cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

hukum acara perdata


Sifat Hukum Acara Perdata Menurut UU Kekuasaan Kehakiman

Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata materiil atau peraturan yang mengatur bagaimana cara mengajukan suatu perkara perdata kemuka pengadilan perdata dan bagaimana cara hakim perdata memberikan putusan. Menurut Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Sifat Hukum Acara Perdata sebagai hukum perdata formil sebagaimana diketahui bahwa hukum yang tergolong private recht bersifat mengatur, dan hukum yang tergolong publiek recht bersifat memaksa, hukum acara perdat bersifat memaksa yang mengadung arti bahwa bila terjadi suatu proses acara perdata di pengadilan maka ketentuannya tidak dapat dilanggar melainkan harus diataati oleh para pihak kalau tidak ditaati oleh para pihak dimana jika tidak ditaati akan berakibat merugikan bagi para pihak yang berperkara. Sifat Hukum Acara Perdata yang memaksa ini tiidak dalam konteks hukum publik karena Hukum Acara Perdata sendiri termasuk hukum privat, tetapi sifat memaksa ini dalam konteks memaksa kepada para pihak apabila telah masuk pada suatu proses acara perdatanya di pengadilannya.
Hukum perdata materiil adalah pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana selayaknya warga masyarakat tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Akan tetapi hukum bukanlah hanya sebagai pedoman saja, namun harus dilaksanakan. Setiap orang dapat melaksanakan hukum tersebut meskipun kadang-kadang mereka tidak menyadarinya.
Hukum perdata formil atau Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Untuk melaksanakan aturan-aturan dan menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil maka diperlukan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini badan peradilan. Peraturan-peraturan hukum perdata formil tersebut hanya dapat dilaksanakan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman. Tanpa adanya kekuasaan kehakiman maka hukum perdata formil tidak dapat dilaksankan dan hukum perdata materiil tidak dapat dijamin pelaksanaannya.

Menurut Pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang isinya adalah 
Pasal 10
(1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Pengadilan dalam hal ini wajib memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan, namun dalam penyelesaian perdata tidak menutup kemungkinan untuk menyelesaikan perkara perdata secara damai (diluar pengadilan). Hal ini juga selaras dengan sifat hukum perdata, yang pelaksanaannya pada umumnya diserahkan kepada kemauan yang
berkepentingan sendiri.

Pada Pasal 25 ayat (1) dan (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang isinya adalah
Pasal 25
(1)   Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
(2)   Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini menurut pasal tersebut, peradilan perdata kekuasaannya ada di bawah Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal pelaksanaan putusan pengadilan, menurut Pasal 54 ayat (2) dan (3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi
Pasal  54
 (2) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
(3) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.

Dalam hal ini pelaksanaan putusan pengadilan pada Hukum Acara Perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

Pada Pasal 58 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi
Pasal 58
Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
Pada Pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa pada perkara perdata dapat melakukan perdamaian, pada Pasal 58 dijelaskan bagaimana prosedur menyelesaikan perkara tersebut salah satunya adalah dengan melakukan arbitrase.
Dalam Pasal 59 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang isinya
Pasal 59
(1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
(2) Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
(3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Pada pasal ini dijelaskan lebih lanjut mengenai penyelesaian perkara diluar pengadilan melalui arbitrase.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar