan sanksi, juga bisa para pengurus Badan Hukum tersebut dalam Hal ini adalah Tergugat I sebagai Direktur RSIA HERMINA DEPOK dan Tergugat II sebagai Karyawan/Kepala Bagian Sarana dan Prasarana RSIA HERMINA DEPOK. Itu artinya adalah unsur tindak pidana korporasi sudah terpenuhi.
APAKAH TINDAK PIDANA KORPORASI DALAM KASUS RSIA HERMINA DEPOK SAMA DENGAN PENYERTAAN?
            Sama halnya dengan Tindak Pidana Korporasi diatas, mengenai penjelasan tentang Penyertaan juga dijelaskan dalam landasan teori sub pokok bahasan ini. Disini kami akan menjelaskan atau menyinggung sedikit mengenai apa itu penyertaan. Penyertaan diartikan sebagai turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana[13]. Hal ini dikarenakan dalam melakukan delik, sering pembuat dibantu oleh orang lain, dan justru karena turut sertanya orang lain ini memberi bantuan tapi tidak membuat, maka peristiwa pidana itu mungkin dilakukan.
Pengaturan mengenai penyertaan terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pada pasal 55 dan tambahannya pada pasal 56. Adapun pasal 55 KUHP berbunyi:


1.      Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
- poin 1 : mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
- poin 2 : mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
2.      Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Lalu, pasal 56 KUHP berbunyi:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
-poin 1 : mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
-poin 2 : mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.
Adapun berdasarkan penjelasan pada pasal diatas, terdapat 4 karakteristik peserta tindak pidana, yaitu sebagai berikut:
·         Yang melakukan perbuatan (plegen, dader), yaitu pelaku tindak pidana, dalam hal ini adalah   Pihak Terdakwa I dan Terdakwa II secara jelas telah melakukan tindak pidana pencemaran sesuai dengan pasal-pasal yang didalilkan terhadap mereka.
·         Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, meddelijke dader), yaitu suatu keadaan apabila sorang lain menyuruh si pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku itu tidak dapat dikenai hukuman pidana karena si pelaku hanya dijadikan “alat” belaka[14]. Pada doen plegen, niat berasal dari penyuruh, sedangkan perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana dilakukan oleh pelaku. Pelaku tidak dapat dikenakan pidana, hanya orang yang menyuruh melakukan sajalah yang dapat dikenai pidana. Dalam hal ini, pihak Terdakwa I sebagai pihak yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana. Dan itu berarti Pihak Terdakwa II sebagai pihak yang disuruh, akan tetapi tetap dipidana dikarenakan keduanya melakukan tindak pidana tersebut secara bersama-sama dan secara sadar. Pihak Terdakwa II disini dikategorikan sebagai pihak yang turut melakukan perbuatan.
e.       yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader). Dalam hal medeplegen, Hoge Raad Belanda mengemukakan dua syarat yaitu adanya kerja sama yang disadari antara para turut melakukan tindak pidana yang merupakan suatu kehendak bersama dan mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu[15]. Pada medeplegen, niat muncul dari seluruh peserta dan perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana dilakukan oleh seluruh peserta, serta pidana dapat dikenakan kepada seluruh peserta. Dalam hal ini pihak Terdakwa II adalah pihak yang disuruh dan pihak yang juga turut melakukan perbuatan pidana tersebut, hal yang menyebabkannya adalah adanya kerja sama secara sadar antara Terdakwa I dengan Terdakwa II yang membuat keduanya dapat di pidana kan.
f.       yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker). Pada awalnya, orang yang digerakkan tidak memiliki niat. Namun, setelah bertemu dengan pembujuk, orang tersebut menjadi terbujuk untuk melakukan suatu tindak pidana. Menurut perumusan yang tercantum dalam pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP. Karakteristik ini TIDAK BISA dikategorikan untuk Terdakwa I dan Terdakwa II.

Dengan demikian, kelompok kami menarik kesimpulan bahwa Tindak Pidana Korporasi sama dengan Penyertaan. Hal tersebut dikarenakan Terdakwa I dan Terdakwa II secara jelas melakukan perbuatan yang dilanggar dimana Terdakwa I sebagai yang melakukan perbuatan, yang menyuruh melakukan perbuatan, sedangkan Terdakwa II sebagai yang melakukan perbuatan, yang disuruh melakukan perbuatan atau yang turut melakukan perbuatan yang dikarenakan adanya kerja sama secara sadar terhadap Terdakwa I.



















BAB 3
ANALISA TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM MENGENAI PEMBUKTIAN UNSUR-UNSUR SANKSI (PIDANA UMUM (GENERAL CRIME) DAN PIDANA KHUSUS (SPESIFIC CRIME)) SERTA DELIK MATERIIL DAN DELIK FORMIL

A.    Analisa Terhadap Pertimbangan Hakim Mengenai Pembuktian Unsur-Unsur Sanksi (Pidana Umum (General Crime) dan Pidana Khusus (Spesific Crime))
I.  Landasan Teori
1.      UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
            Unsur formal meliputi[16] :
·         Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia.
·         Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.
·         Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.
·         Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
·         Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.
      Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi[17] :
·         Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP).
·         Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.
·         Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan.
2.      Hubungan Antara Pidana Umum dengan Pidana Khusus
                        Dari apa yang telah di uraikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, pada         dasarnya KUHP telah mengatur mengenai unsur dan syarat suatu tindak pidana. Hal tersebut berhubungan langsung dengan pengertian dari Pidana Umum yang memiliki pengertian setiap Perbuatan Melawan Hukum yang ketentuannya di atur di dalam undang-undang, dalam hal ini adalah KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
                        Namun, pada kenyataannya tidak semua tindakan melawan hukum diatur   ketentuannya di dalam hukum pidana, misalnya di dalam ruang lingkup hukum  lingkungan, di dalam KUHP tidak mengatur secara jelas dan khusus mengenai hokum tersebut, maka dari itulah timbul adanya suatu peraturan atau undang-undang baru yang    mencakup hal tersebut yang ketentuannya berada di luar KUHP namun tetap         berhubungan dengan hukum pidana umum. Hal tersebut sesuai dengan pengertian dari Pidana Khusus yaitu tindakan melawan hukum atau penyimpangan-penyimpangan yang        ketentuannya diatur di luar KUHP secara lebih khusus, terperinci dan mendalam namun tetap berhubungan dengan hukum Pidana Umum[18]. Sehingga dalam hal ini asas lex      specially derogat legi generalis sangat mempengaruhinya, yang mengakibatkan kedudukan Pidana Khusus lebih tinggi dibandingkan dengan Pidana Umum di dalam suatu hal tertentu.
           
II.  Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim
            Di dalam surat dakwaan tersebut, terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu:
Primair:                : Melanggar pasal 41 ayat (1) UU No.23 Tahun 1997 jo Pasal 55 ayat ke-1 KUHP.
Subsidair             :  Melanggar pasal 43 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
            Di dalam kasus ini hakim mengenakan dakwaan Subsidair di dalam putusannya (mengenai unsur-unsur dan alasan serta penyebab dijelaskan di bagian lain di dalam makalah ini), yang menggunakan Pasal 43 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
            Menurut pendapat kelompok kami, hakim dalam hal ini telah benar dalam menggunakan pasal tersebut dikarenakan hakim telah benar dalam memilih di dalam Pasal 43 ayat (1) UU No.23 Tahun 1997 yang berisi:
"Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalansi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk  menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)."
Di dalam ketentuan tersebut di atur mengenai ketentuan dan sanksi yang sangat berhubungan dengan perkara dalam putusan tersebut, yang dimana di dalam KUHP tidak dijelaskan di dalamnya, sehingga hal ini membuktikan bahwa hakim telah benar dalam menggunakan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 dengan mengesampingkan KUHP (karena tidak terdapat ketentuannya di dalam KUHP, maka digunakan Pasal yang lebih spesifik) sesuai dengan asas lex specially derogat legi generalis (Pidana Khusus). Sedangkan di dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang berisi:
"mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan”
Di dalam ketentuan tersebut di atur mengenai ketentuan dan sanksi yang sangat berhubungan dengan perkara dalam putusan tersebut, yang dimana di ketentuan tersebut terdapat di dalam KUHP mengenai Penyertaan di Dalam Tindak Pidana, maka dalam hal ini benar jika tindakan penyertaan ini menggunakan ketentuan dalam KUHP karena ketentuan mengenai hal tersebut telah dijelaskan di dalam KUHP.

B.     Delik Materiil dan Delik Formil
I.   Landasan Teori
1.         Pengertian Delik Formil dan Delik Materil di dalam Hukum Pidana
            Delik Formil adalah delik yang terjadi dan terselesai juga dengan diadakan perbuatan yang terhadapnya diancam hukuman[19]. Delik formil mengatur tindakan-tindakan, baik yang diperintahkan maupun yang dilarang dengan tidak melihat akibat dari tindakan tersebut. Delik ini disebut juga Delict met formele oms-chrijving, yaitu delik yang dianggap telah “voltoid” (sepenuhnya terlaksana) dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang[20]. Contoh penerapan delik formil dalam KUHP adalah pasal 362 KUHP (pencurian) dimana unsur-unsur tindakan dalam pasal tersebut haruslah terpenuhi semua bahwa mengambil barang orang lain adalah dilarang.
            Delik Materil adalah delik yang memiliki hubungan kausalitas antara penyebab dan akibat dari tindakan tersebut (dengan timbulnya akibat dari perbuatan yang bersangkutan maka baru dapat dikatakan sebagai delik materil). Jenis delik ini disebut: “delict met materieele omshrijving yaitu delik yang baru dianggap “voltooid met het intreden van het givolg” (terlaksana penuh dengan timbulnya akibat) yang dilarang[21]. Contoh penerapan delik materil adalah pasal 338 KUHP (Pembunuhan). Pasal tersebut menekankan pada akibat yang ditimbulkannya, yaitu matinya seseorang, bukan merumuskan pada bagaimana sifat perbuatan tersebut yang mengakibatkan matinya seseorang.

2.         Pengertian Delik Formil dan Delik Materil di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

            Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur beberapa hal terkait upaya preventif dalam menangani kasus hukum lingkungan, yaitu dari Pasal 41 sampai dengan pasal 48 serta dalam penjelasan umum undang-undang tersebut. Tindak pidana yang diperkenalkan dalam Undang- Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ada dua macam, yaitu : Delik Materil (generic crimes) dan Delik Formal (specific crimes)[22].

Delik Formil
            Delik Formil diartikan sebagai perbuatan yang melanggar aturan-aturan hukum administrasi seperti Izin dan/atau Dokumen Pemantauan dan Pengelolaan Lingkungan (DPPL).[23] Hal yang ditekankan dalam delik formil adalah melakukan perbuatan pidana. Ada atau tidak akibat daripada tindakan sudah menyebabkan pihak yang memenuhi kualifikasi pasal tersebut untuk dipidana. Ada atau tidaknya akibat dalam delik ini hanya menjadi unsur pemberat/peringan daripada pidana yang dijatuhkan. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Hermien Hadiati Koeswadji bahwa[24]:
“perumusan delik yang demikian itu (delik formal) sudah langsung dapat dihukum, karena yang dilarang oleh peraturannya ialah perbuatannya (yang dengan sengaja atau karena lalai itu). Tidak peduli apapun akibatnya, sebab perbuatannya saja sudah bertentangan dengan peraturan. Jadi, dapat dihukumnya seseorang karena perbuatan yang dilakukannya itu, dan tidak peduli apa akibatnya. Akibatnya tidak menjadi soal”.
Proses pembuktian dalam penggunaan delik formil memudahkan proses pembuktian mengenai siapa yang telah melakukan tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Koenadi Hardjasoemantri[25]:
Apabila dengan delik material sukar untuk membuktikan perbuatan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan, misalnya untuk membuktikan sesuatu usaha dan/ atau kegiatan yang mencemarkan, karena baku mutu ambien sungai telah dilampaui ambang batasnya padahal sumber pencemaran dapat berupa limbah industri, limbah domestik dan limbah pertanian (pestisida), yang berarti multisource pollution, maka delik formal yang tercantum dalam pasal 43 ayat (1) dikaitkan dengan melepaskan atau membuang zat, energi dan/ atau komponen lain yang berbahaya dan beracun ke dalam air permukaan yang melanggar ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian cukup dibuktikan, bahwa usaha dan/ atau kegiatan yang bersangkutan limbahnya melampaui ambang batas yang ditetapkan oleh baku mutu efluen, yang pengukurannya dapat dilakukan di tempat penggelontoran limbah”.
            Delik Formil dikenal juga dengan sebutan Administrative Dependent Crimes. Ciri-ciri dari delik formil yaitu:
1.                  Specific Crime
2.                  Terkait dengan akibat yang ditimbulkan, dalam delik ini tidak perlu ada pembuktian
            korban yang jatuh namun dapat diperkirakan kemungkinan korbannya, menitikberatkan     pada kualifikasi perbuatannya.
3.                  Selalu didahului oleh proses administrasi dan telah dijatuhkan sanksi administrasi untuk    perbuatan pelaku tersebut
4.                  Penjatuhan pidana dilaksanakan apabila pelaku tidak melaksanakan proses administrasi     atau mengulangi perbuatan
Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 dapat kita klasifikasikan bahwa pasal 43 dan pasal 44 sebagai delik formil.

Delik Materil
            Delik Materil merupakan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan[26]. Hal yang ditekankan dalam delik materiil adalah munculnya akibat dari suatu perbuatan yang dilarang. Ciri-ciri dari delik materil yaitu:
1.                  General Crime
2.                  Akibat yang ditimbulkan telah ada fakta tentang akibat tersebut
3.                  Penjatuhan pidana bersifat premium remidium
Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 dapat kita klasifikasikan bahwa pasal 41 dan Pasal 42 sebagai delik Materil karena perumusan dalam pasal-pasal tersebut adalah pada muncul/tidak munculnya akibat daripada suatu perbuatan yang dilarang.
            Ketentuan Hukum Pidana dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH)  yang baru sebagaimana diuraikan di atas tidak hanya mengatur perbuatan pidana pencemaran dan perusakan (generic crimes) atau delik materil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41-42 UU Nomor 23 Tahun 1997, akan tetapi UUPLH juga mengatur perbuatan pidana pelepasan dan pembuangan zat atau komponen lain yang berbahaya dan beracun serta menjalankan instalasi yang berbahaya dan beracun atau delik formal sebagaimana diatur dalam Pasal 43-44.
            Mengaplikasikan hukum pidana pada pencemaran lingkungan hidup akan selalu menimbulkan problematika oleh karena struktur dari undang-undang lingkungan hidup. Masalah pokoknya adalah bahwa kepentingan dan nilai dari lingkungan hidup tidak nyaman dengan perlindungan mutlak dalam hukum. Aktivitas industri mungkin mengakibatkan keuntungan personal bagi pelakunya, namun tidak bagi masyarakat secara luas. Oleh karena itu, kebanyakan hukum lingkungan di berbagai negara bertujuan pada kontrol administratif pencemaran lingkungan hidup, biasanya melalui sistem lisensi dan perizinan. Lembaga administratif menetapkan tingkat atau batas izin dari polusi lingkungan hidup.
            Di sini terdapat jalinan yang kuat antara hukum administratif dengan hukum pidana di mana kebanyakan undang-undang lingkungan hidup menyebutkan bahwa hukuman ditujukan untuk ketiadaan izin atau pelanggaran terhadap standar emisi. Hal ini disebut sebagai ‘’administrative dependence” dalam hukum pidana lingkungan. Namun, dengan meningkatnya doktrin hukum,  doktrin-doktrin tersebut menunjukkan kelemahan-kelemahan dari ‘’administrative dependence”. Doktrin tersebut mengkritik ketergantungan mutlak hukum pidana pada hukum administratif. Oleh karena itu, dikembangkanlah penggunaan model lain dari kriminalisasi pencemaran lingkungan hidup yang tidak terlalu bergantung hukum administratif.

Administrative Dependence of Environmental Criminal Law
            Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa terdapat hubungan yang kuat antara hukum administratif dengan hukum pidana lingkungan. Satu konsekuensi dari struktur hukum pidana lingkungan ini adalah bahwa nilai ekologi tidak dilindungi secara langsung melalui hukum pidana. Pencemaran tidak selalu dihukum. Ya, beberapa sarjana berpendapat bahwa konsekuensi dari ketergantungan hukum pidana lingkungan  pada administratif adalah tidak semua pencemaran lingkungan hidup secara otomatis dihukum. Hukuman atau pemidanaan hanya jika perbuatan pelaku merupakan pelangaran atas kewajiban administratif. 

Problems With The Absolute Administrative Dependence of Environmental Criminal Law
Too limited protection of The Environment
            Perlindungan terhadap lingkungan hidup di sini sangatlah terbatas karena hanya menilai pada dilanggar atau tidaknya baku mutu emisi yang merupakan ketentuan administratif. Di sini perlindungan terhadap lingkungan hidup dapat dikatakan dilakukan secara tidak langsung. Dalam hal ini pula hukum pidana diterapkan secara lepas dari dampak spesifik atau ancaman akan bahaya terhadap lingkungan hidup. Ya, dengan menerapkan “absolute administrative dependence” dalam hukum pidana lingkungan, bisa dibilang ketentuannya menghukum “abstract endangerment”. Hukum pidana diterapkan setiap ketentuan administratif dilanggar, baik dengan ada atau tidak adanya bahaya terhadap lingkungan hidup. Singkatnya, jika ketentuan atau kewajiban administratif telah dipenuhi, tidak ada jaminan perlindungan melalui hukum pidana. Di lain sisi, jika kewajiban administratif belum ditentukan seluruhnya, juga tidak dapat dijamin perlindungan melalui hukum pidana. Dengan begitu, hal tersebut menimbulkan kesan bahwa lebih dilindungi kepentingan administratif daripada nilai ekologi. 

Example : Bayer-Case
            Ketentuan hukum pidana lingkungan dengan “absolute administrative dependence” sulit untuk efektif dalam menyediakan perlindungan yang memadai bagi ekologi. Sejak ketentuan tersebut tidak lagi secara langsung bertujuan melindungi lingkungan hidup, ketentuan tersebut dapat dianggap tidak efektif  di mana di satu sisi tanggung jawab pidana akan diterapkan walaupun tidak ada kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dan di sisi lain selama tidak ada aturan administratif yang dilanggar, tidak ada pidana yang akan diterapkan bahka jika kerusakan lingkungan hidup yang cukup besar terjadi.  
            Kerugian di atas dapat terlihat saat kasus Bayer di mana beberapa karyaman dari Bayer diadili di hadapan Pengadilan Pidana Antwerp karena membuang limbah tanpa izin. Limbah tersebut merupakan suatu titanium dioxide yang dibuang ke permukaan air. Namun begitu, pengadilan menyatakan bahwa Bayer tidak dapat dipersalahkan karena tidak adanya izin disebabkan kesalahan administratif. Oleh karena itu, karyawan Bayer dibebaskan tanpa pernah dipertanyakan apakah emisi yang dikeluarkan Bayer tergolong ilegal atau pencemaran.
            Putusan pengadilan tersebut banyak mendapat kritikan, tetapi ini secara jelas menunjukkan kelemahan utama dari sistem yang mendasarkan perlindungan lingkungan hidup melalui hukum pidana hanya pada pelanggaran aturan administratif. Jika sistem hanya berdasarkan pada pelanggaran aturan administratif, di sini tidak akan ada perlindungan lingkungan hidup dari hukum pidana, tidak peduli apa alasannya, pelanggaran administratif tetap tidak dapat dibuktikan dan pencemaran lingkungan hidup pun tetap berlangsung.     

Towards A New Model For The Protection of The Environment Through The Criminal Law
            Perbedaan tipe ketentuan pidana terlihat penting untuk melindungi lingkungan hidup, semuanya dengan perbedaan tujuan. Oleh karena itu, perlindungan lingkungan hidup yang memadai melalui hukum pidana mensyaratkan kombinasi berbagai tipe ketentuan. Ide yang akan dikembangkan ini mengikuti doktrin hukum pidana lingkungan yang telah berkembang di Jerman pada tahun 1980an. Berdasarkan doktrin tersebut, hukum pidana lingkungan yang efektif membutuhkan kombinasi dari:
1.                  Abstract Endangerment;
2.                  Concrete Endangerment; dan
3.                  Independent Crime for for Pollution with Serious Consequences

Ad. 1 Abstract Endangerment          
            Dalam model yang pertama ini, hukum pidana adalah pelengkap dari sistem hukum administrasi dengan mempertimbangkan kuantitas dan kualitas emisi yang ada pada lingkungan. Jadi, hukum pidana berlaku bila kuantitas dan kualitas emisi pada lingkungan melampaui batas yang ditetapkan (baku mutu efluen/emisi dilampaui).
Sistem ini mengerucutkan dan membatasi peranan hukum pidana pada suatu segmen tertentu yang diatur dalam hukum administrasi. Pelampauan baku mutu efluen yang ditetapkan oleh pemerintah adalah pelanggaran hukum administrasi. Ketika peranan hukum administrasi telah selesai, saat itulah hukum pidana dapat diterapkan. Intinya yang dipidana bukanlah pencemarannya, tetapi pelanggaran atas kewajiban administratif.

Ad. 2 Concrete Endangerment
            Model kedua mensyaratkan ancaman konkrit terhadap lingkungan agar dapat menerapkan sanksi pidana dan menimbulkan tanggung jawab pidana kepada pelakunya. Dalam hukum administrasi, hal yang perlu dibuktikan hanyalah pelanggaran terhadap aturan administrasi. Namun, dalam hukum pidana, emisi atau polusi yang dapat mengancam timbulnya kerugian perlu dibuktikan (the emission or pollution that can cause a threat of harm needs to be proven).
Dalam Absolute Administrative Dependence, sepanjang aturan administratif dipenuhi, maka tidak ada tanggung jawab pidana yang timbul; sebab tidak ada ‘perbuatan’ atau ‘tindakan’ yang melanggar hukum. Hal ini berbeda dengan Subsequent Model yang akan dibahas di bawah ini, di mana tanggung jawab pidana dapat timbul meski persyaratan administratif telah terpenuhi. Intinya, meskipun tidak ada peraturan administratif yang telah dilanggar, tanggung jawab pidana tetap dapat timbul, bila terjadi pelampauan emisi yang ilegal.

Ad. 3 Independent Crime For Pollution With Serious Consequences
            Dalam model ini, hubungan antara hukum pidana dan hukum administrasi dapat ditinggalkan seluruhnya. Terhadap pelaku pencemaran yang serius dapat dihukum meskipun pelaku telah melakukan perbuatan yang sesuai dengan kondisi yang diperbolehkan secara administratif. Intinya di sini tidak diperhatikan ada atau tidak adanya pelanggaran syarat administrasi oleh pelaku (tidak ada syarat melanggar hukum).


II. Analisa Terhadap Putusan Hakim
            Di dalam surat dakwaan tersebut, terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu:
Primair:                : Melanggar pasal 41 ayat (1) UU No.23 Tahun 1997 jo Pasal 55 ayat ke-1 KUHP.
Subsidair             :  Melanggar pasal 43 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Berikut bunyi dari masing-masing pasal :
Pasal 41 (1) UU Nomor 23 Tahun 1997
“Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”


Di dalam pasal ini terdapat 3 unsur pidana:
1.         Barangsiapa
2.         melawan hukum
3.         sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
            Pasal 41 ayat (1) UU No.23 Tahun 1997 merupakan delik materil karena di dalam pasal ini yang ditekankan adalah "akibat"-nya. Terhadap dakwaan menggunakan pasal ini, hakim berpendapat bahwa unsur "sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran/ atau perusakan lingkungan hidup" tidak terpenuhi. Hal ini dikarenakan tidak adanya bukti fisik atau bukti ilmiah untuk membuktikan akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Ini berakibat mentalnya dakwaan primair dan berlanjut ke dakwaan subsidair.

Pasal 43 UU Nomor 23 Tahun 1997
"Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalansi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk  menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)."

Unsur-unsur dari pasal tersebut adalah:
1.         Barangsiapa
2.         melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku
3.         sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan.
4.         melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalansi yang berbahaya.
5.         padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk  menduga
6.         bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
           
            Pasal 43 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 merupakan delik formil karena di dalam pasal ini yang ditekankan adalah  "bentuk perbuatan". Akan tetapi terdapat kejanggalan pada unsur "dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan atau komponen yang berbahaya atau beracun  masuk kedalam tanah, kedalam udara atau kedalam air permukaan". Unsur ini terpenuhi karena hakim justru mempertimbangkan adanya "akibat" berbahaya dari melebihinya baku mutu limbah cair terhadap lingkungan hidup. Jika kita lihat sebelumnya, dakwaan pada pasal 41 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 justru dipertimbangkan oleh hakim tidak memiliki bukti akan adanya akibat perusakan lingkungan hidup. Disinilah terlihat bahwa hakim dalam pertimbangannya kurang dapat membedakan esensi delik materil ataukah delik formil dari pasal 41 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 dan pasal 43 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997.
            Seandainya hakim melihat bahwa terdapat akibat berbahaya dari lebihnya baku mutu terhadap lingkungan hidup, seharusnya dakwaan primair yaitu pasal 41 ayat (1) UU No. 23 1997 diterima oleh hakim. Hal ini dikarenakan hakekatnya esensi pada pasal 41 ayat (1) merupakan delik materil sedangkan pasal 43 ayat (3) merupakan delik formil. Di dalam pertimbangan pasal 43 ayat (1) UU 23/1997 (yang esensinya delik formil) justru terpenuhinya unsur karena adanya "akibat"  bahaya yang dapat ditimbulkan terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hakim kurang memahami mengenai teori delik formil dan delik materil dalam pembuktian unsur-unsur pidana kasus tersebut.













BAB IV
ASAS SUBSIDERITAS
                         Kelompok yang merumusi rancangan undang-undang tentang perubahan akan Pengelolaan Lingkungan Hidup memastikan bahwa asas subsidiaritas akan tetap dipertahan, dan bahkan semakin dipertegas. Definisi akan asas subsidiaritas itu sendiri ialah asas yang menyatakan bahwa hukum pidana seyogyanya digunakan sebagai langkah akhir. Asas yang termuat pada bagian penjelasan umum UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) ini, mensyaratkan tiga hal yang harus terpenuhi sebelum hukum pidana diterapkan. Ketiga syarat itu adalah sanksi bidang hukum lain tidak efektif, tingkat kesalahan pelaku atau akibatnya relatif besar, dan menimbulkan keresahan masyarakat. 
                     Menanggapi tentang asas subsideritas itu sendiri, Guru Besar Hukum Lingkungan dari Universitas Padjajaran Prof. M. Daud Silalahi mengungkapkan bahwa Undang-Undang PLH mengadopsi asas subsidiaritas dari Primary Jurisdiction Doctrine yang dianut oleh negara-negara penganut sistem hukum common law. Pertimbangan dimasukkannya asas ini dalam UU PLH adalah terkait karakteristik dasar kasus-kasus lingkungan yang sangat bergantung pada penilaian keahlian. Kasus lingkungan sulit untuk dijabarkan secara hukum apabila tidak dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan ilmiah. Dalam sistem hukum Amerika, kasus lingkungan bahkan disebut sebagai It’s more technical rather than legal issue.
                    Prof. M. Daud Silalhi berpendapat bahwa asas subsidiaritas masih layak dan relevan untuk dipertahankan. Dia membantah anggapan yang mengatakan bahwa asas ini menunjukkan keberpihakan kepada kepentingan bisnis. Asas subsidiaritas justru dimaksudkan agar penyidik lebih hati-hati dalam penanganan kasus lingkungan, agar  kasusnya kuat dan dapat dimenangkan. Asas subsidiaritas akan tetap dipertahankan, namun pengaturannya akan diperjelas dan lebih komprehensif yaitu dimuat dalam batang tubuh dan penjelasan pasal; sehingga dalam penerapannya hakim tidak memiliki multitafsir. 
                       Berbeda dengan Prof. M. Daud Silalahi, Mas Achmad Santosa, peneliti senior Indonesian Center for Environmetal Law (ICEL) memandang perlu menghilangkan asas subsidiaritas dalam hukum lingkungan. Asas subsidiaritas menurutnya sudah old-fashion (kuno). di Belanda pun juga demikian, karena dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, pengungkapan kejahatan korporasi tidak bisa lagi menggunakan asas subsidiaritas.
                Sepengetahuan penulis, dalam penegakan hukum lingkungan di Belanda, sangat mengedepankan model pidana administratif. Latar belakang kebijakan hukum pidana yang demikian didasarkan pada kenyataan sulitnya pembuktian tindak pidana lingkungan hidup seperti yang saat ini dihadapi oleh Indonesia. Oleh karena itu, dibuatlah peraturan yang mengkriminalisasi tindakan-tindakan administrasi yang dianggap melanggar hukum.
                           Latar belakang lain adalah banyaknya industri atau kegiatan usaha yang mendapat izin dari pemerintah ternyata melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Sebenarnya ini merupakan akar permasalahan lingkungan hidup pada saat ini. Para pelaku bisnis merasa tidak bersalah disebabkan ia telah mendapat izin dari pemerintah. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, mengapa mereka mendapatkan izin, padahal salah satu syarat untuk mendapat izin usaha adalah adanya rekomendasi tentang analisis mengenai dampak lingkungan termasuk didalamnya juga mengenai rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL).
                        Pertanyaan lebih lanjut: Apakah AMDAL yang disusun tersebut sudah benar atau ternyata fiktif? Apakah pemerintah tidak memeriksa kebenaran AMDAL tersebut? Jika AMDAL-nya benar, apakah pemerintah melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan AMDAL tersebut? Jika ternyata RKL dan RPL tidak dilaksanakan, apakah pemerintah telah melakukan tindakan berupa sanksi adminsitrasi kepada pelaku? Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikriminalisasi sekalipun sepintas terlihat sebagai perbuatan administratif. Tentu saja, sanksi yang diberikan lebih ditekankan kepada penjatuhan pidana denda daripada menjatuhkan pidana penjara.
                     Model penegakan hukum dengan mengoptimalkan penerapan pidana administrasi ini memiliki banyak keuntungan. Antara lain:
1.      akan memudahkan bagi penegak hukum dalam melakukan pembuktian perkara disebabkan bentuk rumusan delik yang dibuat pada umumnya adalah delik formil;
2.      pada hakikatnya ketika perbuatan-perbuatan dalam rangka persiapan untuk melakukan perbuatan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dikriminalisasi menjadi suatu perbuatan pidana yang berdiri sendiri, maka kita telah selangkah lebih maju dalam mencegah terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup;

3.      dengan efek pencegahan sejak dini maka niat pelaku bisnis untuk melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup demi pertimbangan ekonomi dapat lebih ditekan, apalagi dengan sanksi-sanksi dalam bentuk denda diyakini lebih berdayaguna dalam mematikan motif ekonomi ini;
4.      dengan model penegakan hukum pidana administratif tersebut, maka kita dapat menuntun kepada terciptanya rezim anti pencemaran dan perusakan lingkungan hidup;
                       Dalam rangka penyusunan RUU PLH, tidak ada salahnya pemikiran di atas lebih dijadikan sebagai pertimbangan untuk dikembangkan sebagai model penegakan hukum lingkungan daripada berfikir untuk tetap mempertahankan atau tidak asas subsidiaritas.

Kesimpulan ;

Asas subsidiaritas adalah asas yang menyatakan bahwa hukum pidana seyogyanya digunakan sebagai langkah akhir. Asas yang termuat pada bagian penjelasan umum UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) ini, mensyaratkan tiga hal yang harus terpenuhi sebelum hukum pidana diterapkan. Ketiga syarat itu adalah sanksi bidang hukum lain tidak efektif, tingkat kesalahan pelaku atau akibatnya relatif besar, dan menimbulkan keresahan masyarakat. 

Saran;

Saran saya akan asas subsideritas ini yakni saya harapkan semua pihak dapat menjadikan hukum sebagai uatu instrumen untuk menyelesaikan segala perkara guna mendapatkan suatu putusan yang sesuai denan peraturan perundang-undangan yang berlaku.




















BAB V
HUBUNGAN KAUSALITAS DAN KESENGAJAAN


ANALISIS PASAL 43:
Dalam kasus pencemaran linkungan yang melibatkan RSIA HERMINA DEPOK ini majelis hakim yang berwenang dalam acara persidangan kasus ini menghukum terdakwa dengan pasal 43 UU RI No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi sebagai berikut
            "Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).“

Pasal 43 ini sendiri terdiri dari 6 unsur, berdasarkan pertimbangan hakim berikut penjelasannya yaitu antara lain :
  1. Unsur Barang Siapa.
Unsur barang siapa adalah setiap orang yang menjadi subyek hukum yang kepadanya dapat dimintai pertanggung jawaban menurut hukum atas perbuatan yang dilakukannya.
Dalam hal ini majelis hakim mempertimbangkan bahwa Terdakwa I sebagai Direktur RSIA Hermina Depok telah terpenuhi sebagai orang yang bertindak atas nama RSIA Hermina Depok.
  1. Unsur Melangggar Ketentuan Perundang-Undangan yang Berlaku.
Yang dimaksud Unsur Melangggar Ketentuan Perundang-Undangan yang Berlaku adalah adanya perbuatan melangggar ketentuan perundang-undangan yang berisi larangan maupun kewajiban yang ditujukan bagi suatu Rumah Sakit dalam kasus ini RSIA Hermina Depok dimana Terdakwa I adalah direkturnya, sehingga oleh karena itu unusur ini telah terpenuhi.
  1. Unsur dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan atau komponen yang beracun atau berbahaya masuk ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya berpendapat bahwa unsur ini telah terpenuhi berdasarkan hasil penelitian Puslabfor Mabes Polri, hasil laporan Dinas Kesehatan, keterangan saksi-saksi dan pengakuan Terdakwa I di persidangan.
  1. Unsur memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi berbahaya.
Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur ini terpenuhi berdasarkan bukti surat, keterangan saksi-saksi dan pengakuan Terdakwa I dan Terdakwa II di persidangan yang mengungkapkan fakta bahwa Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang dioperasikan oleh RSIA Hermina Depok belum berfungsi maksimal sehingga mengeluarkan hasil pengolahan limbah cair yang tidak sesuai baku mutu.
  1. Unsur padahal sangat mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga.
Untuk membuktikan unsur ini dapat dilihat dari persyaratan pemberian izin RSIA Hermina Depok.
Dalam pertimbangannya majelis hakim menyatakan bahwa Terdakwa I terbukti mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatannya dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang sehingga unsur ini terpenuhi.
  1. Unsur bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
Unsur alternatif dapat menimbulkan pencemaran lingkungan ini terpenuhi karena adanya bau busuk yang tercium oleh masyarakat di sekitar RSIA Hermina Depok.
Berdasarkan penjabaran unsur-unsur dalam pasal 43 UU RI No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut maka dapat dikatakan telah tepat bagi Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa berdasarkan pasal tersebut.
Hal ini dikarenakan pada kasus ini, RSIA Hermina Depok telah mengetahui bahwa hasil olahan limbah mereka melebihi standar baku mutu sehingga sesuai pada salah satu unsur dalam pasal ini yaitu “Unsur dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan atau komponen yang beracun atau berbahaya masuk ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan.“

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT) dengan UNSUR KESENGAJAAN.

A. Kausalitas[27]

            Didalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil (selanjutnya disebut delik materiil), terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang dilarang dan merupakan unsur yang menentukan (essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia, sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada, paling banyak ada percobaan.

Misalnya :
Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain dihukum karena pembunuhan.
Keadaan yang menentukan di sini adalah terampasnya nyawa seseorang.
Contoh : matinya si A.

            Oleh karenanya untuk dapat menuntut seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan matinya seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya A. “akibat” ini artinya “perubahan atas suatu keadaan” dimana dapat berupa suatu pembahayaan atau perkosaan terhadap kepentingan hukum.

            Hubungan sebab akibat (causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door
het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasal-pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333 ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355 ayat 2 dan 3 KUHP.


            Persoalan kausalias ini terjadi karena kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi sebab dari suatu akibat. Perlu diketahui bahwa persoalan ini tidak hanya terdapat dalam lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam hukum dagang misalnya dalam persoalan asuransi.

            Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat. Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak
menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan (manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.

            Akibat kongkrit harus bisa ditelusuri sampai ke sebab. Akan tetapi sebenarnya tidak boleh dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu disebabkan karena kejadian “A” (post hoc non propter hoc)

Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas)

1.      Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau Bedingungstheorie atau teori condition sine qua non dari von Buri.

     Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya akibat.

Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A.

     Teori ekivalensi ini memakai pengertian “sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai dalam logika. Dalam hubungan ini baik dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya : Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu adalah “the whole of antecedents” (1843). Van Hamel, seorang penganut teori ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki dan diatur oleh teori kesalahan yang harus diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara hubungan kausal dan pertanggung jawaban pidana.

Kritik / keberatan terhadap teori ini :
hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya.

Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati.
Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A, tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada pembuatan pisau. Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu seterusnya. Berhubungan dengan keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian faktor yang menimbulkan akibat itu beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor-faktor yang irrelevant (yang tidak perlu / penting).

Kebaikan teori ini :
Mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali dalam membatasi lingkungan berlakunya pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori lain.

  1. Teori-teori Individualisasi
            Teori-teori ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka.

Penganut-penganutnya tidak banyak antara lain :
·         Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist die wirksamste Bedingung)
·         Binding. Teorinya disebut “Ubergewichtstheorie”
Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan adalah identik dengan perubahan dalam keseimbangan antara faktor yang menahan (negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor yang positif itu lebih unggul. Yang disebut “sebab” adalah syarat-syarat positif dalam keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif itu.

  1. Teori-teori generalisasi
            Teori-teori ini melihat secara ante factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie).

Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya hubungan sebab akibat yang adequat :
·         Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah. Akan tetapi apabila orang yang pukul itumenjadi buta itu bukan akibat yang adequate. Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak biasa.
·         Seorang yang menyetir mobil terpaksa mengerem sekonyong-konyong, oleh karena ada pengendara sepeda hendak menyebrang jalan yang membelok, sedang ini tidak disangka-sangka oleh pengendara mobil. Pengendara mobil ini mendapat penyakit trauma karena menekan urat. Dan inipun dapat dikatakan bahwa perbuatan pengendara sepeda itu tidak merupakan penyebab yang adequate untuk timbulnya penyakit trauma tersebut.
·         Seorang petani membakar tumpukan rumput kering (hooi), dimana secara kebetulan bersembunyi / tidur seorang penjahat hingga ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang adequate ? Jawabannya tergantung dari keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman, sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu maka perbuatan petani itu bukanlah sebab. Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap dalam tumpukan rumput, maka perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar untuk matinya seseorang.

                        Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu sebab itu pada umumnya cocok untuk menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini ada beberapa pendirian.

Disini disebut antara lain :
·         Penentuan subyektif (subjective ursprungliche Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah apa yang oleh sipembuat dapat diketahui / diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau pengetahuan si pembuatlah yang menentukan).
·         Penentuan obyektif.
Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal-hal yang secara obyektif kemudian diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi bukan yang diketahui atau yang dapat diketahui oleh si pembuat, melainkan pengetahuan dari hakim.
Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini disebut “objektive nachtragliche Prognose” (Rumelin).

                        Sebenarnya dalam teori kausal adequat subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur penentuan tentang kesalahan); oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap sebagai sebab yang adequate apabila si pembuat dapat mengira-ngirakan atau membayangkan (voor zien) akan terjadinya akibat atau kalau orang umumnya membayangkan terjadinya akibat itu; jadi si pembuat dapat membayangkan dan seharusnya dapat membayangkan.

                        Oleh karena dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka ia juga menentukan pertanggunganjawab (pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti yang sesungguhnya.
B. KESENGAJAAN[28]
            Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana) adalah hubungan batin antara si pelaku terhadap perbuatan, yang dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa berupa kesengajaan atau kealpaan.
            Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita tidak memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yang mengartikan “kesengajaan” (opzet) sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). (Pompe : 166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu. Misal : seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu kepada anaknya, menghendaki dan sadar akan perbuatannya.
1. Teori-teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut:
a.    Teori kehendak (wilstheorie)
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (Simons, Zevenbergen)
b.    Teori pengetahuan / membayangkan (voorstelling-theorie)
Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat. (Frank).
Terhadap perbuatan yang dilakukan sipelaku kedua teori itu tak ada perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori adalah sama. Perbedaannya adalah dalam istilahnya saja.
2. Bentuk Kesengajaan
            Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 3 bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan sebagai berikut :
a)      kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus directus
b)      kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn
c)      kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet)
            Bentuk kesengajaan ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan sipelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan beserta akibatnya.
Misal : A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B agar B tidak membohong.
Perhatikan : haruslah dibedakan antara tujuan dan motif.
Motif suatu perbuatan adalah alasan yang mendorong untuk berbuat misalnya cemburu, jengkel dsb.
Dalam hal delik materiil harus dihubungkan faktor kausa yang menghubungkan perbuatan dengan akibat (kausalitas) dimana :
1.      akibat yang memang dituju sipelaku. Ini dapat merupakan delik tersendiri atau tidak.
2.      akibat yang tidak didinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam no. 1 tadi, akibat ini pasti timbul atau terjadi.
Contoh :
A hendak membunuh B dengan tembakan pistol. B duduk di balik kaca jendela restoran. Penembakan terhadap B pasti akan memecahkan kaca pemilik restoran itu.
Terhadap terbunuhnya B kesengajaan merupakan tujuan sedangkan terhadap rusaknya kaca (ps. 406 KUHP) ada kesengajaan dengan keinsyafan kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya tujuan.
Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula merupakan diperkirakan sipelaku sebagai kemungkinan terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi merupakan resiko yang harus diemban sipelaku.
Analisis Kasus Berdasarkan kaitannya terhadap asas Kausalitas & Kesengajaan.
            Dalam kasus ini telah diketahui berdasarkan bukti surat, keterangan saksi-saksi dan pengakuan Terdakwa I dan Terdakwa II di persidangan yang mengungkapkan fakta bahwa Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang dioperasikan oleh RSIA Hermina Depok belum berfungsi maksimal sehingga mengeluarkan hasil pengolahan limbah cair yang tidak sesuai baku mutu.
            Terhadap hal ini pihak RSIA Hermina Depok tidak menanggapinya dengan baik dan terus melakukan pembuangan limbah olahan yang melebihi batas baku mutu. Sehingga dapat dikatakan bahwa pihak RSIA Hermina Depok telah mengetahui konsekuensinya sehingga telah tepat bahwa perbuatan ini merupakan suatu kesengajaan.
            Jika dikaitkan dengan asas kausalitas, maka pencemaran lingkungan yang menimbulkan bau busuk yang melibatkan RSIA Hermina Depok dapat terjadi tidak lain karena disebabkan oleh pihak RSIA Hermina Depok itu sendiri yang sengaja meneruskan kegiatan pembuangan limbah olahan yang melebihi batas baku mutu secara sengaja walaupun telah mengetahui konsekuensinya.












BAB 6
PENUTUP

KESIMPULAN
1.     Terdakwa drg, Julius Ahmad Zuir, dalam hal ini disebut sebagai TERDAKWA I. TERDAKWA I saat perkara ini diajukan, berkedudukan sebagai Direktur RSIA HerminaDepok. Dalam putusan ini, TERDAKWA I diputus bersalah melakukan tindak pidana “Dengan melawan hukum menjalankan kegiatan pengolahan limbah cair yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan hidup”, dan divonis 3 bulan penjara dan denda Rp. 125.000.000
2.     Terdakwa Arie Setyo Wahyudi, S.KM, dalam hal ini disebut sebagai  TERDAKWA II. Saat perkara diajukan, berkedudukan sebagai karyawan / kepala bagian sarana dan prasarana RSIA Hermina Depok. Dalam putusan, TERDAKWA II dinyatakan tidak bersala holeh PengadilanNegeri Cibinong.
3.      Dalam menjawab pokok permasalahan point ke-2, kelompok kami menarik kesimpulan bahwa Tindak Pidana Korporasi sama dengan Penyertaan. Hal tersebut dikarenakan Terdakwa I dan Terdakwa II secara jelas melakukan perbuatan yang dilanggar dimana Terdakwa I sebagai yang melakukan perbuatan, yang menyuruh melakukan perbuatan, sedangkan Terdakwa II sebagai yang melakukan perbuatan, yang disuruh melakukan perbuatan atau yang turut melakukan perbuatan yang dikarenakan adanya kerja sama secara sadar terhadap Terdakwa I.
4.      Dalam menjawab pokok permasalahan point ke-3, kelompok kami menarik kesimpulan bahwa hakim telah benar dalam menggunakan ketentuan dikarenakan dalam pemilihan dan pemilahan pidana umum dan khususnya sudah dilakukan secara benar dikarenakan unsur-unsurnya telah memenuhi dalam dalam hubungannya dengan pidana khusus maupun pidana umum. Sedangkan mengenai masalah delik formil dan materil, kelompok kami menarik kesimpulan bahwa Hakim kurang mengenai teori delik formil dan delik materil dalam pembuktian unsur-unsur pidana di dalam kasus tersebut.
5.      Dalam menjawab pokok permasalahan point ke-4, kelompok kami menarik kesimpulan bahwa Asas subsidiaritas adalah asas yang menyatakan bahwa hukum pidana seyogyanya digunakan sebagai langkah akhir. Asas yang termuat pada bagian penjelasan umum UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) ini, mensyaratkan tiga hal yang harus terpenuhi sebelum hukum pidana diterapkan. Ketiga syarat itu adalah sanksi bidang hukum lain tidak efektif, tingkat kesalahan pelaku atau akibatnya relatif besar, dan menimbulkan keresahan pada masyarakat.
6.      Dalam menjawab pokok permasalahan point ke-5, kelompok kami menarik kesimpulan bahwa alasan hakim menggunakan Pasal 43 UU RI No.23 Tahun 1997 dikarenakan di dalam pengajuan Pasal yang lainnya tidak diajukan bukti yang cukup. Mengenai kausalitas dan kesengajaan maka dalam hal ini RS. Hermina dapat dibuktikan telah melakukan kesengajaan karena telah mengakui apa akibat dari pencemaran yang dilakukannya tersebut.



SARAN
1.      Dalam menjawab pokok permasalahan point ke-2, kelompok kami menyarankan untuk penyamaannya Tindak Pidana Korporasi dengan Penyertaan. Hal tersebut dikarenakan Terdakwa I dan Terdakwa II secara jelas melakukan perbuatan yang dilanggar dimana Terdakwa I sebagai yang melakukan perbuatan, yang menyuruh melakukan perbuatan, sedangkan Terdakwa II sebagai yang melakukan perbuatan, yang disuruh melakukan perbuatan atau yang turut melakukan perbuatan yang dikarenakan adanya kerja sama secara sadar terhadap Terdakwa I.
2.      Dalam menjawab pokok permasalahan point ke-3, kelompok kami menyarankan seharusnya hakim lebih memahami memahami mengenai teori delik formil dan delik materil dalam pembuktian unsur-unsur pidana, sehingga dapat tercipta keadilan yang seadil-adilnya
3.      Dalam menjawab pokok permasalahan point ke-4, kelompok kami menyarankan akan asas subsideritas ini yakni saya harapkan semua pihak dapat menjadikan hukum sebagai uatu instrumen untuk menyelesaikan segala perkara guna mendapatkan suatu putusan yang sesuai denan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.      Dalam menjawab pokok permasalahan point ke-5, kelompok kami menyarankan agar Hakim memberikan putusan seadil-adilnya kepada RS. Hermina agar untuk kedepannya lebih memperhatikan baku mutunya sehingga pencemaran yang merugikan lingkungan dan sekitarnya dapat dihindari




[1]   Di Inggris, atasan dapat bertanggung jawab bersama-sama korporasi jika perbuatan pidana dilakukan dengan “consent” atau “connivance”, atau “attributable neglect” dari atasan. Untuk menjelaskan “attributalable neglect”, Judje Rubin dalam kasus R. McMillan Aviation Ltd mengatakan bahwa seseorang atasan bertanggung jawab jika: (1) He knew the trade description was false, in which case he had duty to prevent the offence; or (2) he had reasonable cause to suspect that the company was applying a false trede description, in which case he would have duty to take steps to see if it was false or not. Jika kedua hal ini tidak dilakukan, maka is dianggap bertanggung jawab.
[2] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 117.
[3]  E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. (Jember: TP, 1962), halaman 5.
[4]  Ibid, hal. 7.
[5]  Ibid, hal.  9.
[6]  Ibid.
[7]  Op. Cit., Wirjono Prodjodikoro, hal. 118.                                                                                                                                    
[8]  Ibid, hal. 119.
[9]  Ibid, hal. 123
[10]  Op. Cit., E. Utrecht, hal. 43
[11]  Ibid, hal. 79
[12]  Ibid, hal. 119.
[13] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 117.
[14]  Ibid, hal. 119.
[15]  Ibid, hal. 123
                [16] P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990, hlm. 594.
                [17] Ibid, hlm. 599.
                [18] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal 59.
                [19] Mr.Drs.EUtrecht.”Rangkaian sari kuliah hukum pidana
                [20] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa, hal 118.
                [21] Ibid.
                [22] So Woong Kim, Tesis : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penegakkan Lingkungan Hidup, (Semarang : Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2009), hal. 28.
                [23] Ibid. 
[24] Ibid. hal. 103.
[25] Ibid. hal.104.
[26] Ibid hal.28.
[27] Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1993
[28] http://www.hukumhindu.com/2011/02/kesengajaan/ , diakses tanggal 2 Desember 2011

1 komentar:

  1. JackpotCity Casino - New Jersey | MapyRO
    View 공주 출장샵 all JackpotCity Casino - 인천광역 출장안마 New Jersey 보령 출장안마 Casinos 이천 출장안마 2021 | MapyRO 동두천 출장안마 customers reviews, ratings, games, complaints, & more.

    BalasHapus