cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

kapita selekta hukum kesehatan uas

Analisis Kliping Kapita Selekta Hukum Kesehatan

Sumber : Reader’s Digest Indonesia, bulan September 2009

Analisis Kasus
Dalam kasus diatas, Franky menjalankan suatu terapi yang masih dalam tahap eksperimen dimana masih belum ada undang-undang yang mengatur terapi tersebut. Terapi Sel Punca yang dilakukan kepada Franky adalah terapi sel dengan menggunakan sel binatang yaitu sel kelinci. Dimana prosedur tersebut masih dalam perkembangan untuk terapi sel punca yang menggunakan sel manusia. Hal ini menimbulkan kontroversi dimana belum ada undang-undang yang mengatur, dalam hal keamanan, dan etikanya. Karena sebelumnya hanya dilakukan kepada binantang. Meski hasil dimana-mana sudah menunjukan bukti nyata bahwa terapi ini sudah berhasil, namun tetap saja masih menjadi kontroversi karena belum adanya aturan yang mengatur terapi tersebut sehingga hal ini masih di kategorikan dalam eksperimen atau penelitian medis, sehingga untuk biaya masih menjadi tanggungan peneliti. Saat ini dunia kedokteran dunia masih dalam tahap pengembangan terapi sel punca ini agar dapat diaplikasikan dengan benar dan tidak merugikan.
Dalam kasus ini Franky dalam menjalankan prosedur terapi ini menggunakan informed consent yaitu dengan menggunakan persetujuan tindakan medis yang di tujukan kepada pasien dan keluarganya penjelasan mengenai tindakan medis yang dilakukan kepada pasien tersebut, baik tujuan pelaksanaan prosedur tersebut maupun efek samping atau gejala-gejala dalam atau setelah prosedur medis tersebut. Sehingga terapi sel punta yang dilakukan kepada Franky walaupun belum ada undang-undang atau etika yang mengaturnya dapat dilakukan kepada Franky, karena Franky dan keluarganya  mengetahui akibat-akibat apa saja yang ditimbulkan oleh Prosedur Terapi Sel Punta itu.

Informed Consent
    Persetujuan tindakan medis (informed consent) mencakup tentang informasi dan persetujuan, yaitu persetujuan yang diberikan setelah yang bersangkutan mendapat informasi terlebih dahulu atau dapat disebut sebagai persetujuan berdasarkan informasi. Berdasarkan Permenkes 585/1989 dikatakan bahwa informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
    Pada hakekatnya, hubungan antar manusia tidak dapat terjadi tanpa melalui komunikasi, termasuk juga hubungan antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis. Oleh karena hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan interpersonal, maka adanya komunikasi atau yang lebih dikenal dengan istilah wawancara pengobatan itu sangat penting. Hasil penelitian King9 membuktikan  bahwa essensi dari hubungan antara dokter dan pasien terletak dalam wawancara pengobatan. Pada wawancara tersebut para dokter diharapkan untuk secara lengkap memberikan informasi kepada pasien mengenai bentuk tindakan yang akan atau perlu dilaksanakan dan juga risikonya.
    Bahasa kedokteran banyak menggunakan istilah asing  yang tidak dapat dimengerti oleh orang yang awam dalam bidang kedokteran. Pemberian informasi dengan menggunakan bahasa kedokteran, tidak akan membawa hasil apa-apa, malah akan membingungkan pasien. Oleh karena itu seyogyanya informasi yang diberikan oleh dokter terhadap pasiennya disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh pasien.
    Setelah informasi diberikan, maka diharapkan adanya persetujuan dari pasien, dalam arti ijin dari pasien untuk dilaksanakan tindakan medis. Pasien mempunyai hak penuh untuk menerima atau menolak pengobatan untuk dirinya, ini merupakan hak asasi pasien yang meliputi hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi.
    Oleh karena itu sebelum pasien memberikan persetujuannya diperlukan beberapa masukan sebagai berikut10 : 1) Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan), 2) Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak dinginkan yang mungkin timbul, 3) Diskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pasien, 4) Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung, 5) Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya. 6) Prognosis mengenai kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tertentu (percobaan) tersebut.
    Mengenai bentuk informed consent dapat dilakukan secara tegas atau diam-diam. Secara tegas dapat disampaikan dengan kata-kata langsung baik secara lisan ataupun tertulis dan informed consent yang dilakukan secara diam-diam yaitu tersirat dari anggukan kepala ataupun perbuatan yang mensiratkan tanda setuju.
    Informed consent dilakukan secara lisan apabila tindakan medis itu tidak berisiko, misalnya pada pemberian terapi obat dan pemeriksaan penunjang medis. Sedangkan untuk tindakan medis yang mengandung risiko misalnya pembedahan, maka informed consent dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh pasien.
    Yang paling aman bagi dokter kalau persetujuan dinyatakan secara tertulis, karena dokumen tersebut dapat dijadikan bukti jika suatu saat muncul sengketa. Cara yang terakhir ini memang tidak praktis sehingga kebanyakan dokter hanya menggunakan cara ini jika tindakan medis yang akan dilakukannya mengandung risiko tinggi atau menimbulkan akibat besar yang tidak menyenangkan.
    Di negara-negara maju, berbagai bentuk formulir persetujuan tertulis sengaja disediakan di setiap rumah sakit. Rupanya pengalaman menuntut dan digugat menjadikan mereka lebih berhati-hati. Pada prinsipnya formulir yang disediakan tersebut memuat pengakuan bahwa yang bersangkutan telah diberi informasi serta telah memahami sepenuhnya dan selanjutnya menyetujui tindakan medis yang disarankan dokter.
    Jadi, pada hakekatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari segala kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak diijinkan oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap kemungkinan akibat yang tak terduga dan bersifat negatif.
    Yang tidak boleh dilupakan adalah dalam memberikan informasi tidak boleh bersifat  memperdaya, menekan atau menciptakan ketakutan sebab ketiga hal itu akan membuat persetujuan yang diberikan menjadi cacat hukum. Sudah seharusnya informasi diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis tertentu, sebab hanya ia sendiri yang tahu persis mengenai kondisi pasien dan segala seluk beluk dari tindakan medis yang akan dilakukan. Memang dapat didelegasikan kepada dokter lain atau perawat, namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan informasi maka yang harus bertanggung jawab atas kesalahan itu adalah dokter yang melakukan tindakan medis. Lagi pula dalam proses mendapatkan persetujuan pasien, tidak menutup kemungkinan terjadi diskusi sehingga memerlukan pemahaman yang memadai dari pihak yang memberikan informasi.
    Ada sebagian dokter menganggap bahwa informed consent merupakan sarana yang dapat membebaskan mereka dari tanggung jawab hukum jika terjadi malpraktek. Anggapan seperti ini keliru besar dan menyesatkan mengingat malpraktek adalah masalah lain yang erat kaitannya dengan pelaksanaan pelayanan medis  yang tidak sesuai dengan standar. Meskipun sudah mengantongi informed consent tetapi jika pelaksanaannya tidak sesuai standar maka dokter tetap harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.
    Dari sudut hukum pidana informed consent harus dipenuhi hal ini berkait dengan adanya Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tentang penganiayaan. Suatu pembedahan yang dilakukan tanpa ijin pasien, dapat disebut sebagai penganiayaan dan dengan demikian merupakan pelanggaran terhadap Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (1, 2, 9). Leenen memberikan contoh (sebagaimana dikutip oleh Ameln)11, apabila A menusuk / menyayat pisau ke B sehingga timbul luka, maka tindakan tersebut dapat disebut sebagai penganiayaan. Apabila A adalah seorang dokter, tindakan tersebut tetap merupakan penganiayaan, kecuali : 1) Orang yang dilukai (pasien) telah menyetujui. 2) Tindakan medis tersebut (pembedahan yang pada hakekatnya juga menyayat, menusuk, memotong tubuh pasien) berdasarkan suatu indikasi medis. 3) Tindakan medis tersebut dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu kedokteran yang diakui dalam dunia kedokteran.
    Dari sudut hukum perdata informed consent wajib dipenuhi. Hal ini terkait bahwa hubungan antara dokter dengan pasien adalah suatu perikatan (transaksi terapeutik) untuk syahnya perikatan tersebut diperlukan syarat syah dari perjanjian yaitu Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, di antaranya adalah adanya kesepakatan antara dokter dengan pasien. Pasien dapat menyatakan sepakat apabila telah diberikan informasi dari dokter yang merawatnya terhadap terhadap terapi yang akan diberikan serta efek samping dan risikonya. Juga terkait dengan unsur ke-2 (dua) mengenai kecakapan dalam membuat perikatan. Hal ini terkait dengan pemberian informasi  dokter terhadap pasien yang belum dewasa atau yang ditaruh di bawah pengampuan agar diberikan kepada orang tua, curator atau walinya.
    Pada prinsipnya, persyaratan untuk memperoleh informed consent dalam tindakan medis tertentu tidak dibedakan dengan Informed consent yang diperlukan dalam suatu eksperimen. Hanya saja, dalam eksperimen suatu penelitian baik yang bersifat terapeutik maupun non-terapeutik yang menggunakan pasien sebagai naracoba, maka informed consent harus lebih dipertajam, sebab menyangkut perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, pencegahan terjadinya paksaan dan kesesatan serta penyalahgunaan keadaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar