cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

bank asuransi dan hukum islam 2


Pengadilan sebagai the first and last resort dalam penyelesaian sengketa ternyata masih dipandang oleh sebagian kalangan hanya menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial, belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsive, menimbulkan antagonisme di antara pihak yang bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Hal ini dipandang kurang menguntungkan dalam duniai bisnis sehingga dibutuhkan institusi baru yang dipandang lebih efisien dan efektif.
Sebagai solusinya, kemudian berkembanglah model  penyelesaian sengketa non litigasi, yang dianggap lebih bisa mengakomodir kelemahan-kelemahan model litigasi dan memberikan jalan keluar yang lebih baik. Proses diluar litigasi dipandang lebih menghasilkan kesepakatan yang win-win solution, menjamin kerahasiaan sengketa para pihak, menghindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga hubungan baik.
Tidak dipungkiri, selain alasan-alasan di atas, dasar pemikiran lahirnya model penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi seperti BAMUI yang pada akhirnya menjelma menjadi BASYARNAS, saat itu memang belum ada lembaga hukum yang mempunyai kewenangan absholut karena Peradilan umum tidak menggunakan perdata Islam (fikih muamalah) dalam hukum formil maupun materiilnya, sedangkan Peradilan Agama saat itu sebagaimana Pasal 49 ayat (1) UU No. 7/1989, kewenangannya masih terbatas mengenai perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Sehingga lahirnya model BASYARNAS saat itu seakan-akan sebagai payung hukum alternatif -jika tidak boleh dikatakan kondisi darurat-, ibarat pepatah: “tidak ada rotan akar pun jadi”. Sedangkan saat ini kewenangan Peradilan Agama sudah diperluas melalui UU No. 3 Tahun 2006 diantaranya adalah kewenangan mutlak  mengadili perkara-perkara ekonomi syariah included perbankan syariah, tentu saja hal ini memberikan paradigma berbeda dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah dibandingkan sebelum adanya undang-undang tersebut.
Dalam suatu penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan maka baik subyek maupun obyeknya haruslah yang menjadi kewenangan dari lembaga peradilan tersebut. Dalam sengketa perbankan syariah sebagaimana  telah menjadi kewenangan dari Pengadilan Agama, yang menjadi subyek di depan pengadilan dan dapat bertindak sebagai pihak penggugat atau pihak tergugat adalah bank syariah dan nasabah. Bank syariah menjadi salah satu subyek yang dapat berperkara di Pengadilan Agama karena merupakan badan hukum yang tunduk pada hukum Islam sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagaimana yang telah dijelaskan dalam penjelasannya. Untuk nasabah sendiri  menjadi subyek dari Pengadilan Agama karena sebagai orang yang beragama Islam atau orang yang tunduk pada hukum Islam. Adapun yang menjadi obyek dalam sengketa adalah berupa perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak yakni antara bank syariah dan nasabah, yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban para pihak, serta perjanjian tersebut dibuat berdasarkan pada hukum Islam. Sengketa timbul akibat tidak terpenuhinya hak atau kewajiban yang telah di perjanjikan. Selain itu timbul pula benturan terhadap salah satu asas yang dianut oleh Peradilan Agama yakni asas personalitas keIslaman. Ini menyangkut adanya kemungkinan nasabah adalah non muslim. Terhadap benturan ini tidak perlu ada keraguan atas pengajuan sengketa perbankan syariah ke Pengadilan Agama terkait adanya pihak non muslim. Ini dikarenakan perkara tersebut berdasar perjanjian atas kesepakatan bersama yang  tunduk pada ketentuan hukum Islam.
Perluasan kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah ini memberikan dampak tersendiri. Dampak tersebut diantaranya adalah memberikan dampak positif terhadap perkembangan akad bank syariah terutama dalam pemilihan penyelesaian sengketa yang kemungkinan timbul tidak hanya lewat lembaga arbitrase, tetapi lewat lembaga peradilan yang kompeten dan konsisten dalam menegakkan hukum Islam. Selain itu juga memberikan dampak yang positif pula bagi perkembangan hakim Pengadilan Agama di bidang perbankan syariah dan tidak hanya berkutat pada masalah keluarga saja. Bagi lembaga arbitrase kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah ini memberikan dampak bahwa sengketa yang telah diputus oleh lembaga arbitrase tidak lagi dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri melainkan ke Pengadilan Agama meski UU No. 30 Tahun 1999 menentukan ke Pengadilan Negeri. Hal ini demi terjaminnya kepastian hukum serta konsistensi terhadap adanya perluasan kewenangan Pengadilan Agama di bidang ekonomi syariah terutama perbankan syariah. Dalam hal ini berlaku atas asas yang menyatakan undang-undang yang berlaku belakangan menbatalkan undang-undang terdahulu.

Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum.
Kewenangan Pengadilan Agama:
Berdasarkan ketentuan ps.49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama), disebutkan:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan; Wasiat; dan Hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Waqaf dan Shadaqoh
Kewenangan Pengadilan Umum:
Berdasarkan ketentuan ps.50 Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum), disebutkan bahwa :
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
Melihat kepada definisi kewenangan diatas, Kewenangan Pengadilan Agama dibatasi hanya untuk hal-hal tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu. Pengertian orang dalam ketentuan mengenai kewenangan tersebut tidak dapat diartikan melalui intepretasi analogi sebagai “badan hukum”, karena dipersyaratkan beragama Islam. Badan hukum, termasuk Bank Syariah secara hukum tidak “beragama islam”, meskipun mungkin menjalankan kaidah syariah. Dengan demikian, sengketa yang bersangkutan dengan Perbankan Syariah tidak termasuk kewenangan dari Pengadilan Agama.
Apabila dimasukan dalam kewenangan pengadilan umum, apakah dari segi hukum syariahnya memungkinkan? Untuk itu kita perlu memahami terlebih dahulu beberapa terminologi dan kaidah-kaidah dasarnya.
Syariah, dari akar katanya berarti adalah jalan yang ditempuh atau garis yang harus dilalui. Dalam pemahaman terminologi, Syariah diartikan sebagai Ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan Manusia untuk menjalankan peranan hidupnya yaitu untuk beribadah. Sumber hukum syariah adalah dari Al- Qur’an dan Al-Hadist (Sunah Rasulullah).
Secara garis besar, ketentuan tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang mengatur mengenai Ibadah, yaitu bentuk hubungan manusia dengan Allah (habluminallah) dan yang mengatur mengenai hubungan sesama manusia (hablumminannas) atau lebih dikenal dengan muamalah. Muamalah, dalam istilah hukum kita lebih dikenal dengan Perdata.
Kaidah dasar untuk ibadah adalah: segala sesuatunya haram untuk dilakukan, kecuali yang telah jelas-jelas diperintahkan.
Kaidah dasar untuk muamalah/ perdata adalah : segala sesuatunya boleh, kecuali yang telah jelas-jelas diharamkan. Muamalah dalam bahasa hukum konvensional dikenal dengan istilah perdata (privat).
Kegiatan usaha Perbankan Syariah, diwujudkan dalam aqad-aqad yang dibuatnya, baik itu dalam bentuk musyarakat, mudarabah, ataupun bentuk-bentuk yang lain. Tindakan membuat Aqad tersebut termasuk dalam klasifikasi muamalah, maka dari itu segala sesuatunya diperbolehkan, sepanjang tidak melanggar ketentuan syariah yang melarang, termasuk penggunaan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata.
Jika kemudian timbul sengketa terhadap Aqad bank syariah tersebut, karena termasuk dalam kaidah syariah muamalah, maka kita dibebaskan untuk menyelesaikannya dengan cara yang menurut kita baik, sepanjang tidak melanggar ketentuan yang telah dilarang oleh syariah. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum Syariah boleh dipergunakan hukum acara perdata dalam Pengadilan Umum untuk menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan Perbankan Syariah.
Sedangkan dalam definisi kewenangan Pengadilan Umum, sebagaimana telah disebutkan diatas, perkara perdata/muamalah adalah kewenangan dari Pengadilan Umum, maka dengan demikian telah jelas bahwa sengketa yang bersangkutan dengan Perbankan Syariah menurut hukum adalah kewenangan Pengadilan Umum, dan hal tersebut diperbolehkan (tidak dilarang) oleh kaidah syariah muamalah.
Hanya saja, perlu diperhatikan apabila dalam aqad dibuat klausula mengenai penyelesaian sengketa melalui Arbriter, maka penyelesaiannya harus melalui proses Arbitrase dengan mengacu pada ketentuan UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Pilihan Penyelesaian Sengketa.

Beberapa Pilihan Penyelesaian Sengketa Perbankan syariah di Indonesia
Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU No. 14 ahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Diluar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun berdasarkan Pasal 1851,1855,1858 KUHPdt, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah)3. Untuk memperjelas masing-masing kelebihan dan kelemahan baik model penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi maupun non litigasi maka perlu ditelaah satu persatu:
1. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Non Litigasi
Di Indonesia, penyelesaian sengketa melaui jalur non litigasi di atur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
1.1 Arbitrase
Dalam perspektif Islam arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata hakkama, secara etimologis berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya. Lembaga ini telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada masa itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada perselisihan mengenai hak milik, waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih.
Gagasan berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia, diawali dengan bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi hukum, para kyai dan ulama untuk bertukar pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini dimotori Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992. Setelah mengadakan beberapa kali rapat dan setelah diadakan beberapa kali penyempurnaan terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 sebagai lembaga arbiter yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang ekonomi syariah.
Kedudukan BASYARNAS Ditinjau Dari Segi Tata Hukum Indonesia
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, di dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) undang-undang tersebut disebutkan antara lain, bahwa:
“Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan”
Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227).
Dengan diberlakukannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui Pasal 81 undang-undang tersebut secara tegas mencabut ketiga macam ketentuan tersebut terhitung sejak tanggal diundangkannya. Maka berarti segala ketentuan yang berhubungan dengan arbitrase, termasuk putusan arbitrase asing tunduk pada ketentuan UU No. 30 Tahun 1999, meskipun secara lex spesialis ketentuan yang berhubungan dengan (pelaksanaan) arbitrase asing telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1968 yang merupakan pengesahan atas persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar-Negara dan Warga Negara Asing mengenai penanaman modal (International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) Convention), Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan New York Convention 1958 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990.
Menurut pendapat H.M. Thahir Azhari, bahwa kehadiran Arbitrase Islam (BASYARNAS pen.) di Indonesia merupakan suatu condition sine qua non, secara yuridis formal kedudukan BASYARNAS dalam Tata Hukum Indonesia memiliki landasan hukum yang kokoh.
Kewenangan BASYARNAS
BASYARNAS sebagai lembaga permanen yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
Disamping itu badan ini dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum (bindend advice), yaitu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu persoalan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian” yang sudah barang tentu atas permintaan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan.9
Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaian perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari lamanya proses penyelesaian.
Keunggulan dan Kekurangan BASYARNAS
BASYARNAS memiliki keunggulan-keunggulan, diantaranya:
1). Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab;
2). Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani oleh orang-orang yang ahli dibidangnya (expertise);
3). Proses pengambilan putusannya cepat, dengan tidak melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah;
4). Para pihak menyerahkan penyelesaian persengketaannya secara sukarela kepada orang-orang (badan) yang dipercaya, sehingga para pihak juga secara sukarela akan melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter, karena hakekat kesepakatan itu mengandung janji dan setiap janji itu harus ditepati;
5). Di dalam proses arbitrase pada hakekatnya terkandung perdamaian dan musyawarah. Sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan nurani setiap orang.
6). Khusus untuk kepentingan Muamalat Islam dan transaksi melalui Bank Muamalat Indonesia maupun BPR Islam, Arbitrase Muamalat (BASYARNAS pen.) akan memberi peluang bagi berlakunya hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara, karena di dalam setiap kontrak terdapat klausul diberlakuannya penyelesaian melalui BASYARNAS.
Disamping keunggulan-keunggulan di atas juga terdapat beberapa kelemahan. Apabila melihat perkembangan BASYARNAS yang belum maksimal untuk mengimbangi pesatnya perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia, sebaiknya BASYARNAS melakukan perapihan manajemen dan SDM yang ada. Apabila dibandingkan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang relative baru berdiri, maka BASYARNAS masih harus berbenah diri. Untuk dapat menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat, maka harus mempunyai performance yang baik, mempunyai gedung yang representative, administrasi yang baik, kesekretariatan yang selalu siap melayani para pihak yang bersengketa, dan arbiter yang mampu membantu penyelesaian persengketaan mereka secara baik dan memuaskan. Kondisi intern yang baik tersebut akan bertambah baik apabila didukung dengan law enforcement dari pemerintah tentang putusan yang final and binding dalam penyelesaian sengketa di arbitrase.
Selain itu sosialisasi kebeadaan lembaga ini masih terbatas, menurut penulis upaya sosialisasi dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman mengenai arbitrase syariah dapat dilakukan secara kontinyu yang melibatkan banker, alim ulama, tokoh masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum.
Keterbatasan Jaringan kantor BASYARNAS di daerah hal ini juga menjadi kelemahan karena BASYARNAS baru beroperasi di Jakarta, pengembangan jaringan kantor BASYARNAS diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat.
1.2 Alternatif Penyelesaian Sengketa
Di dalam terminologi Islam dikenal dengan Ash-Shulhu, yang berarti memutus pertengkaran atau perselisihan. Dalam pengertian syariat ash-shulhu adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 (dua) orang yang bersengketa.
Alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa yang menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Sengketa atau beda pendapat dalam bidang perdata Islam dapat diselesaikan oleh para pihak melaui Alternative Penyelesaian Sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi.
Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil juga mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi lembaga Alternative Penyelesaian Pengketa untuk menunjuk seorang mediator.
Setelah penunjukan mediator oleh lembaga Alternative Penyelesaian Sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator tersebut dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat tersebut wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
Tidak seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan menemukan pemecahan masalah dengan hasil win-win solution. Tidak ada pihak yang kalah atau yang menang, semua sengketa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, sehingga hasil keputusan mediasi tentunya merupakan konsensus kedua belah pihak. Pemerintah telah mengakomodasi kebutuhan terhadap mediasi dengan megeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Kecenderungan memilih Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resulotion) oleh masyarakat dewasa ini didasarkan pada:
1. Kurang percayanya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama kurang dipahaminya keuntungan atau kelebihan sistem arbitrase di banding pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih mencari alternative lain dalam upaya menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat atau sengketa-sengketa bisnisnya;
2. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase mulai menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan.
Model yang dikembangkan oleh Alternatif Penyelesaian Sengketa memang cukup ideal dalam hal konsep, namun dalam prakteknya juga tidak menutup kemungkinan terdapat kesulitan jika masing-masing pihak tidak ada kesepakatan atau wanprestasi karena kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dengan perantara mediator tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.
Apabila jalur arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan atau jalur litigasi adalah gawang terakhir sebagai pemutus perkara.

2. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Litigasi
Mengenai badan peradilan mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan jika terjadi sengketa perbankan syariah memang sempat menjadi perdebatan di berbagai kalangan apakah menjadi kewenangan Pengadilan Umum atau Pengadilan Agama karena memang belum ada undang-undang yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga masing-masing mencari landasan hukum yang tepat.
Dengan diamandemennya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sudah terjawab.
Landasan Yuridis dan Kompetensi Pengadilan Agama
Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberikan wewenang kekuasaan Peradilan Agama bertambah luas, yang semula sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 hanya bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a) perkawinan, b) kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c) wakaf dan shadaqah. Dengan adanya amandemen Undang-Undang tersebut, maka ruang lingkup tugas dan wewenang Peradilan Agama diperluas. Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syari’ah yang meliputi: a) bank syari’ah, b) lembaga keuangan mikro syari’ah, c) asuransi syari’ah, d) reasuransi syari’ah, e) reksa dana syari’ah, f) obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, g) sekuritas syari’ah, h) pembiayaan syari’ah, i) pegadaian
syari’ah, j) dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan k) bisnis syari’ah.
Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini.”
Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.
Adapun sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah:
a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesame lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;
c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syariah (ekonomi syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di Pengadilan yang lain. Apalagi, sebagaimana tercantum dalam

Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, pilihan hukum telah dinyatakan dihapus.16
Oleh karena itu dalam draft-draft perjanjian yang dibuat oleh beberapa perbankan syariah berkaitan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, akad mudharabah dan akad-akad yang lain yang masih mencantumkan klausul Penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri apabila BASYARNAS tidak dapat menyelesaikan sengketa maka seharusnya jika mengacu pada Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, maka klausul tersebut dirubah menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa tersebut.

Keunggulan dan Kelemahan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Pengadilan Agama
Keunggulan-keunggulan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah antara lain:
1. Pengadilan Agama memilki SDM yang sudah memahami permasalahan syariah, tinggal meningkatkan wawasan dan pengetahuan mereka melalui pendidikan dan pelatihan secara berkala;
2. Kendatipun RUU tentang ekonomi syariah belum disahkan namun Pengadilan Agama mempunyai hukum materiil yang cukup established, khususnya yag berkaitan dengan ekonomi syariah, diantaranya berupa kitab-kitab fikih muamalah yang dalam penerapannya masih kontekstual;
3. Keberadaan kantor Pengadilan Agama hampir meliputi semua wilayah Kabupaten dan Kotamadia di seluruh wilayah Indonesia dan sebagian besar telak mengaplikasikan jaringan Teknologi Informasi (TI) dengan basis internet, sehingga apabila dibandingkan dengan BASYARNAS yang keberadaannya masih terkonsentrasi di wilayah ibukota, maka Pengadilan Agama mempunyai keunggulan dalam kemudahan pelayanan.
4. Mendapat dukungan mayoritas penduduk Indonesia, yaitu masyarakat muslim yang saat ini sedang mempunyai semangat tinggi dalam menegakkan nilai-nilai agama yang mereka anut;
5. Adanya dukungan politis yang kuat karena pemerintah dan DPR telah menyepakati perluasan kewenangan Peradilan Agama tersebut pada tanggal 21 Februari 2006 sehingga lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 adalah suatu keniscayaan untuk menyesuaikan terhadap tuntutan hukum yang ada, yakni perubahan paradigma dari peradilan keluarga menuju peradilan modern.
6. Adanya dukungan dari otoritas Perbankan (Bank Indonesia) dan dukungan dari Lembaga Keuanan Islam di seluruh dunia; Disamping adanya kelebihan dan keunggulan di atas, Peradilan Agama juga memiliki beberapa kelemahan terhadap kewenangannya dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah –khususnya perbankan syariah- yaitu:
1. Belum ada regulasi atau peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekonomi syariah, sehingga dengan adanya beragam rujukan kitab hukum, dimungkinkan akan muncul putusan yang berdisparitas dalam kasus yang sama. Hal ini bukan saja membingungkan umat, tetapi juga tidak menguntungkan dalam dunia bisnis, sehingga dikhawatirkan memunculkan sikap trauma bagi para pelaku ekonomi syariah untuk berperkara di Pengadilan Agama.

2. Aparat Peradilan Agama yang sebagian besar mempunyai background disiplin ilmu syariah dan hukum kurang memahami aktifitas ekonomi baik yang besifat mikro maupun makro, juga kegiatan di bidang usaha sektor riel, produksi, distribusi dan konsumsi;
3. Aparat Peradilan Agama masih gagap terhadap kegiatan lembaga keuangan syariah sebagai pendukung kegiatan usaha sektor riel, seperti: Bank Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Multifinance, Pasar Mdal dan sebagainya;
4. Pencitraan inferior terhadap Peradilan Agama yang dipandang hanya berkutat menangani masalah NCTR sulit dihapus, hal ini merupakan dampak dari kurangnya dukungan dari lembaga-lembaga terkait untuk mensososialisasikan UU No. 3 Tahun 2006.
5. Sebagian besar kondisi gedung Kantor Pengadilan Agama dan sarana maupun prasarananya yang ada belum merepresentasikan sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili para bankir dan para pelaku bisnis, oleh karenanya untuk merubah paradigma sebagai lembaga peradilan yang modern maka hal ini mutlak harus diperbaiki dan ditunjang oleh anggaran yang memadai untuk tahun-tahun yang akan datang;
6. Performace aparat peradilan yang kurang meyakinkan, terutama dari segi penampilan dan cara berpakaian mereka yang masih sangat sederhana, hal ini semata-mata karena kesejahteraan mereka yang kurang memadai, sehingga dengan rencana tunjangan khusus bagi aparat peradilan diharapkan bukan saja meningkatkan performance mereka, tetapi lebih dari itu adalah untuk meningkatkan kinerja aparat peradilan demi menuju lembaga peradilan yang adil, jujur, berwibawa dan bebas korupsi sebagaimana amanat reformasi.
7. Adanya aparat peradilan terutama sebagian hakim yang masih gaptek (gagap teknologi) menjadi kendala tersendiri bagi mereka yang akan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, karena pengetahuan ekonomi syariah bagi para hakim harus selalu up to date tentunya harus didukung oleh kemampuan mereka dalam mengakses informasi dari berbagai media terutama melalui internet. Untuk mengantisipasi hal tersebut nampaknya BADILAG cepat tanggap sehingga terus menggalakkan dengan lomba TI (Teknologi Informasi) bagi Peradilan Agama di seluruh Indonesia, himbauan BADILAG tesebut telah mendapatkan respon positif dan sebagian besar Peradilan Agama di seluruh Indonesia, hal ini terbukti dengan telah terbentuknya Tim TI di sebagian besar daerah-daerah yang jauh dari ibukota. Setidaknya adanya sayembara TI yang diadakan oleh BADILAG tersebut untuk memberikan stimulus bagi para aparat peadilan agama untuk berlomba-lomba mengakses informasi melalui internet.


Dualisme dalam penyelesaian perkara

Persoalan dualisme penyelesaian sengketa perbankan akhirnya bermuara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah Dosen Universitas Islam Indonesia, Dadan Muttaqien yang meminta MK agar menyelesaikan persoalan yang sempat membingungkan para praktisi perbankan syariah itu. Dadan mengajukan permohonan judicial review UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman .

Ketentuan yang diuji adalah penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d UU Perbankan Syariah serta penjelasan Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman. Ketiga peraturan ini mengatur penyelesaian sengketa perbankan syariah diselesaikan melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum.

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah menyebutkan secara opsional penyelesaian sengketa yang bisa dipilih oleh para pihak. Yakni, a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan huruf d ini dianggap bisa menjadi persoalan di kemudian hari.

Padahal, UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyatakan sebaliknya. Yang mempunyai kewenangan untuk menangani perkara ekonomi syariah yang di dalamnya termasuk perkara sengketa perbankan syariah adalah Peradilan Agama. Artinya, terdapat dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah, di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.

Adanya kompetensi peradilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum dalam bidang perbankan syariah selain menunjukan adanya reduksi, juga mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi.

Dadan menilai adanya choice of forum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah -berdasarkan Pasal 55 ayat (2) huruf d UU Perbankan Syariah- menunjukan adanya inkonsistensi pembentuk undang-undang dalam merumuskan aturan hukum. Di samping itu, keberadaan choice of forum itu akan sangat berpengaruh pada daya kompetensi peradilan agama.

Meski yang diajukan terhadap objek yang sama, pemohon membuat menjadi dua permohonan. Pasalnya, terdapat perbedaan antara UU Perbankan Syariah dan UU Kekuasaan Kehakiman. Ini dua Undang-Undang yang berbeda. Landasan yuridis dan filosofis masing-masing Undang-Undang tersebut berbeda.

Selain itu,  pemohon memfokuskan diri pada kapasitas pemohon dalam permohonan ini. Menurutnya, hal tersebut akan memperjelas kedudukan hukum atau legal standing Dadan sebagai pemohon dalam pengujian dua UU tersebut.

Dalam permohonannya, Dadan memang bertindak atas nama tiga profesi, yakni selaku dosen, Arbiter Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Kepala Pusat Konsultasi Bantuan Hukum Islam UII. Anda pilih saja kerugian konstitusionalnya yang paling tepat.

Berdasarkan catatan, penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d UU Perbankan Syariah memang sempat menuai kritikan dari para pemangku kepentingan. Bahkan, dalam Pasal 55 ayat (1) UU yang sama secara tegas menyebutkan 'Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama'.  

Kala itu, Hakim Agung Abdul Gani Abdullah mengakui pasal tersebut menimbulkan contradictio in terminis (berlawanan arti). Di satu sisi, seluruh sengketa diselesaikan di pengadilan agama (PA), tapi di sisi lain membuka kesempatan kepada pengadilan negeri (PN). Padahal keduanya memiliki kompetensi absolut berbeda. Abdul Gani memprediksi persoalan ini bisa menimbulkan sengketa kewenangan antar lembaga peradilan. Meski mengakui ada dualisme, Abdul Gani meminta agar para stakeholders tak perlu panik.

Salah satu kewenangan MA dalam UU Mahkamah Agung adalah memutus bila ada sengketa kewenangan antar peradilan. Peranan inilah yang akan dimainkan oleh MA. Hakim MA bisa menetapkan hukum. Yang benar yang mana. Nanti bisa jadi yurisprudensi..Uniknya lagi, mantan Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Perbankan Syariah Harry Azhar mengakui adanya kesalahan. Namun, ia buru-buru mengklarifikasi bahwa yang mempunyai kekuatan hukum adalah isi pasal, bukan penjelasan.



DAFTAR PUSTAKA
Ariyanto dkk., Tak Sekadar Menangani Kawin Cerai (Kolom Hukum), Trust Majalah Berita ekonomi dan Bisnis Edisi 27 Tahun IV, 17-23 April 2006.
Coulson, NJ. 1991. a History of Islamic Law, Edinburg University Press.
Manan, Abdul. 2007. Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten.
Margono, Suyud. 2000. ADR dan Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Jakarta: Ghalia Indonesia.
M. Thaher, Asmuni. Kendala-kendala Seputar Eksistensi Perbankan Syariah di Indonesia, MSI-UII.Net-3/9/2004
Perwataatmaja, Karnaen dkk. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media.
Rosyadi, A. Rahmat. 2002. Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih Sunnah (Terjemahan Jilid 13), Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Suhartono, Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional, www.Badilag.net diakses tgl. 31-10-2007
Sumitro, Warkum. 2004. Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia), Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafe’i, Rachmat. Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan syariah, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm
Usman, Rachmadi. 2002. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2000. Hukum Arbitrase, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar