cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

hukum perorangan dan kekeluargaan islam 2


POLIGAMI DAN KAWIN SIRRI MENURUT ISLAM

Poligami dan kawin sirri, sebuah istilah yang tak kunjung basi mewakili keadaan yang tak lekang dibahas hingga kini. Dengan perubahan keragaman jaman dan sudut pandang, hal yang satu ini menjadi tak bosan tuk dijadikan bahan pembicaraaan. Berikut kami share sebuah tulisan yang diambil langsung dari Note sahabat kami di FB, Gus Im (Imam Puji Hartono), yang mana tulisan ini Beliau dokumentasikan dari hasil karya dari Ustadz Quraish Shihab tentang Poligami dan Kawin Sirri Menurut Islam. Tulisan yang diambil dari makalah beliau pada Semiloka Sehari “Poligami di Mata Kita” yang diselenggarakan di Denpasar tahun 2007 lalu. Semoga menjadi tambahan referensi dan penjelasan dari informasi yang selama ini kita dapatkan tentang poligami dan kawin sirri menurut Islam.

Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd nikah. Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat: Cinta (mawaddah), Rahmah (kondisi psikologis yang muncul di dalam hati untuk melakukan pemberdayaan), & Amanah (ketenteraman).

Poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan”. Kata tersebut dapat mencakup pologini yakni “sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama”, maupun sebaliknya, yakni poliandri, di mana seorang wanita memiliki/mengawini sekian banyak lelaki.

Poligami dalam kedua makna di atas dahulu kala dikenal oleh masyarakat umat manusia, tetapi kemudian agama dan budaya melarang poliandri dan masih membuka pintu untuk terlaksananya poligami.

Makalah ini akan membahas poligami secara terbatas, bukan poliandri, bukan saja karena secara umum orang memahami kata poligami dalam arti terbatas itu, tetapi juga karena poliandri tidak dikenal dalam masyarakat beradab, apalagi masyarakat Indonesia.

Poligami dahulu dilakukan oleh banyak lelaki terhormat, serta diterima tanpa menggerutu oleh perempuan-perempuan yang dimadu. Sementara orang berkata bahwa poligami lahir akibat penguasaan dan penindasan lelaki atas perempuan. Tetapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena sejarah umat manusia pun pernah mengenal dan membenarkan sistem poliandri. Will Durant sejarawan Amerika dalam bukunya The Lesson of History menunjuk antara lain Tibet, sebagai lokasi maraknya poliandri. Nah apakah ini berarti bahwa di sana terjadi dominasi kekuasaan perempuan atas lelaki?

Ternyata tidak! Kondisi perempuan di Barat pada abad-abad pertengahan tidak lebih baik – kalau enggan berkata lebih buruk — daripada kondisi perempuan di Timur, sebagaimana diakui oleh penulis-penulis Barat yang objektif. Namun demikian, mengapa poligami di Barat tidak semarak di Timur? Jadi, masalahnya bukan akibat penindasan lelaki atas perempuan, apalagi bukankah sekian banyak perempuan yang dijadikan isteri kedua atau ketiga, justru secara sadar dan suka rela bersedia untuk dimadu ? Seandainya mereka – dahulu atau kini – tidak bersedia, pasti jumlah lelaki yang berpoligami akan sangat sedikit.

Agaknya poligami marak pada masa lalu karena “nurani” dan rasa keadilan lelaki maupun perempuan tidak terusik olehnya. Kini “rasa keadilan” berkembang sedemikian rupa akibat maraknya seruan HAM dan persamaan gender, sehingga mengantar kepada perubahan pandangan terhadap banyak hal, termasuk poligami. Apalagi, ketergantungan perempuam kepada lelaki tidak lagi serupa dengan masa lalu akibat pencerahan dan kemajuan yang diraih perempuan dalam berbagai bidang.

Secara umum dapat dikatakan bahwa poligami pada dasarnya dibenarkan oleh agama-agama. Dalam Perjanjian Lama – misalnya disebutkan – bahwa Nabi Sulaiman memiliki tujuh ratus isteri bangsawan dan tiga ratus gundik (Perjanjian Lama, Raja-Raja I-11-4). Nabi Ibrahim juga berpoligami, paling tidak beliau memiliki dua orang isteri. Gereja-gereja di Eropa pun mengakui poligami hingga akhir abad XVII atau awal abad XVIII. Ini karena tidak ada teks yang jelas dalam Perjanjian Baru yang melarang poligami. Bahkan, kalau kita menyatakan bahwa dalam Perjanjian Lama poligami dibenarkan, terbukti antara lain dengan apa yang dikutip di atas, sedang Nabi Isa As. tidak datang untuk membatalkan Perjanjian Lama, sebagaimana pernyataan beliau sendiri (Baca Matius V-17), maka itu berarti beliau juga membenarkannya.

Sekian banyak alasan logika yang dikemukakan oleh para pendukung poligami menyangkut bolehnya poligami. Mereka berkata “Perbandingan jumlah lelaki dan perempuan menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak, baik karena kelahiran dan ketangguhan wanita menghadapi penyakit, maupun karena dampak peperangan yang mengakibatkan banyaknya lelaki yang gugur”.

Di sisi lain, kemandulan atau penyakit parah merupakan satu kemungkinan yang dapat terjadi bagi siapapun? Ketika itu, apakah jalan keluar yang diusulkan menghadapi kasus demikian? Bagaimana menyalurkan kebutuhan biologis seorang lelaki untuk memperoleh keturunan? Menahannya sehingga menimbulkan stess atau berhubungan gelap dengan perempuan lain, atau kawin secara sah (berpoligami) tetapi dengan syarat adil dan baik-baik? Tentu saja, alasan-alasan di atas dapat didiskusikan – sehingga bisa saja diterima atau ditolak – sesuai dengan pandangan dasar masing-masing atau agama dan budaya yang dianutnya.

Islam pada dasarnya membolehkan poligami berdasarkan firman-Nya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah apa yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain): dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Lalu, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisâ’[4}: 3 ).

Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi pada ayat di atas: Pertama, ayat ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama dan adat istiadat masyarakat. Ia tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkanya. Ia, hanya berbicara tentang bolehnya poligami bagi orang-orang dengan kondisi tertentu. Itu pun diakhiri dengan anjuran untuk ber-monogami dengan firman-Nya: “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Adalah wajar bagi satu perundangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat , untuk mempersiapkan ketetapan hukum bagi kasus yang bisa jadi terjadi satu ketika, walaupun baru merupakan kemungkinan.

Seandainya ayat itu berupa anjuran, pastilah Tuhan menciptakan perempuan empat kali lipat dari jumlah lelaki, karena tidak ada arti Anda – apalagi Tuhan – menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang memerlukannya ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti yang dikemukakan contohnya di atas. Tentu saja, masih bisa ada kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan dengan syarat yang tidak ringan itu. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kondisi dan situasi apapun yang dibenarkan itu tidak mengandung makna anjuran berpoligami. Justru sebaliknya, tuntunan dan tujuan perkawinan dapat dinilai ajakan untuk tidak berpoligami, apapun kondisi dan situasi yang dihadapi oleh suami-isteri, sebagaimana akan disinggung nanti.

Kedua, firman-Nya “jika kamu takut” mengandung makna jika kamu mengetahui. Ini berarti siapa yang yakin atau menduga, bahkan menduga keras, tidak akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang yatim maupun yang bukan, maka mereka itu tidak diperkenankan melakukan poligami. Yang diperkenankan hanyalah yang yakin atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak, sayogianya tidak diizinkan berpoligami.

Kita tidak dapat membenarkan siapa yang berkata bahwa poligami adalah anjuran, dengan alasan bahwa Nabi Muhammad Saw. kawin lebih dari satu, karena tidak semua yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya. Memang tidak jarang bagi yang menyandang tugas tertentu, memperoleh kelebihan-kelebihan, baik kewajiban maupun hak. Itu adalah konsekuensi dari tugas yang diemban. Belum tentu, apa yang terlihat sebagai keistimewaan dalam hakikat dan kenyataannya demikian. Perkawinan Nabi Muhammad Saw. dengan sekian banyak isteri jelas bukan untuk tujuan pemenuhan kebutuhan seksual, karena isteri-isteri beliau itu pada umumnya adalah janda-janda yang sedang atau segera akan memasuki usia senja. Di sisi lain, perlu disadari bahwa Rasul Saw. baru berpoligami setelah isteri pertamanya wafat. Perkawinan beliau dalam bentuk monogami itu berjalan selama 25 tahun. Setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya isteri pertama beliau (Kahdijah) barulah beliau berpoligami (menggauli ‘Aisyah Ra). Beliau ketika itu berusia sekitar 55 tahun, sedangkan beliau wafat dalam usia 63 tahun. Ini berarti beliau berpoligami hanya dalam waktu sekitar delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup ber-monogami, baik dihitung berdasar masa kenabian lebih-lebih jika dihitung seluruh masa perkawinan beliau. Jika demikian, maka mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani? Mengapa juga tidak meneladaninya dalam memilih calon-calon isteri yang telah/hampir mencapai usia senja?

Kendati penulis tidak sependapat dengan mereka yang ingin menutup mati pintu poligami, namun penulis menilai bahwa berpoligami bagaikan pintu darurat dalam pesawat udara, yang tidak dapat dibuka kecuali saat situasi sangat gawat dan setelah diizinkan oleh pilot. Yang membukanya pun haruslah mampu, karena itu tidak diperkenankan duduk di samping emergency door kecuali orang-orang tertentu.

Sementara orang melarang poligami dengan alasan dampak buruk yang diakibatkannya. Longgarnya syarat, ditambah dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang tujuan perkawinan, telah mengakibatkan mudhârat yang bukan saja menimpa isteri–isteri yang seringkali saling cemburu berlebihan, tetapi juga menimpa anak-anak, baik akibat perlakuan ibu tiri maupun perlakuan ayahnya sendiri, bila sangat cenderung kepada salah satu isterinya. Perlakuan buruk yang dirasakan oleh anak dapat mengakibatkan hubungan antar anak-anak pun memburuk, bahkan sampai kepada memburuknya hubungan antar keluarga. Dampak buruk inilah yang mengantar sementara orang melarang poligami secara mutlak.

Tetapi, perlu diketahui bahwa poligami yang mengakibatkan dampak buruk yang dilukiskan di atas adalah yang dilakukan oleh mereka yang tidak mengikuti tuntunan hukum dan agama. Terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan hukum bukanlah alasan yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum itu, apalagi bila pembatalan tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat. Di sini perlu disadari bahwa dalam masyarakat yang melarang poligami atau menilainya buruk, baik di Timur lebih-lebih di Barat, telah mewabah hubungan seks tanpa nikah, muncul wanita-wanita simpanan, dan pernikahan-pernikahan di bawah tangan. Ini berdampak sangat buruk, lebih-lebih terhadap perempuan-perempuan.

Di sini kalau kita membandingkan hal tersebut dengan poligami bersyarat, maka kita akan melihat betapa hal itu jauh lebih manusiawi dan bermoral dibanding dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat yang melarang poligami.

Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd nikah. Kata ’aqd berarti ikatan, sedang nikâh berarti penyatuan.

Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat: Pertama, cinta atau mawaddah, menurut bahasa kitab suci al-Quran. Mawaddah adalah cinta yang disertai dengan kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Karena itu, yang bersemai mawaddah dalam hatinya tidak lagi akan memutuskan hubungan, ini disebabkan oleh karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintu hatinya telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya).

Kedua, Rahmah. Ia adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati karena menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Rahmat menghasilkan kesabaran, murah hati. Rahmat diperlukan sebagai pengikat perkawinan. Karena, betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapa pun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi. Di samping itu, bisa jadi potensi mawaddah yang terdapat dalam lubuk hati setiap suami atau isteri, belum terasah dengan baik. Sehingga, mawaddah belum mencapai tingkat yang dapat menjamin kelanggengan hubungan harmonis. Bisa jadi, juga ada unsur lain – katakanlah kelahiran anak – yang menjadikan mawaddah mengalami erosi . Nah, di sinilah faktor rahmat berperanan.

Rahmat – walau tanpa cinta — mempunyai peranan yang sangat besar dalam membendung kebutuhan pribadi dan berkorban. Seorang suami boleh jadi mendambakan anak, tetapi isterinya mandul. Atau, bisa jadi dorongan seksualnya tidak terpenuhi melalui seorang isteri, sehingga mendorongnya berpoligami. Tetapi, jika ia menyadari bahwa hal tersebut akan sangat menyakitkan isterinya, maka rahmat yang menghiasi dirinya terhadap isterinya membendung keinginan tersebut. Ketika itu, si suami akan ”berkorban“ demi mawaddah dan kasihnya. Demikian juga dapat terjadi pada isteri, ia akan merasakan kepedihan karena kebutuhan suami atau keinginannya yang tidak terpenuhi, sehingga rahmat yang terhunjam dalam jiwanya akan mengundangnya berkorban dan ”menutup mata“.

Ketiga, Amanah. Amanah berasal dari akar kata yang sama dengan kata “aman”, yang bermakna “tenteram”. Juga, sama dengan kata “iman” yang berarti “percaya”. Ketiganya berbeda, tetapi dalam saat yang sama masing-masing memilikinya.

Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu akan dipelihara dengan baik, serta aman keberadaannya di tangan yang diberi amanat itu.

Isteri adalah amanah di pelukan sang suami dan suami pun amanah di pelukan sang istri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami, demikian juga isteri, tidak akan menjalin hubungan kecuali jika masing-masing merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Perkawinan bukan hanya amanat dari mereka, tetapi juga amanat dari Tuhan Yang Mahakuasa.

Ketiga hal tersebut yang melahirkan sakinah (ketenangan batin) yang merupakan tujuan perkawinan. Sekali lagi, di sini ditemukan penghalang bagi poligami, karena dengan berpoligami terjadi keresahan, khususnya bagi mereka yang peka terhdap rasa keadilannya.

Pakar hukum Islam Mesir, Abu Zahrah, dalam bukunya Al-Ahwâl Asy-Syakhshiyyah menegaskan bahwa tidak terdapat dalam teks ayat al-Quran yang menghalangi pemerintah menetapkan syarat-syarat yang mengantar kepada keadilan, pergaulan baik, dan kewajiban infak dalam hal perkawinan. “Tidak ada teks keagamaan yang melarang untuk menempuh jalan itu“.

Yang ingin penulis kemukakan dengan kutipan di atas, bahwa banyak jalan yang dapat ditempuh guna menghalangi ketidakadilan terhadap perempuan, termasuk dalam hal poligami, tanpa harus mengorbankan teks atau memberinya penafsiran yang sama sekali tidak sejalan dengan kandungannya.

Dalam ajaran Islam, pernikahan tidak boleh dilakukan secara diam-diam, tanpa saksi-saksi, bahkan seharusnya atau paling tidak dengan restu wali. Islam menganjurkan agar dilakukan pesta , walau sederhana, dan dirayakan dengan bunyi-bunyian (musik). Karena itu pula, siapa yang diundang ke walimah (pesta pernikahan), maka dia sangat dianjurkan untuk menghadirinya. Jika dia tidak berpuasa, maka hendaklah dia makan, tapi bila berpusa cukup menghadirinya saja. Ini bukan saja untuk menampakkan kegembiraan dengan terjalinnya pernikahan itu, tetapi juga sebagai kesaksian, sehingga dapat menampik sekian banyak isu negatif yang boleh jadi muncul atau penganiayaan yang dapat terjadi atas salah satu pasangan.

Saksi pernikahan minimal dua orang. Memang terjadi perbedaan pendapat, apakah jika telah hadir dua orang saksi pernikahan, lalu mereka diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, apakah ini termasuk nikah sirri atau bukan? Imam Malik berpendapat bahwa itu termasuk perkawinan sirri, yakni terlarang. Pendapat ini sangat logis dan tepat karena sejalan dengan fungsi penyebarluasan berita perkawinan serta lebih mendukung penampikan isu-isu negatif terhadap pasangan lelaki dan perempuan.

Dengan diumumkannya perkawinan, maka tidak juga akan hilang hak-hak masing-masing jika seandainya terjadi perceraian, baik perceraian mati maupun perceraian hidup. Hak anak yang dilahirkan pun akan menjadi jelas siapa orang tuanya. Dalam kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, diharuskan adanya pencatatan pernikahan demi terjaminnya ketertiban dan menghalangi terjadinya persengketaan tanpa penyelesaian. Hal ini berlaku hampir di seluruh negeri bermasyarakat Islam.

Poligami dalam Islam
Poligami dalam Islam merupakan praktik yang diperbolehkan (mubah, tidak larang namun tidak dianjurkan). Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya (Surat an-Nisa ayat 3 4:3).
            “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.”   

Beberapa ulama kontemporer seperti Syekh Muhammad Abduh , Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan (ketiganya ulama terkemuka Al Azhar Mesir) lebih memilih memperketat penafsirannya. Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu (tahun 1899), memilih mengharamkan poligami. Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil.. Saat ini negara Islam yang mengharamkan poligami hanya Maroko. Namun sebagian besar negara-negara Islam di dunia hingga kini tetap membolehkan poligami, termasuk Undang-Undang Mesir dengan syarat sang pria harus menyertakan slip gajinya.
Nabi Muhammad, nabi utama agama Islam melakukan praktik poligami pada delapan tahun sisa hidupnya, sebelumnya ia beristri hanya satu orang selama 28 tahun. Setelah istrinya saat itu meninggal (Khadijah) barulah ia menikah dengan beberapa wanita. Kebanyakan dari mereka yang diperistri Muhammad adalah janda mati, kecuali Aisyah (putri sahabatnya Abu Bakar).

Dalam kitab Ibn al-Atsir, sikap beristeri lebih dari satu wanita yang dilakukannya adalah upaya transformasi sosial. Mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Nabi Muhammad saw marah besar ketika mendengar putrinya, Fatimah , akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar kabar itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru:
            Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.       

Penentang poligami kerap menggunakan hadits diatas untuk menolak dibolehkannya poligami, namun sebenarnya, hadits tentang kejadian yang sama dalam versi yang lebih lengkap menceritakan bahwa marahnya Nabi Muhammad saw dikarenakan oleh calon yang hendak diperistri Ali adalah putri dari Abu Jahal, yakni salah satu musuh Islam saat itu.
            Abu Yamân meriwayatkan kepada kami dari Syu'aib dari Zuhri dia berkata, Ali ibn Husain meriwayatkan kepadaku bahwa Miswar ibn Makhramah berkata, Sesungguhnya Ali meminang anak perempuan Abu Jahal. Kemudian Fatimah mendengar tentang hal itu lalu kemudian dia datang kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata, "Kaummu mengira bahwa kamu tidak marah karena putri-putrimu. Dan ini Ali (ingin) menikahi anak perempuan Abu Jahal." Lalu Rasulullah s.a.w. berdiri, maka dia pun berdiri. Kemudian aku mendengarkan Beliau ketika mengucapkan tasyahhud (seperti pada khutbah) dan berkata, "Amma Ba'd, Aku telah menikahkan Abu Âsh ibn Rabî' kemudian dia berbicara kepadaku dan jujur kepadaku. Dan sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku dan aku tidak senang ada sesuatu yang menyakitinya. Demi Allah, tidak berkumpul anak perempuan Rasulullah s.a.w. dengan anak perempuan musuh Allah pada satu laki-laki." Kemudian Ali meninggalkan pinangannya.

Saat ini, poligami dihujat habis-habisan. Bahkan dulu ada UU yang melarang pegawai negeri berpoligami. Bahkan di Republika, katanya ada rancangan hukum Agama yang melarang poligami.

Seorang suami, dilarang berpoligami. Sementara masyarakat umum membolehkan suami tersebut berselingkuh dan berzinah dengan puluhan bahkan mungkin ratusan wanita atau pelacur selama hidupnya. Ironis bukan?

Pada saat yang sama, kelompok sekuler, justru melindungi, dan mempromosikan perzinahan baik perselingkuhan mau pun pelacuran.

Acara yang mengobral pornografi, kumpul kebo, pelacuran, ditayangkan di mana-mana, sementara kondom dan obat kuat juga dipromosikan secara terbuka.

Istilah “Pelacur” dirubah jadi “Pekerja Seks Komersial”, sehingga para pelacur yang kerjanya cuma (maaf) “mengangkang” dianggap sedang “bekerja.”

Pada satu acara TV, ada satu kisah nyata tentang seorang anak yang bernama Eric yang hidup di Polinesia. Eric tidak pernah tahu siapa ayahnya.

Bahkan “ayahnya” tidak pernah tahu jika ibu Eric hamil, karena “ayah” Eric yang orang Perancis, hanya berzinah dengan pelacur (ibu Eric) ketika singgah di Polinesia, dan segera pergi begitu kapalnya berlayar.

Setiap ada kapal datang, Eric mendekat dan berharap bisa bertemu ayahnya. Tanpa kasih sayang seorang ayah, Eric sempat putus asa dan ingin bunuh diri. Itulah akibat poligami liar/zina!

Ada juga yang karena berzinah, baik dengan wanita biasa atau pelacur, akhirnya ketika hamil, mereka menggugurkan kandungannya dan membunuh janin yang tidak berdosa.

Kehidupan macam itukah yang diinginkan oleh kelompok Sekuler? Seks bebas yang tidak bertanggung-jawab? Bukankah lebih baik jika para pelacur itu menjadi istri ke 2 atau ke 3, ketimbang harus melacur melayani 2-3 pria setiap malam dengan resiko berbagai penyakit kelamin dan AIDS serta anaknya lahir tanpa bapak”

Sesungguhnya Poligami lebih baik daripada berselingkuh atau berzinah dengan pelacur. Poligami itu halal, sementara selingkuh atau pelacuran itu haram:

“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS An-Nisa: 3)

Ayat di bawah yang sering digunakan dalil untuk menolak poligami juga sebetulnya membolehkan poligami:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.: [An Nisaa’:129]

Di ayat di atas Allah menegaskan bahwa manusia tidak akan dapat adil secara sempurna kepada istri-istrinya. Meski demikian bukan berarti melarang poligami, tapi menyuruh manusia agar tidak terlalu condong pada yang dicintai dan membiarkan yang lain terlantar. Adil yang dimaksud adalah adil dalam hal pemberian materi dan giliran.

Jika kita baca Alkitab, kita akan mengetahui bahwa ternyata banyak Nabi mau pun orang biasa yang diurapi (diberkahi) Tuhan melakukan poligami. Daud sampai beristri 100 orang, Salomo 1000 orang, Yakub 4, Abraham selain punya 2 istri (Sarah dan Hagar) juga punya beberapa gundik. Silahkan baca Alkitab: I Raja-Raja 11:1-3, Kejadian 29:28-30, I Tawarikh 14:3, Tawarikh 3:1-9.

Kelompok Islam Liberal yang mengharamkan poligami tidak melihat ayat di atas dan kenyataaan bahwa Nabi Muhammad dan juga nabi-nabi sebelumnya berpoligami.

Dari 4 presiden Indonesia, Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, 3 di antaranya diisyukan punya wanita lain di samping istri pertama (kalau Soekarno jelas punya banyak istri). Presiden AS pun banyak yang punya berhubungan seks selain dengan istri pertamanya, contohnya: Bill Clinton, John F Kennedy, Roosevelt, Thomas Jeffferson, Grover Cleveland, Woodrow Wilson, Warren Harding, Eisenhower (www.who2.com/hailtothesheets.html).

Penyanyi Julio Iglesias mengaku sudah “menggoreng” 2.000 wanita di tempat tidur. Sementara majalah Tempo pernah memberitakan bahwa 1 dari 3 pria pasti punya wanita lain/selingkuh. Itu membuktikan ada pria yang tidak bisa hidup dengan hanya 1 istri, apalagi jika istri tersebut sedang haid, hamil dan melahirkan, atau menopause. Jika poligami syari’ah dilarang, maka mereka akan melakukan poligami liar/zina yang tidak ada tanggung-jawab menyantuni istri dan anak baik lahir mau pun batin.

Sering orang-orang sekuler menolak syariat Islam dengan alasan negara tidak berhak campur tangan dalam masalah agama. Tapi dalam hal poligami, mereka meminta negara melarang poligami. Sebaliknya mereka justru menolak jika negara melarang pelacuran dengan berbagai alasan. Pada RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi mereka menolak pemerintah melarang warganya berciuman di depan umum atau selingkuh dengan alasan itu masalah pribadi. Sekarang justru mereka meminta negara melarang poligami yang juga adalah masalah pribadi. Aneh bukan?

Itulah ciri-ciri orang yang tidak beriman. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.

Di Detik.com disebut bahwa orang yang berpoligami berpotensi menyebarkan penyakit kelamin karena berganti-ganti pasangan. Ini salah besar. Meski seorang suami beristri 4, tapi istrinya kan itu-itu saja. Jika mereka semua bersih ya tidak akan ada penyakit kelamin. Sebaliknya bagi yang menempuh monogami tapi selingkuh dengan berganti-ganti pasangan atau ke tempat pelacuran, justru mereka lebih besar potensi kena penyakit kelamin.

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. “(QS Al-Mukminun: 5)

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,

“Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS An-Nur: 30)

Pada poligami, seorang pria harus adil kepada semua istrinya. Adil ini tentu dalam batas kemampuan manusia, seperti jatah hari, atau pun pemberian materi. Bukan sesuatu hal yang di luar jangkauan kemampuan manusia.

Suami bertanggung-jawab memenuhi nafkah lahir dan batin serta melindungi semua istrinya, dan juga anak-anaknya.

Pada perselingkuhan mau pun pelacuran, pada dasarnya terjadi hubungan seks antara satu pria dengan banyak wanita seperti pada poligami. Tapi pada perselingkuhan dan pelacuran, tidak ada tanggung-jawab bagi pria mau pun wanita.

Sang pria tidak harus memberi nafkah lahir dan batin, kecuali hanya pada saat kesenangan sesaat.

Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Terkadang sebagian manusia merasa sombong sehingga mengharamkan apa yang Allah halalkan.

“Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,[QS Al Fath 48.4]

Ulama besar, Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, dalam bukunya, “Halal dan Haram dalam Islam” menulis: “Islam telah menentukan keperluan perorangan dan masyarakat, dan menentukan ukuran kepentingan dan kemaslahatan manusia seluruhnya. Di antara manusia ada yang ingin mendapat keturunan tetapi sayang isterinya mandul atau sakit sehingga tidak mempunyai anak.

Bukankah suatu kehormatan bagi si isteri dan keutamaan bagi si suami kalau dia kawin lagi dengan seorang wanita tanpa mencerai isteri pertama dengan memenuhi hak-haknya”

Sementara ada juga laki-laki yang mempunyai nafsu seks yang luarbiasa, tetapi isterinya hanya dingin saja atau sakit, atau masa haidhnya (atau kehamilan “ penulis) itu terlalu panjang dan sebagainya, sedang si laki-laki tidak dapat menahan nafsunya lebih banyak

seperti orang perempuan. Apakah dalam situasi seperti itu si laki-laki tersebut tidak boleh kawin dengan perempuan lain yang halal sebagai tempat mencari kawan tidur” Dan ada kalanya jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki, lebih-lebih karena akibat dari peperangan yang hanya diikuti oleh laki-laki dan pemuda-pemuda. Maka di sini poligami merupakan suatu kemaslahatan buat masyarakat dan perempuan itu sendiri, sehingga dengan demikian mereka akan merupakan manusia yang bergharizah yang tidak hidup sepanjang umur berdiam di rumah, tidak kawin dan tidak dapat melaksanakan hidup berumahtangga yang di dalamnya terdapat suatu ketenteraman, kecintaan, perlindungan, nikmatnya sebagai ibu dan keibuan sesuai pula dengan panggilan fitrah.

Ada tiga kemungkinan yang bakal terjadi sebagai akibat banyaknya laki-laki yang mampu kawin, yaitu:

1. Mungkin orang-orang perempuan itu akan hidup sepanjang umur dalam kepahitan hidup.

2. Mungkin mereka akan melepaskan kendalinya dengan menggunakan obat-obat dan alat-alat kontrasepsi untuk dapat bermain-main dengan laki-laki yang haram.

3. Atau mungkin mereka mau dikawini oleh laki-laki yang sudah beristeri yang kiranya mampu memberi nafkah dan dapat bergaul dengan baik.

Tidak diragukan lagi, bahwa kemungkinan ketiga adalah satu-satunya jalan yang paling bijaksana dan obat mujarrab. Dan inilah hukum yang dipakai oleh Islam, sedang

“Siapakah hukumnya yang lebih baik selain hukum Allah untuk orang-orang yang mau beriman”” (al-Maidah: 50)

Di Bali Post disebut jumlah wanita 2% lebih banyak dari pria (http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/9/27/op1.htm) atau lebih banyak 4,4 juta dari pria. Jika 2 juta wanita termasuk usia nikah, jika poligami dilarang, akan ada 2 juta wanita yang tidak menikah.

Dari sisi ekonomi mungkin wanita tersebut bisa memenuhi dengan bekerja. Tapi bagaimana dari sisi kebutuhan biologis? Jika poligami diharamkan, untuk memenuhi kebutuhan seksnya mereka akan jadi pelacur, simpanan, atau istri ke 2. Berapa banyak wanita yang dibunuh karena meminta dinikahi sementara si pria sudah punya istri? Berapa banyak bayi digugurkan karena anak lahir di luar nikah (contohnya kasus YZ dan ME saat ini)? Berapa banyak istri ke 2 yang harus dicerai karena monogami yang dipaksakan (contoh pasangan pengacara dan artis terkenal)? Berapa banyak anak yang lahir tanpa bapak untuk mengasuh dan menafkahinya?

Jadi jangan hanya memperhatikan “hak” istri pertama. Tapi juga perhatikan hak istri kedua dan anak-anaknya. Apalagi banyak pasangan poligami, ternyata istri pertama rela bahkan ada yang justru mencarikan wanita untuk jadi istri ke-2, ke-3, atau ke-4 bagi suaminya. Sebagai contoh jika istri Aa Gym, teteh Nini rela dan istri kedua rela, kenapa yang lain harus ribut?

Boleh jadi istri Aa Gym justru lebih berbahagia dari kebanyakan pasangan monogami yang gagal dan cerai seperti Reza, Enno, dan sebagainya.

Memang ada pelaku poligami yang tidak mengerti ilmu pernikahan misalnya tidak memberi nafkah lahir dan batin kepada salah satu istri. Padahal memberi nafkah itu wajib. Allah juga mengancam bahwa pelaku poligami yang tidak adil di hari kiamat nanti akan berjalan dengan kepala yang miring.

Dalam Islam, poligami harus dilakukan dengan adil dan baik. Semua istri harus dinafkahi dengan baik dan adil. Suami selain harus menyediakan rumah yang layak bagi setiap istrinya juga harus bergilir mendatangi rumah setiap istrinya dengan adil. Allah tidak mungkin membolehkan poligami jika manusia memang tidak bisa melakukannya.

Inilah sistem poligami yang banyak ditentang oleh orang-orang Kristen Barat yang dijadikan alat untuk menyerang kaum Muslimin, di mana mereka sendiri membenarkan laki-lakinya untuk bermain dengan perempuan-perempuan cabul, tanpa suatu ikatan dan perhitungan, betapapun tidak dibenarkan oleh undang-undang dan moral. Poligami liar dan tidak bermoral ini akan menimbulkan perempuan dan keluarga yang liar dan tidak bermoral juga. Kalau begitu manakah dua golongan tersebut yang lebih kukuh dan lebih baik?“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar