cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

hukum perorangan dan kekeluargaan islam

Antara Monogami Poligami dan Perceraian dalam Hukum Islam

Rekaman sejarah jurisprudensi Islam sebenarnya telah lama mematahkan argumen yang sering diyakini oleh kalangan propoligami bahwa “poligami itu Sunnah Nabi Muhammad Saw.” Usaha mencari justifikasi teologis poligami seringkali dipaksakan, meski Q.s an-Nisa: 3 jelas menunjukkan kemustahilan berlaku adil ketika berpoligami. Tapi, anehnya, kalangan propoligami tetap percaya bahwa poligami turut menentukan tolok ukur keislaman seseorang.
  
Asas Monogami telah diletakkan oleh Islam sejak 15  abad yang lalu sebagai salah satu asas dalam Islam yang bertjuan untuk landasan dan modal dal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonic, sejahtera dan bahagia.

Islam memandang poligami lebih banyak membawa risiko madarat daripada manfaatnva. Karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut, akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, balk konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak anaknya masing masing.

Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalab monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetrahsasi sifat/watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamic. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.

Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat,       misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak ak tertutup berkah dengan adanya keturunan yang saleh yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaannya yang istri mandul dan suami bukan mandul berdasarkan keterangan medic basil laboratoris suami diizinkan berpoligami dengan syarat

ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.

Marilah kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah monogami dan poligami dalam Surat Al-Nisa ayat 2-3:

Dan berikanlah kepada anak anak yatim (yang sudah balig) harta-harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka (dengan jalan mencampur adukkannya) kepada hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak/wanita yang yatim (biia kamumengawininya.). maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kernudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja, atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itulah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Avat 2 dan 3 Surat AI-Nina di atas berkaitan (ada relevansinya), sebab ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatirn, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengar, jalan yang tidak sah, sedangkan ayat 2 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim, yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil serta si wali wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininva, la tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah r.a waktu ditanya oleh Urwah bin AI-Zubair r.a mengenai maksud ayat 3 Surat An-Nisa tersebut.

Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak hisa herbuat adil terhadap anak yatim. maka  wali tidak boieh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu. tapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang istri sampai dengan empat. dengan syarat is marnpu berbuat

adil terhadap istriistrinva. Danjika ia takut tidak hisaberbuat adil terhadap istri-istrinva, maka ia hanya boleh beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat zalim terhadap istri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap istrinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.

Menurut Ibnu Jarir, bahwa sesuai dengan nama surat ini Surat AI-Nisa,      maka masalah pokoknva ialah mengingatkan kepada orang yang berpoligami agar berbuat adil terhadap istri-istrinya dan berusaha memperkecil jumlah istrinya agar ia tidak berbuat zalim terhadap keluarganya. Sedangkan menurut Aisyah r.a yang didukung oleh Muhammad Abduh, bahwa masalah pokoknya ialah masalah poligami, sebab masalah poligami dibicarakan dalam ayat ini adalah dalam kaitannya dengan masalah anak wanita yatim yang mau dikawini oleh walinya sendiri secara tidak adil atau tidak manusiawi.

Mengenai hikmah diizinkan berpoligami dalam keadaan darut dengan syarat berlaku adil antara lain, ialah sebagai berikut:

   1. untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
   2. untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri, atau istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
   3. untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
   4. untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama

Mengenai hikmah Nabi Muhammad diizinkan beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya ialah sebagai berikut:

   1. untuk kepentingan pendidikan dan pengalaran agama. Istri Nabi sebanyak (sembilan) orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah kewanitaan/kerumahtanggaan;
   2. untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putr Al-Harits Kepala suku Banil Musthaliq.
   3. untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan Islam Yang telah lanjut usianya seperti Saudah binti Zum’ah (swami meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan agamanya.

Jelaslah. bahwa perkawinan Nabi dengan sembilan istrinya itu tidaklah terdorong oleh motif memuaskan nafsu seks dan kenikmatan seks. Sebab kalau motifnya demikian, tentunya Nabi mengawini gadis-gadis dari kalangan bangsawan dan darl berbagai suku pada masa Nabi masih berusia muda.

Mengenai perceraian, Islam memandangnya sebagai Perbuatan halal Yang paling dibenci agama. sebagaimana Hadis Nabi riwayat Abu Daud. Ibnu Majah. dari Al-Hakim dari Ibnu Umar:

Perbuatan halal yang paling dibenci oteh Allah, adalah perceraian.

Hal ini disebabkan karena perceraian itu bertentangan dengan tujuan perkawinan, ialah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia untuk selamanva. Dan lagi perceraian itu mempunyai dampak yang negatif terhadap bekas suami-istri dan anak-anak.

Karena itu, perceraian seperti halnya poligarni hanya diizinkan kalau dalam keadaan terpaksa (darurat). yakni sudah terjadi syi­qaq atau kemelut rumah tangga yang sudah sangat gawat keadaan­nya dan sudah diusahakan dengan itikad baik dan serius untuk adanya islan atau rekonsiliasi antara suami istri, namun tidak berhasil. termasuk pula usaha dua hakam dan pengadilan, tetapi tetap tidak berhasil. Maka dalam keadaan rumah tangga seperti itu, Islam memberi jalan keluar, yakni “perceraian” yang masih bersifat talaq raj’i. artinya masih memungkinkan suami merujuk istri dalam masa idah. Karena itu, masa idah  istri itu dimaksudkan sebagai cooling period atau masa pengendapan untuk merenungkan dengan tenang tentang baik buruknya perceraian bagi keluarga, dan menelusuri apakah penyebab yang sebenarnya sampai

terjadi syiqaq itu dari suami atau dari istri atau dari pihak ketiga?Dengan introspeksi dan retrospeksi, mungkin timbul penyesalan pada suami istri, kemudian berhasrat islah dan niat masing-masing suami istri untuk membina rumah tangga lagi. (Perhatikan Al‑Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 228 dan Al-Nisa ayat 34).

Dan Mengingat madarat yang timbul akibat dari perceraian poligarni itu sangat besar sekali pengaruhnya terhadap kehidupan berkeluarga dan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, maka Pernerintah RI berhak dan bahkan berkewajiban untuk memperketat dan mempersulit  izin perceraian dan poligarni, sebagaimana

No tersebut dalam UU No. 1/1974, PP No. 9,1975, dan PP 10 1983, demi menjaga kemaslahatan keluarga dan masyarakat. Dan bagi umat Islam Indonesia wajib mentaati peraturan perundang-undangan tersebut, karena tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip di dalamAl -Qur’an dan Sunnah. dan juga mengingat Al-

Qur’an Surat Al-Nisa ayat 59:

Hai sekalian orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlahkepada rasul dan mereka yang mengatur urusan dari kamu.
Kalangan propoligami seringkali menyandarkan argumennya pada pemahaman yang salah atas nash Alquran dan hadis. Slogan-slogan seperti “poligami itu Sunnah” dan “poligami itu membawa berkah” sering mereka pakai. Sebetulnya tidak terlalu tepat kalau dikatakan bahwa Islam punya dalil untuk membolehkan poligami. Sebaliknya, kita juga punya dalil --dalam artian teks—yang membicarakan masalah itu

Dalam Alquran ada tiga poin yang terkaitan dengan poligami. Yang pertama, anggaplah semacam memberi kesempatan untuk poligami. Kedua, peringatan atau warning agar belaku adil: fain khiftum allâ ta‘dilû fawâhidah (kalau engkau sangsi tidak dapat berlaku adil, satu sajalah! -Red). Ketiga, ada ayat yang mengatakan, walan tashtatî’û ‘an ta’dilî bainan nisâ’ wain harashtum. Artinya, kamu sekalian (wahai kaum laki-laki!) tidak akan bisa berbuat adil antara isteri-isterimu, sekalipun engkau berusaha keras.
  
  Ini artinya, kalau kita melakukan komparasi atas berbagai ayat, kesimpulannya adalah satu ayat membolehkan poligami, sementara dua ayat justru (seakan-akan) menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami: masalah keadilan. Intinya, dua ayat justru mengekang poligami. Kalau kita menggunakan proporsi seperti tadi, akan dihasilkan perbandingan dua ayat banding satu. Dan ingat, satu-satunya ayat yang seakan membolehkan poligami, yaitu Qs An-Nisa: 2-3, konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang. Kalau kita bicara tentang praktik Nabi, ketahuilah Nabi itu menjalani bahtera rumah tangga lebih dari 30 tahun. Tapi selama 28 tahun Nabi setia dengan praktik monogami. Dan hanya delapan tahun dia melakukan poligami.
Kalau kita menggunakan proporsi waktu juga, maka anggapan bahwa poligami adalah Sunnah itu lucu juga. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga? Bahkan, praktik monogami Nabi yang sangat lama itu dilakukan di tengah situasi sosial masyarakat Arab yang menganggap poligami itu lumrah.
  
  Jadi jelas Nabi lebih bahagia dan sukses ketika menjalani kehidupan monogami. Ingat, betapa berdukanya Nabi setelah wafatnya Khadijah, isterinya beliau satu-satunya dalam praktik monogami. Bahkan, tahun itu (kesepuluh kenabian) disebut juga sebagai amulhuzn (tahun duka cita, Red). Baru dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani sebentar saja. Selain itu, perlu diingat kasus Nabi melarang Ali bin Abi Thalib melakukan poligami yang berarti memadu putrinya, Fatimah. Itu dikisahkan dalam hadis sahih, dan diriwayatkan, di antaranya oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih mereka. Juga diriwayatkan oleh ulama hadis terkemuka seperti Turmudzi dan Ibn Majah.
  

Itulah ironisnya. Ada distorsi yang dilakukan kalangan propoligami. Ketika kita membuka kitab-kitab hadits semacam Majâmi‘ Al-Ushûl, kumpulan enam kitab hadis terbesar–misalnya—akan ditemukan tiga klasifikasi tentang poligami. Pertama, ada pembatasan. Alkisah, ada sahabat yang kawin dengan sepuluh orang, lantas Nabi menganjurkan untuk menceraikan selain empat orang. Itulah yang dilakukan Nabi pada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Kedua, ada hadis tentang moralitas poligami. Dalam hadits ini, disebutkan kalau orang yang melakukan praktik poligami harus adil, tidak berlaku aniaya atas dua isteri; kalau berbuat aniaya diancam siksa neraka. Ketiga, perilaku Nabi dalam berpoligami.
  
  Coba lihat kitab Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita temukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi. Sebagian besar yang dinikahi Nabi adalah janda-janda yang ditinggal  mati suaminya ketika berjihad, kecuali Aisyah binti Abu Bakr.
  
  Jadi anjuran --baik dari Alquran atau hadis-- yang menyebut poligami sebagai sesautu yang baik tidak ada sama sekali. Karena itu, pandangan yang beredar di masyarakat, seperti kasus Puspowardoyo atau Drs. Muhammad Thalib yang menulis buku Tuntunan Poligami dan Keutamaannya kurang tepat. Mereka jelas-jelas menganjurkan, bahkan menganggapnya perintah. Dalam pandangan mereka, orang yang berpoligami lebih baik daripada yang monogami (Rhoma Irama yang berpoligami juga berpendapat demikian, Red). Bahkan disebutkan bahwa poligami akan menambah rezeki, memberi peluang masuk surga lebih banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar