cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

negara dalam perspektif hukum islam


Liberalisme, Humanisme dan Pluralisme Serta Inkompabilitasnya Dengan Ajaran Agama

 Liberalisme adalah salah satu ideologi dunia barat yang berkembang pada masa Reformasi Gereja pada masa Martin Luther dan Renaissans yang menandai akhirnya Abad Pertengahan yaitu abad V-XV. Arti liberal secara harafiah sendiri artinya bebas dari batasan atau free from restraint, karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan raja ataupun gereja katolik saat itu. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan barat pada abad pertengahan dimana raja dan gereja sangat berpengaruh dan mendominasi dalam segala hal dari seluruh segi kehidupan manusia saat itu.
Ada beberapa istilah dari liberalisme yang perlu diketahui lebih lanjut. Liberalisme berasal dari kata libertas yang artinya adalah kebebasan, dan liberalisme mencakup berbagai aliran-aliran yang yang berbeda baik di bidang politik, ekonomi, keagamaan, dan bahkan pada saat itu pendidikan, yang bertolak pada kebebasan perorangan terhadap kekuasaan apapun. Liberalisme mencakup teori nilai dan konsepsi mmengenai orang dan teori moral sama halnya dengan filsafat politik.
Di beberapa tempat, liberalisme lebih dekat dengan sekularisme dan demokrasi. Liberalisme dasarnya adalah pandangan dari zaman pencerahan dimana manusia tidak hanya berhak mengusahakan masyarakat yang bebas dari kekuasaan negara, pengindahan hak asasi manusia, dan pembebasan diri dari kuasa rohani yang tidak mendapat mandat dari umat.
Akar dari ideologi barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan atau disebut dengan sekularisme, yang pada akhirnya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal di bidang politik, ekonomi, ataupun agama seluruhnya berasal dari dari ideologi yang sama yaitu sekularisme atau  fashl ad-din dan al-hayah.
Pemikiran liberalisme mempunyai akar sejarah yang sangat panjang dimulai pada saat tiga abad pertama masehi dimana agama kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero. Kaisar Nero memproklamirkan bahwa agama kristen sebagai suatu kejahatan. Pada era ini, pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikan Tuhan apa yang milik Tuhan.” (Matius, 22: 21). Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313 saat Kaisar Konstantin mengeluarkan dekrit Edict of Milan. Untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya, pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara atau state-religion.
Pada abad ke-18, kaum borjuis Perancis melahirkan Liberalisme sebagai reaksi kepincangan yang telah berakar di Perancis. Sebagai akibat warisan masa lampau. Di perancis terdapat pemisahan antara suatu golongan dengan golongan yang lain yang memiliki berbagai hak tanpa kewajiban dan begitu sebaliknya.
Liberalisme menganggap masalah agama merupakan masalah pribadi, masalah individu. Tiap-tiap individu harus meiliki kebebasan dan kemerdekaan beragama dan menolak campur tangan pemerintah atau negara. Dengan demikian dalam bidang agama, golongan liberal menghendaki kebebasan memilih agama yang disukainya dan bebas menjalankan ibadah menurut agma yang dianutnya.
Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan seperti kecintaan akan berperikemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan. Humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep berperikemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dalam arti lainnya, humanisme mengajak berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas masing-masing individu. Kamus umum mendefinisikan humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindakan yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural.[1]
Namun pada hal ini, pendapat yang paling jelas dari humanisme dikemukakan dengan gamblang oleh salah satu pendukungnya. Corliss Lamont adalah salah satu juru bicara humanisme paling terkemuka di dunia. Dalam bukunya, Philosophy of Humanism, ia menulis bahwa humanisme meyakini bahwa alam merupakan jumlah total dari realitas, bahwa materi-energi dan bukan dari pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada. Ketidaknyataan supernatural ini pada tingkat manusia berarti bahwa manusia tidak memiliki jiwa supernatural dan abadi, dan pada tingka alam semesta sebagai keseluruhan, bahwa kosmos kita tidak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi.[2]
Humanisme sangat erat hubungannya dengan atheisme dimana fakta ini sangat bebas dikalangan masyarakat humanis. Terdapat dua manifesto yang sangat menarik dan penting yang diterbitkan oleh kaum humanis pada abad yang lalu. Manifesto pertama dikeluarkan pada tahun 1933, dan ditandatangani oleh sebagian orang penting pada masa tersebut. Empat puluh tahun kemudian, manifesto kedua dikeluarkan menegaskan manifesto yang pertama, namun menambahkan dan menguatkan beberapa aspek yang berhubungan dengan perkembangan yang terjadi pada masa itu. Ribuan pemikir, ilmuwan, penulis dan praktisi media menandatangani manisfesto kedua dan didukung penuh oleh Asosiasi Humanis Amerika.
Jika kita melihat isi dari kedua manifesto tersebut, maka kita akan menemukan suatu pondasi dogmatis yang berujung pada suatu pandangan atheisme bahwa alam semesta termasuk manusia di dalamnya tidak diciptakan namun sudah ada semenjak dahulu kala dan secara bebas sehingga manusia tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang terjadi di atas mereka, dalam hal ini otoritas superior selain dirinya sendiri atau Tuhan, dan mengajukan bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat.
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa ekspresi dari filsafat umum yang mengatasnamakan dirinya dibawah nama materialisme, darwinisme, atheisme, dan agnotisisme. Dogma materialis tentang keberadaan abadi alam semesta dikemukakan dan sebagaimana teori evolusi menyebutkan manusia tidak diciptakan, sangkalan atas keberadaan jiwa manusia dengan mengklaim manusia terbentuk dari materi serta penyangkalan keberadaan Tuhan dan menolak kekuasaan Tuhan atas alam semsta termasuk bumi yang ada didalamnya serta menolak adanya “teisme” atau kepercayaan terhadap Tuhan.
Namun hal-hal seperti ini hanyalah sekilas stereotip yang begitu khas dari pada pejuang humanis yang memusuhi agama-agama sejati yang pada dasarnya menyebutkan bahwa humanisme adalah pondasi dari “keantiagamaan” karena humanisme merupakan gagasan bahwa manusia tidak memiliki rasa tanggung jawab hingga bisa bebas dalam bertindak di muka bumi ini. Hal ini terkandung dalam salah satu ayat Al Quran yang artinya kurang lebih:
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?
Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (kedalam rahim),
Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya,
Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan,
Bukankah (Allah) yang berbuat demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?
(QS. Al Qiyaamah, 75: 36-40)
Sudah banyak klaim-klaim yang keliru mengintepretasikan bahwa keyakinan religius merupakan faktor yang besar terhadap perkembangan dan justru membawanya kepada konflik, namun hal ini telah dihilangkan oleh pengalaman sejarah. Kaum humanis telah mengklaim bahwa penyingkiran kepercayaan religius akan membuat manusia tenteram, damai, bahagia, namun yang terbukti justru bertolak belakang dengan hal tersebut. Perang Dunia II pecah enam tahun setelah manifesto humanis pertama, sebuah catatan kelam bahwa malapetaka yang didatangkan dari suatu paham ideologi fasis yang sekuler. Ideologi humanis lainnya yaitu komunisme, mendatangkan kekejaman terhadap bangsa Uni Soviet, Cina, Kamboja, Vietnam, Korea Utara, Kuba dan berbagai negara yang menganut paham komunisme. Lebih dari 120 juta jiwa hilang dalam peristiwa yang menjunjung tinggi komunisme. Jelas juga bahwa sistem kapitalis sebagai salah satu produk humanisme barat tidak berhasil membawa kedamaian dan kebahagiaan terhadap dunia termasuk masyarakat mereka sendiri.
Pluralisme dalam hal keagamaan adalah suatu istilah khusus dalam kajian agama. Religious Pluralism sebagai terminologi khusus tidak dapat dimaknai secara semabarangan, hal ini sering disalah artikan sebagai toleransi antar umat beragama, atau sebagai menghormati antara pemeluk agama, dan sebagainya. Sebagai salah satu paham yang membahas cara pandang terhadap agama seperti halnya liberalisme, humanisme, dan sekularisme, pluralisme telah menjadi pembahasan panjang di kalangan ilmuwan dalam studi agama-agama.
Meskipun banyak terdapat definisi yang bersifat sosiologis, tetapi yang menjadi perhatian banyak ilmuwan dan tokoh agama adalah definisi pluralisme yang meletakkan kebenaran-kebenaran agama sebagai kebenaran relatif dan menempatkan agama-agama dalam posisi setera satu sama lain apapun agama tersebut. Bahkan dalam beberapa kasus, pemeluk pluralisme mendukung paham sikretisasi agama maupun amalgamasi agama.
Pluralisme agama didasarkan oleh satu asumsi bahwa semua agama adalah pilihan jalan yang sah menuju Tuhan yang sama. Jadi , menurut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama, atau menyatakan bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang sudah jelas mutlak. Namun dimata mereka dengan adanya paham pluralisme tersebut membuka pikiran bahwa setiap agama tidak boleh mengklaim bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah lebih benar atau lebih baik dari Tuhan yang lain atau mengklaim agama sendiri yang benar. Bahkan menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat adalah agama yang jahat (evil) adalah agama yang secara mutlak mengklaim bahwa agamanya memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim).[3]
Paham ini telah menyerbu sebagian besar pemeluk agama di dunia. Pasalnya, klaim-klaim terhadap agama yang dirasa benar satu-persatu diruntuhkan karena berbagai alasan. Di kalangan Yahudi, muncul nama seperti Moses Mendelsohn yang menggugat kebenaran eksklusif agama Yahudi. Tokoh lainnya seperti Frans Rosenzweig, yang menyerukan agama yang baik hanyalah Kristen dan yahudi, serta Islam hanyalah suatu tiruan dari kedua agama tersebut.[4] Hal ini jelas sangat aneh karena Yahudi sendiri sangat menentang bahwa Yesus sebagai Juru Selamat, sehingga yahudi menolak klaim Kristen mengenai kebenaran Perjanjian Baru. Dan bagi orang Kristen, penyebab terbunuhnya Yesus adalah orang Yahudi.
Cara pandang terhadap agama-agama lain banyak yang menjiplak cara pandang kaum Iklusifis dan Pluralis Kristen dalam memandang agama lain. Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas baik dalam tataran wacana publik maupun buku-buku di perguruan tinggi. Tokoh pembaruan Islam di Indonesia, Prof. Dr. Nurcholish Majid menyatakan adanya tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Pertama yaitu, sikap ekslusif yaitu memandang agama lain adalah sesat bagi pengikutnya. Yang kedua, sikap inklusif yaitu, agama lain hanyalah bentuk implisit dari agama kita.[5] Dan ketiga sikap pluralis yang dapat terekspresikan dalam beberapa rumusan yaitu salah satunya ”Agama lain adakah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, atau “agama lain berbicara secara berbeda namun merupakan kebenaran yang sah”.
Agama Islam di Indonesia melalui Majelis Ulama Indonesia, pada tanggal 29 Juli 2005 telah mengeluarkan fatwanya yang menyatakan bahwa Pluralisme Agama bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluk ajaran atau paham ini. MUI mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh karenanya setiap pemeluk agama tidak boleh atau tidak dapat mengklaim agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Dalam fatwanya, MUI menyebutkan sabda Nabi Muhammad SAW:
Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorangpun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka. (HR Muslim)
Hal ini diperkuat dengan adanya ayat pada Al Quran, yaitu:
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekal-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran; 3: 19)
Dalam ayat terakhir QS. Al Kafiruun juga telah di perjelas oleh Allah SWT yaitu:
Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku. (QS. Alkafiruun: 6)
Dengan konsep “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” tersebut, jelas Islam sejak awal mengakui keberagaman, dan memiliki konsep “tidak ada paksaan untuk memeluk agama”. Islam dilarang keras memaksa orang lainuntuk memeluk Islam. Meskipun Islam mewajibkan memberikan dakwah Islam. Dan bahkan Islam mewajibkan menghormati pemeluk agama lain.
Dengan semua penjelasan itu, kita pasti dan yakin dapat melihat kekacauan logika dan kecurangan masing-masing pemeluk paham dalam mempertahankan ajaran-ajaran atau paham-paham mereka dalam mempropagandakan paham mereka ke tengah masyarakat. Banyak orang tersebut memakai hal-hal yang berujung pada suatu justifikasi paham tersebut seperti memakai ayat Al Quran ataupun Injil, Tripitaka maupun Weda semata-mata hanya untuk menyebarkan paham mereka. Seperti serigala berbulu domba mereka berlomba-lomba dalam menyebarkan hal-hal yang menyesatkan (adh-dhallin). Kita semua berharap agar tidak terjerumus dalam permainan-permainan paham yang menyesatkan juga tidak termasuk kedalam jurang kebodohan maupun menjadi golongan yang mudah menggadaikan iman dengan harga yang murah. Mudah-mudahan kita termasuk kedalam orang-orang yang diberi petunjuk untuk mencapai shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus yang sudah disediakan oleh Allah Yang Maha Esa agar kita dapat menangkap dan mau menerima kebenaran.













Daftar Pustaka
Coward, Harold.1989. Pluralisme: Tantangan bagi Agama-agama. Kanisius: Yogyakarta
 Ghazali, Adeng Muchtar.2005. Ilmu Studi Agama. Pustaka Setia: Bandung
Glynn, Patrick.1997. God: The Evidence, The Reconcilliation of Faith dan Reason In a Postsecular World. Prima Publisher: California
Kimball, Charles.2002. When Religion Becomes Evil. HarperSanFrancisco: New York
 Lamont, Corliss.1977. The Philosophy of Humanism.
Madjid, Nurcholish.1995. Islam Doktrin dan Peradaban. Paramadina: Jakarta


[1] Encarta® World English Dictionary © 1999 Microsoft Corporation. Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing Plc.

[2] Lamont, The Philosophy of Humanism, 1977, hal. 116

[3] Charles Kimball, When Religion Becomes Evil,  New York: HarperSanFrancisco, 2002
[4] Harold Coward, Pluralisme: Tantangan bagi Agama-agama, Yogyakarta: Kanisius, hal. 17
[5] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. lxxvii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar