Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum materiil terjelma dalam undang-undang yang bersifat tidak tertulis, tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat, ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain disamping hukum materiil perdata, peraturan ini yang disebut sebagai hukum formil atau hukum acara perdata.[1] Yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana diatur dalam hukum perdata materiil.
Hukum acara perdata hanya di peruntukkan menjamin ditaatinya hukum materiil perdata, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim, lebih konkritnya lagi dengan cara mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya. Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri yaitu yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian.
Tindakan menghakimi sendiri ada tiga pendapat[2] ;
1. Sama sekali tidak dibenarkan (van Boneval faure) alasannya adalah hukum acara telah menyediakan upaya-upaya untuk memperoleh perlindungan hukum bagi para pihak melalui pengadilan, maka tindakan-tindakan diluar upaya tersebut yang dianggap sebagai menghakami sendiri
2. Asasnya di bolehkan atau dibenarkan, dengan pengertian bahwa yang melakukan dianggap melakukan perbuatan melawan hukum (cleveringa), pada dasarnya menghakimi sendiri itu tidak di benarkan karena ada akbita hukumnya apabila dilakukan, dan dianggap telah melawan hukum, sehingga terikat untuk membayar ganti rugi.
3. Pada asasnya tidak dibenarkan, tetapi bila peraturan yang ada tidak cukup memberi perlindungan, maka tindakan menghakimi sendiri itu secara tidak tertulis dibenarkan menurut rutten.
Didalam hukum acara perdata tidak kita jumpai ketentuan yang tegas melarang tindakan menghakimi sendiri. Tuntutan hak yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”, ada dua macam yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa, yang disebut gugatan dimana terdapat sekurang-kurangnya dua pihak dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan, dimana hanya terdapat satu pihak saja.
Peradilan dibagi menjadi :
1. Peradilan volunteer yang disebut peradilan “yang tidak sesunguhnya” dan peradilan contentious
2. Peradilan “sesungguhnya” permohonan yang mengadung sengketa termasuk dalam peradilan volunteer, sedangkan gugatan termasuk peradilan contentious
Pembedaan “peradilan sesungguhnya” dan “tidak sesungguhnya” disebabkan karena perbuatan hakim dalam peradilan yang tidak sesunggguhnya lebih merupakan perbuatan dibidang administrative, sehingaa putusannya merupakan penetapan (pasal 236 HIR, 272 Rbg).
Yang termasuk peradilan volunteer ialah semua perkara yang oleh undang-undang ditentukan harus diajukan dengan permohonan, selebihnya termasuk peradilan contentious.[3]
Peradilan volunter tidak berlaku peraturan tentang hukum pembuktian dan BW buku IV, HIR sesungguhnya pada umumnya hanya disediakan untuk peradilan contentieus, menurut yurisprudensi HR maka azas terbuka dan pintu terbuka serta bahwa putusan harus memuat alasan-alasan hanya berlaku bagi peradilan contentious dan bukan bagi peradilan volunteer.[4]
Obyek dari hukum acara perdata adalah keseluruhan perturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantara kekuasaan Negara. Perantara Negara dalam mempertahankan hukum materiiil perdataitu terjadi dengan peradilan, peradilan disini ialah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh Negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah “eigenrichting”.[5]
Hukum acara perdata meliputi terdapat 3 tahapan ;
1. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan
2. Tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusannya
3. Tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari pada putusan
Hukum perdata materiil tidak mungkin berdiri sendiri lepas dari hukum acara perdata, tidak ada gunanya hukum perdata materiil apabila tidak direalisasikan, untuk direalisasikannya butuh hukum acara perdata, begitu pula sebaliknya.
Hakekatnya hakim hanya diminta mempertimbangkan benar tidaknya peristiwa yang diajukan kepadanya, dan tidak perlu tahu akan hukumnya, untuk mengetahui dapat menanyakan kepada ahlinya, oleh karena itu hakim sebagai stabilitator hukum harus sungguh-sungguh menguasai hukum acara perdata, kurangnya pengetahuan tentang hukum acara pada umumnya atau hukum acara perdata pada khususnya atau tidak menguasainya hukum acara merupakan salah satu factor terhambatnya jalannya peradilan.
Sifat hukum acara perdata
Dalam hukum acara perdata, orang yang merasa hak nya itu dilanggar disebut penggugat sedang bagi orang yang di tarik kemuka pengadilan, karena dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang disebut sebagai tergugat, apabila banyak penggugat dan tergugat maka mereka disebut penggugat 1,2,3 tergugat pun sama saja.
Menurut yurisprudensi gugatan cukup ditujukkan kepada yang secara nyata menguasai barang sengketa, dalam praktek istilah turut tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, namun hanya demi lengkapnnya suatu gugatan harus diikut seratakan.
Mereka dalam petitum hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusah hakim, istilah turut penggugat tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Penggugat adalah orang yang yang “merasa” haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa” melangggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara kedepan hakim, perkataan “merasa” dan “dirasa “ dalam tanda petik sengaja dipakai karena belum tentu yang bersangkutan sesungguhnya melanggar hak penggugat.[6]
Dalam hukum acara perdata, inisiatif yaitu ada atau tidaknya suatu perkara, harus diambil seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa hak mereka dilanggar yaitu oleh penggugat atau para penggugat, berbeda dengan sifat hukum acara pidana yang tidak menggantungkan pada inisiatif orang yang dirugikan.
Dalam hukum acara perdata inisiatif ada pada penggugat , maka penggugat punya pengaruh yang besar terhadap jalannya perkara, namun walaupun demikian apabila gugatan sudah diajukan ke pengadilan, ia terikat oleh “peraturan permainan” yang sudah baku, yang sifatnya memaksa. Perubahan atau pencabutan kembali gugatan oleh pengguggat atau para penggugat tidak bisa dilakukan seenaknya, apabila tergugat sudah mengajukan jawaban kedua hal tersebuthanya dapat dilakukan dengan seizing dari tergugat, sama halnnya dengan tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek, banding, kasasi dan peninjauan kembali ditentukan dalam hukum acara perdata secara cermat dan tenggang waktu itu tidak bisa dilanggar , apabila dilanggar permohonan yang bersangkutan akan dinyatakan tidak dapat diterima. Hukum acara perdata memang mula-mula sifatnya mengatur, namun apabila sudah digunakan maka sifatnya memaksa
Sejarah terbentuknya H.I.R
Perancangnya adalah ketua Mahkamah agung dan mahkamah agung tentara tahun 1864 dibatavia adalah Jhr. H.L. Wichers, tanggal 5 desember 1846 ia diberi tugas oleh gubenur jenderal jan Jacob rochhussen untuk merencanakan reglement tentang admisnistrasi, polisi, acara perdata dan pidana bagi golongan indonesia, tanggal 6 agustus 1847 selesai rancangan beserta peraturannya ada yang setuju dan ada yang berpendapat terlalu sederhana, mereka ingin ditambah lembaga penggabungan, penjaminnya, intervensi dan rekes sipil seperti apa yang terdapat dalam R.V.
Wichers tidak setuju atas itu dengan alasa :
1. kalau ditambah jadi tidak terang dan tidak sederhana lagi
2. R.V saja yang diberlakukan kalau memang ingin lengkap
Akhirnya ditambahkan suatu ketentuan penutup yang bersifat umum yang setelah diubah dan ditambah kini menjadi pasal terpenting dari H.I.R ialah pasal 319 H.I.R dimuat dalam bab ke 15 mengatur berbagai aturan, rancangan wichers akhirnya diterima oleh gubenur jenderal dan diumumkan pada tanggal 5 april 1458 dengan stbl 1848 no.16 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848, tanggal 29 september 1849 disyahkan dan dikuatkan dengan firman raja no.93, diumumkan pada stbl 1849 no.63.
Terjadi perubahan mendalam tahun 1941 didirikan lembaga kejaksaan sebagai penuntut umum, anggotanya bukan lgi ditempatkan dibawah pamongpraja tetapi langsung dibawah Jaksa tinggi dan jaksa agung, penuntut umum disebut parket dan bukan organisasi yang terpecah.
Dengan adanya perubahan yang menadalam ini maka disebut Het Herziene Indonesisch Reglement atau H.I.R. Dengan terjemahan yang dilakukan setelah Negara kita merdeka, maka H.I.R disebut pula R.I.B singkatan dari Reglemen Indonesia Baru. [7]
Hukum acara perdata positif
Hukum acara perdata nasional hingga saat ini belum diatur dalam undang-undang, RUU tentang hukum acara perdata dalam lingkungan peradilan umum yang telah disahkan oleh sidang pleno B.P. L.P.H.N. Ke 13 tanggal 21 juni 1967 dan sampai sekarang belum disahkan menajdi undang-undang. Kaidah hukum acara perdata masih berserakan, sebagian dimuat dalam H.I.R berlaku hanya untuk jawa dan Madura, sedangkan R.Bg. berlaku untuk kepulauan Indonesia yang lainnya.
BW dalam buku ke 4 dan Reglement catatan sipil memuat peraturan hukum perdata, yang berlaku hanya untuk golongan penduduk tertentu baginya berlaku hukum perdata barat. Selain itu untuk beberapa masalah tidak diatur dalam H.I.R dan R.Bg., bila dirasakan perlu dan berguna bagi praktek keadilan dapat memakai peraturan yang terdapat dalam R.V.
Oleh karena itu sebagian besar kaidah-kaidah hikum acara perdata itu termuat dalam H.I.R dan R.Bg., dan memperhatikan bahwa isi kedua UU tersebut hampir tidak berbeda, maka selanjutnya pembahasan hukum acara perdata akan didasarkan kepada pembahasan H.I.R. [8]
Sumber hukum acara perdata
1. H.I.R Herziene Indonesisch Reglement , R.I.B singkatan dari Reglemen Indonesia Baru dan berlaku di jawa dan Madura
2. RBG reglement buitengwesten yang berlaku diluar jawa dan Madura
3. UU No.48/2009 tentang kekuasaan kehakiman
4. UU tentang peradilan umum no.2/1986 Jo UU no.8/2004 jo 49/2009
5. UU tentang MA no.14/1985 Jo UU/5/2004
6. Pengadilan niaga UU NO.37/2004 tentang kepailitan & PKPU
7. Arbitrase (penyelesaian sengketa diluar sidang) UU no.31/1999
8. Class action, perma no.1/2002
9. Mediasi, perma 1/2008
10. Gijzeling, perma 1/2000 berlaku untuk UU pajak
Yurisprudensi merupakan sumber pula dari pada hukum acara perdata. Antara lain dapat disebutkan putusan M.A tanggal 14 april 1971 no.99K/Sip/1971, yang menyeragamkan hukum acara dalam perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW, dengan tidak membedakan antara permohonan untuk mendapat izin guna mengajukan gugatan cerai.
Menurut wirjono prodjodikoro menyebutkan juga adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata sebagai sumber dari pada hukum acara perdata.
Perjanjian internasional juga sumber hukum acara perdata , dapat disebutkan “ perjanjian kerjasama dibidang peradilan antara Republik Indonesia dengan kerajaan Thailand”
Doktrin antara ilmu pengetahuan meupakan sumber acara perdata juga, sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata, tetapi doktrin itu sendiri bukannlah hukum.
Asas-asas hukum acara perdata
1. Hakim bersifat menunggu
Yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutanhak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan, hakim tidak dapat menghalangi apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak dan hakim wajib mengadili dan memeriksa perkara, hakim tidak bolej menjatuhkan putusan yang untuk hal-hal yang tidak dituntut
2. Hakim pasif
Didalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif, pokok sengketa yang diajukan lepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berpekara bukan hakim, hakim hanya membantu mencari keadilan, jadi pegertian pasif disini bahwa hakim tidak menentukanluas dari pokok sengketa.
3. Sifat terbukanya persidangan
Persidangan dapat dihadiri oleh masyarakat dan pemeriksaan di pengadilsn dilakukan secara terbuka, hal ini sebagai bentuk transparasi pengadilam kepada masyarakat.
4. Mendengar kedua belah pihak
Didalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama, bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.
5. Putusan hakim harus disertai alasan
Putusan tersebut merupakan bentuk pertanggung jawaban hakim kepada masyarakat dan untuk memenuhi rasa keadilan, Sesuai pasal 25 ayat 1 UU No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman
6. Beracara dikenakan biaya
Untuk berpekara asasnya dikenakan biaya pasal 3 ayat 2 UU no.4 tahun 2004, 121 ayat 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg.
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya panggilan, peberitahuan para pihak serta biaya matrai, disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara maka harus pula dikeluarkan biaya, bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (pro deo) dengan mendapat izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan menhajukam surat keteranagn tidak mampu yang dibuat kepala polisi (pasal 237 HIR,273 Rbg) dalam praktek surat keterangan itu cukup dibuat oleh camat yang membawahkan daerah tempat yang berkepentingan tingga, permphonan [erkara secara prodeo akan ditolak oleh pengadilan apabila penggugat ternyata bukan orang yang tidak mampu.
7. Tidak diwajibkan untuk mewakilkan di pengadilan
Bahwa penggugat atau tergugat dapat atau boleh maju sendiri atau diwakilkan pada pengacara berkaitan dengan :
a. Proses partai formal : diwakilkan oleh pengacara
b. Proses partai materiil : tidak diwakilkan oleh pengacara
Badan peradilan dan lingkungan peradilan
Tidak terlupakan UU no.4 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang menggantikan UU no.14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman yang telah mengalami perubahan dengan UU no.35 tahun 1999, dengan demikian organisasi, administrasi, dan finansial mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya berada dibawah kekuasaan mahkamah agung, jadi tidak lagi dibawah dua atap, yaitu mahkamah agung dan departemen kehakiman.
Kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan umum dilakukan oleh : 1. Pengadilan negeri, 2. Pengadilan tinggi, 3. Berpuncak pada Mahkamah agung
Pengadilan negeri bertugas:
1. menerima, memeriksa, mengadili
2. menyelesaikan setiap perkara dan merupakan peradilan tingkat pertama
Disebut juga sebagai pengadilan tingkat pertama.
Pengadilan tinggi merupakan pengadilan tingkat banding bertugas memeriksa kembali perkara yang telah di putus pada pengadilan negeri, disebut juga appellate jurisdiction yaitu mengulang perkara yang telah diputus pada pengadilan negeri. Pengadilan tinggi sebagai pemeriksaan dalam tingkat dua dan terakhir, diperiksa dari segi peristiwa dan hukumnya, banding pun juga sama dengan pengadilan tingi.
Mahkamah agung tidak memeriksa kembali ulang perkara yang telah diputus di pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, hanya memeriksa penerapan hukumnya saja ini disebut judex juris, MA adalah pengadilan Negara tertinggi, dalam melakukan kasasi di MA, memori kasasi, kontra kasasi wajib dilakukan dan terikat jangka waktunya, sedangkan di pengadilan tinggi, memori kasasi, memori banding, dan kontra memori tidak wajib dilakukan.
Kompetensi pengadilan terbagi 2 :
a. kompetensi absolut
Perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri, maka pada setiap waktu dalma pemeriksaan perkara ini, dapat diminta supaya hakim menyatakan dirinya tiak berkuasa dan hakim pun wajib pula mengakuinya karena berkaitan dengan masalah kewenangan mengadili anatar berbagai macam pengadilan
b. Kompetensi relatif
Kewenangan mengadili antara peradilan yang sejenis dan berkaitan dengan asas actor sequitur forum rei yang berarti proses administrative pengajuan surat gugatan harus Sesuai dengan kompetensi, kewenangan hakim, pengadilan dimana tergugat, para tergugat tinggal, pasal 118 HIR.
Berikut bagannya:
SUMBER :
1. Sudikno mertokusumo, hukum acara perdata indonesia
2. Retnowulan sutantio , hukum acara perdata dalam teori dan praktek
[1] Sudikno mertokusumo, hukum acara perdata indonesia, hal. 1
[2] Ibid
[3] P.A. Stein, op. cit., hal. 31
[4] Penetapan HR 28 feb. 1963, NJ 1963 335.
[5] Sudikno mertokusumo, sejarah peradilan dan perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942, hal 179
[6] Retnowulan sutantio , hukum acara perdata dalam teori dan praktek, hal 2,3.
[7] Retnowulan sutantio , hukum acara perdata dalam teori dan praktek, hal 7,8,9.
[8] Retnowulan sutantio , hukum acara perdata dalam teori dan praktek, hal 5,6,7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar