cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

hukum pidana analisa kasus terakhir 2


Kasus

JAKARTA | SURYA Online - Kasus penganiayaan yang dilakukan pembalap nasional Ananda Mikola masih terus bergulir. Bahkan, rekan Ananda yang juga artis papan atas, Marcella Zalianti, telah ditetapkan sebagai tersangka atas tindakan melawan hukum yang diduga dilakukan Ananda terhadap Agung Setiawan.

Namun, bagaimana sebenarnya awal mula peristiwa tersebut terjadi? Berdasarkan keterangan dari pihak Polres Jakarta Pusat yang menangani kasus tersebut, berhasil disusun sebuah kronologi kasus yang berujung pada ditahannya putra sulung mantan pembalap nasional, Tinton Soeprapto, itu.

Berikut kronologinya

Selasa, 2 Desember 2008
Pukul 23.30. Ananda Mikola diduga menghubungi M Haryanto, Yoga Mega Permana, dan Ruli Hasbi untuk menjemput Agung Setiawan. Ketiganya adalah pekerja di PT Kreasi Anak Bangsa, rumah produksi milik Marcella Zalianty.

Rabu, 3 Desember 2008
Pukul 01.30. Agung yang keluar dari lift seusai berkaraoke di Menara Imperium, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, diduga dijemput paksa ketiga orang tersebut. Diduga atas perintah Ananda, Agung dibawa ke Hotel Ibis Tamarin, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat (Jakpus). Disitu Agung dianiaya.

Pukul 11.00. Karena kehabisan uang, ketiganya diduga membawa Agung ke kantor Marcella di Gedung Sentral OWN No 58, W-X, JaIan Cikini Raya, Jakpus. Ananda datang bersama Moreno Soeprapto. Tak lama kemudian, Marcella datang. Diduga, Agung kembali dianiaya.

Saat disekap di kamar mandi kantor Marcella, Agung mengirim SMS kepada Cici, temannya. Cici kemudian menelepon polisi.

Pukul 14.00. Sejumlah anggota reserse Polres Metro Jakpus meluncur ke lokasi kejadian. Agung dibebaskan.

Pukul 15.00. Haryanto, Yoga, dan Ruli digelandang ke Polres Metro Jakpus dan dijadikan tersangka.

Pukul 19.00. Ananda dan Moreno diperiksa Polres Metro Jakpus.

Kamis, 4 Desember 2008
Pukul 14.15. Agung datang ke Polres Metro Jakpus untuk diperiksa.

Pukul 19.00. Ananda ditetapkan sebagai tersangka dan adiknya, Moreno, dibebaskan.

Pukul 20.00. Marcella dan adiknya, Sergio Oktodio, ditetapkan sebagai tersangka. Di tempat lain, Agung dan pengacaranya mendatangi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) untuk meminta pendampingan.

Jumat, 5 Desember 2008

Pukul 20.00. Lasia, sekretaris Marcella, ditetapkan sebagai tersangka. Di tempat lain, Kontras menyerahkan bukti rekaman CCTV di Menara Imperium kepada Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.

25 Juni 2009
Kasus dugaan penganiayaan terhadap Agung Setiawan ini sudah mulai berangsur selesai karena para tersangka dalam kasus ini sudah divonis oleh hakim seperti Marcella Zalianty yang di vonis 6 bulan 20 hari penjara dan juga Ananda Mikola pada hari ini. Selesainya kasus ini tergantung dari pihak Marcella atau Ananda Mikola mengajukan kasus ini untuk naik banding atau tidak.

Sebelum mendengarkan vonis hukumannya pada hari ini, Ananda Mikola juga mendapatkan dukungan dari ibu-ibu yang hadir dalam sidang pembacaan keputusan vonis dari hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Ananda Mikola yang sedang menunggu lamanya sidang untuk dimulai, beberapa ibu-ibu yang hadir ini meminta tanda tangannya Ananda Mikola di kaos mereka. Namun karena Ananda Mikola ingin menggunakan waktu yang masih senggang tersebut untuk berdoa, Ananda menolak permintaan ibu-ibu tersebut dengan halus.

“Sudah dong, saya lagi berdoa. Doain ya biar bebas. Saya perasaan deg-degan banget nih, nunggu sidang lama banget. Tapi alhamdulillah semua datang untuk mendukung saya,” kata Ananda.

Kemudian sidang putusan vonis yang dimulai pada pukul 13.25 WIB dan selesai pada pukul 14.20 WIB, hakim membacakan keputusan bahwa Ananda Mikola tidak terbukti bersalah tentang tindak penganiayaan pasal 351, namun Ananda dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana melanggar tentang perampasan kemerdekaan orang yaitu pasal 333 ayat 1. Kesalahan Ananda ini dikarenakan telah membantu memberikan sarana untuk melakukan perampasan kemerdekaan seseorang.

Pasal 333 Ayat 1 ini berbunyi :
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

Pasal 351 berbunyi :
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Setelah hakim selesai membacakan keputusan vonis terhadap Ananda Mikola kemudian hakim bertanya kepada Ananda keberatan dengan vonis 7 bulan penjara itu dan akan mengajukan banding untuks selanjutnya. Namun dengan tanggap Ananda Mikola langsung memberikan jawabannya.

“Nanti akan saya konsultasikan dulu sama tim pengacara saya.” jawab Ananda Mikola.

Dalam sidang putusan tersebut Ananda Mikola mendapatkan dukungan juga dari Marcella Zalianty, Tetty Liz Indriaty, Sergio, Banyu Biru, Olivia Zalianty.


Sumber : http://artistainment.wordpress.com/2009/07/01/sidang-lama-ananda-berdoa-dan-divonis-7-bulan-penjara/#more-2827


ANALISIS YURIDIS

Pasal yang dilanggar

Dari penjelasan perkara diatas, Ananda Mikola dalam perkara ini terbukti melanggar;

Pasal 333 ayat (1) KUHP yaitu :

“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama 8 tahun.”

Dengan juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 yaitu :

“Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.”

Unsur-unsur Pasal

Barangsiapa

Unsur ini menunjuk kepada subjek hukum yang melakukan tindak pidana dan orang tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakannya. Dalam perkara ini unsur barangsiapa terpenuhi, dan menunjuk kepada Ananda Mikola selaku terdakwa dalam kasus ini.

Dengan sengaja

yaitu dolus berarti tersangka menghendaki dan mengetahui perbuatan dan akibat yang terjadi bila delik dilakukan. Dalam perkara ini Ananda Mikola menghendaki dan mengetahui perbuatan dan akibat yang terjadi apabila delik dilakukan. Dengan ini unsur telah terpenuhi

Melawan hukum

Yaitu melanggar ketentuan yang ada di dalam undang-undang. Dalam hal ini Ananda Mikola melanggar ketentuan KUHP buku ke-2. Dengan ini unsur telah terpenuhi.

Merampas kemerdekaan seseorang

Unsur ini menunjuk kepada mengurung, menculik, menahan, atau segala hal yang menahan kebebasan seseorang. Dalam hal ini Agung selaku korban dikurung di toilet kantor. Dengan ini unsur ini terpenuhi.


Pidana dan Pemidanaan
Teori-teori Pemidanaan
Teori Absolut, yang menyatakan bahwa hukuman adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekuensi dilakukannya kejahatan. Maksud hukuman adalah untuk represif dan beratnya hukuman sama dengan beratnya delik.
Teori Relatif yang menyatakan bahwa hukuman dijatuhkan untuk tujuan tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Teori ini menekankan kepada pembinaan dan rehabilitasi.
Teori Prevensi yang menyatakan bahwa hukuman dijatuhkan untuk pencegahan. Hukuman sebagai contoh agar masyarakat tidak meniru kejahatan yang dilakukan dan hukuman ditujukan kepada si pelaku sendiri agar tidak mengulangi perbuatannya.
Teori Gabungan yang menyataka bahwa pidana bertujuan untuk; Pembalasan, upaya prevensi, merehabilitasi pelaku, dan melindungi masyarakat.

Dilihat dari perkara di atas, maka saya rasa dalam perkara ini pemidanaan lebih dapat digolongkan ke dalam Teori Absolut. Karena dalam pelaksanaan hukumannya nanti, saya rasa pemidanaan tidak ditujukan agar pelaku menjadi jera, melainkan pidana ini diberikan karena hukuman ini adalah konsekuensi dari dilakukannya kejahatan tersebut.

Sistem Penjatuhan Pidana
Sistem penjatuhan pidana dikenal dengan adanya 4 sistem yaitu :
Stelsel kumulasi murni, hanya untuk pelanggaran + kejahatan atau pelanggaran + pelanggaran (Pasal 70 dan Pasal 70 bis KUHP).
Stelsel kumulasi terbatas (Pasal 65 ayat (1) KUHP)
Absorsi murni (Pasal 63 ayat (1) dan Pasal 64 KUHP)
Absorsi dipertajam (Pasal 65 ayat (2) KUHP)

Dalam hal ini Ananda Mikola dituntut dengan pasal 351 ayat (1) dan pasal 333 ayat (1) KUHP, namun Ananda Mikola hanya terbukti memenuhi unsur pasal 333 ayat (1).
Menurut analisa saya, dalam masalah penuntutan penjatuhan pidana pada kasus ini, seharusnya digunakan Stelsel Kumulasi Terbatas, karena bila dilihat dari gabungan tindak pidananya, kasus ini terdiri dari dua (2) tindak pidana yaitu delik penganiayaan dan pasal 351 ayat (1) dan delik kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang pasal 333 ayat (1), karena pada kasus ini terdiri dari lebih dari satu tindak pidana maka dalam penjatuhan pidananya yang digunakan adalah sistem absorsi diperberat, seluruh pidana yang diancamkan secara kumulasi tetapi tidak boleh melebihi pidana terberat + 1/3-nya, tertuang pada Pasal 65 ayat (1) dan (2) :
Ayat (1) :
Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
Ayat (2) :
Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.

Dilihat dari isi Pasal 65 , karena kasus ini diancam dengan pidana pokok yang sejenis, yaitu ancaman pidana penjara, maka akumulasi pemidanaannya adalah ancaman hukuman pidananya diakumulasi degan syarat jumlah pidananya tidak boleh lebih dari maksmum pidana yang terberat ditambah sepertiga.
Akumulasi penghitungannya adalah :
Pasal 351 ayat (1) à 2 tahun 8 bulan atau 32 bulan
Pasal 333 ayat (1) à 8 tahun atau 96 bulan
Bila diakumulasikan maka hukuman pidana yang diancaman kepada si pelaku adalah :
32+96=128 bulan atau 10 tahun 8 bulan

Namun, karena pada Pasal 65 diatur ketentuannya adalah jumlah pidana tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambaha sepertiga, dimana jumlah maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga penghitungannya adalah :
Yang terberat = 8 tahun
Sepertiganya = 2 tahun 8 bulan
à 8tahun + 2 tahun 8 bulan = 10 tahun 8 bulan

Karena jumlah akumulasi pidana tidak melebihi jumlah maksimum pidana terberat ditambah sepertiga, maka yang dijatuhkan adalah akumulasi total seluruh pidana yang diancamkan kepadanya yaitu : ancaman pidana penjara selama 10 tahun 8 bulan.

Dasar/Alasan Penghapus Pidana
Pengertian :
Hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan  tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU, namun tidak dihukum karena orangnya tidak dapat dipersalahkan dan perbuatannya tidak lagi melawan hukum.
Pembagian dasar penghapus pidana menurut doktrin :

Dasar Pembenar
Dalam hal ini, perbuatannya tidak dianggap melawan hukum, walaupun perbuatannya itu dilarang dan diancam hukuman oleh UU/KUHP. Jadi perbuatannya dibolehkan.
Yang termasuk ke dalam dasar pembenar antara lain terdapat pada :
Pasal 48 KUHP à Keadaan Darurat
Pasal 49 KUHP à Bela Paksa/Pembelaan Darurat
Pasal 50 KUHP à Melaksanakan perintah Undang-Undang
Pasal 51 KUHP à Perintah jabatan yang sah dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

Dasar Pemaaf
Dalam hal alasan pemaaf ini, perbuatan pelaku tetap dianggap melawan hukum, namun unsure kesalahannya dimaafkan. Yang termasuk ke dalam alasan pembenar antara lain :
Pasal 44 KUHP à Ketidakmampuan untuk bertanggung jawab karena sakit jiwa/ idiot/imbisil
Pasal 48 KUHP à Overmacht dalam arti sempit-relatif, dilakuka karena adanya ancaman atau paksaan dari pihak ketiga (biasanya orang) yang sudah tidak dapat dielakkan lagi.
Pasal 51 ayat (2) KUHP à Melakukan perintah jabatan yang tidak sah, namun yang disuruh dengan itikad baik menganggap bahwa perintah tersebut sah.

Dalam penjabaran mengenai kasus ini, memang tidak ditemukan latar belakang atau motif dilakukannya tindak pidana ini, sehingga saya juga tidak bisa pasti mengatakan apa yang dijadikan latar belakang pelaku melakukan tindak pidana ini. Namun, karena dalam ringkasan kasus yang ada motifnya tidak jelas maka tidak bisa diketahui secara pasti apakah ada dasar-dasar penghapus pidana atau tidak. 
Dilihat pada latar belakang terjadinya perkara ini, tidak dapat ditemukan alasan pembenar. Karena sepertinya, saat melakukan tindak pidana ini pelaku dalam keadaan sadar akan akibat yang akan ditimbulkan oleh perbuatannya. Tindak pidana ini tidak dilakukan dalam keadaan darurat, bukan dalam bentuk pembelaan darurat, tindak pidana ini tidak melaksanakan perintah Undang-Undang dan tidak dalam keadaan menjalankan perintah jabatan.


Dasar/Alasan Pemberat Pidana
Dasar pemberat pidana dibedakan dalam dua, yaitu :
Dasar Pemberat Pidana Dalam KUHP
Umum
Recidive : Pengulangan tindak pidana. Ancaman pidananya + (1/3-nya) diatur dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP.
Pada waktu melakukan tindak pidana melanggar perintah jabatan (abuse of power), Pasal 52 KUHP.

Khusus
Delik-delik yang diperberat, contohnya adalah delik-delik yang dikualifisir atau diper-berat. Contohnya adalah Pasal 52 a, Pasal 356, 349, 351 ayat (2), dll.

Dasar Pemberat Pidana diluar KUHP
Pemaksimalan pidana karena dianggap meresahkan masyarakat
Dilakukan dengan cara yang kejam
Memberi keterangan dengan berbelit-belit
Tidak menunjukkan sikap menyesal
Bukan pertama kali melakukan tindak pidana
Penjatuhan pidana yang cukup berat

Dilihat dari kasus ini, walaupun tindak pidananya bukan merupakan recidive atau tindakan jabatan, namun tetap saja ditemukan alasan pemberatnya yaitu karena melakukan gabungan tindak pidana (samenloop).
Dasar pemberatnya dapat dilihat pada sistem penjatuhan pidananya yaitu jumlah maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Walaupun pada kasus ini, jumlah pidana yang dijatuhkan yaitu maksimum pidana terberat ditambah sepertiga adalah untuk menggantikan akumulasi pidana yang jumlahnya jauh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.
Jadi, walaupun bukan merupakan recidive atau tindakan jabatan, gabungan tindak pidana yang dilakukan oleh si pelaku kasus ini tetap saja dianggap sebagai dasar pemberat pidana, karena sudah tertulis juga di dalam Pasal 65, pasal yang dijadikan acuan dalam menghitung penjatuhan pidananya.


Dasar Peringan Pidana
Sama halnya dengan dasar pemberat pidana, dasar-dasar peringan suatu pidana juga dibedakan menjadi dua, yaitu :
Umum
Tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak atau orang yang belum dewasa. Diatur dalam UU no.3 tahun 1997 tentang pengadilan anak sebagai pengganti pasal 45-47 KUHP. Jika tidak diatur secara menyimpang oleh Undang-Undang Pengadilan Anak, maka ketentuan-ketentuan umum lain yang ada di dalam KUHP dan KUHAP tetap dipergunakan.
Khusus
Delik yang diperingan (diprelifisir), contohnya ada pada Pasal 308 KUHP.

Dalam perkara ini, lagi-lagi tidak ditemukan dasar peringan di dalam perumusan tindak pidananya. Alasannya adalah karena tindak pidana ini tidak dilakukan oleh anak-anak dan juga bukan dilakukan oleh orang yang imbisil. Pelaku dari tindak pidana ini adalah seorang laki-laki dewasa yang kejiwaannya normal dan seharusnya secara keinsyafan kepastian mengetahui bahwa dengan melakukan tindak pidana ini dia akan dihukum. Sehingga dengan tidak adanya dasar peringan pidana dalam perumusan kasus ini, hubungan yang diterima terpidana adalah hukuman yang tertuang dalam pasal-pasal yang dilanggar oleh tindak pidana ini.
                                             

Gabungan Tindak Pidana (Samenloop)
Pengertian dari gabungan tindak pidana adalah satu orang melakukan perbarengan 2 atau lebih tindak pidana, yang dipertanggungjawabkan pada satu orang atau lebih atas dua atau lebih tindak pidana tersebut, belum mendapat putusan hakim diantaranya, dan akan diperiksa serta diputus sekaligus.
Jenis-jenis gabungan :
Gabungan berupa satu perbuatan (Pasal 63 KUHP)
Gabungan berupa satu perbuatan atau Concursus Idealis. Yaitu perbarengan tindakan tunggal/perbarengan ketentuan pidana.
Seseorang atau lebih melakukan suatu perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan pidana.
Concursus Idealis Homogenius à dengan satu perbuatan melanggar satu peraturan pidana yang sama beberapa kali.
Concursus Idealis Heterogenius à dengan satu perbuatan melanggar beberapa peraturan idana yang berbeda.
Untuk jenis gabungan tindak pidana ini stelsel pemidanaannya digunakan sistem Absorsi Murni, yaitu dijatuhkan satu jenis pidana saja yakni yang terberat.

Gabungan beberapa perbuatan (Pasal 35, 66, 70 KUHP)
Gabungan beberapa perbuatan atau Concursus Realis. Yaitu perbarengan tindak pidana jamak/perbarengan ketentuan-ketentuan pidana.
Seseorang/lebih melakukan tindakan-tindakan yang berdiri sendiri dan termasuk dalam 2/lebih ketentuan pidana.
Concurses Realis Homogenius à melakukan beberapa perbuatan dan dengan perbuatan-perbuatan tersebut melanggar suatu ketentuan pidana beberapa kali.
Concursus Realis Heterogenius à beberapa perbuatan melanggar beberapa per-aturan pidana yang berbeda.
Stelsel pemidanaannya :
Pasal 65 ayat (1) à kejahatan dengan ancaman pidana pokok sejenis; absorsi yang diperberat, seluruh pidana yang diancamkan secara kumulasi tetapi tidak boleh melebihi pidana terberat + 1/3-nya
Pasal 66 ayat (1) à Concursus Realis berupa kejahatan dengan ancaman pidana pokok yang tidak sejenis : kumulasi terbatas
Pasal 66 ayat 92) jo Pasal 30
Pasal 67 à Jika salah satu tindak podana dijatuhkan hukuman mati atau penjara seumur hidup maka tidak boleh dihatuhkan pidana lainnya kecuali pencabutan hak-hak tertentu.

Perbuatan berlanjut (Pasal 64)
Perbuatan berlanjut atau Voorgezette Handeling.
Suatu tindak pidana yang terdiri dari beberapa perbuatan di mana perbuatan tersebut terdapat hubungan sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut.
Stelsel pemidanaanya menggunakan sistem Absorsi Murni.
Pemidanaan bagi tindak pidana ini lebih lanjutnya diatur dalam Pasal 64 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) KUHP.

Menurut analisa saya, kasus ini dapat dikategorikan ke dalam gabungan tindak pidana (samenloop) yaitu jenis Concursus Realis Heterogenius.
Dikategorikan kedalam jenis itu karena pada kasus ini perbuatannya terdiri dari 2 tindak pidana penganiayaan dan kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang, dan 2 tindak pidana itu dilakukan secara bersamaan yang melanggar ketentuan pada Pasal 351 ayat (1) dan 333 ayat (1).

Penyertaan Tindak Pidana
Penyertaan adalah terlibatnya lebih dari satu prang dalam satu atau lebih tindak pidana, sebelum atau saat tindak pidana terjadi.
Golongan peserta dalam tindak pidana :
Pembuat/dader dipidana sebagai pelaku :
Yang melakukan
Yang menyuruh melakukan
Yang turut serta
Yang menganjurkan
Pembantu :
Pembantu pada saat kejahatan dilakukan
Pembantu sebelum kejahatan dilakukan

Dalam kasus ini, tindak pidana yang dilakukan dapat digolongkan ke dalam jenis Menyuruh Lakukan.

Menyuruh Lakukan
Mengenai menyuruh lakukan diatur lebih lanjut dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP
Melakukan : melakukan sendiri tindak pidana tersebut.
Menyuruh Lakukan : pelaku tidak ikut serta pada tindak pidana tersebut namun menyuruh seseorang untuk melakukan tindak pidana tersebut.
Yang Turut Serta Melakukan : pelaku ikut serta dalam tindak pidana tersebut.
Pada kasus ini, dikatakan masuk ke dalam jenis penyertaan Menyuruh Lakukan, karena si pelaku tidak melakukan tindak pidana ini sendiri. Pelaku menyuruh temannya untuk melakukan tindak pidana yang dapat mempermudah tindakan utamanya, yaitu si pelaku menyuruh temannya untuk menjemput korban.

Daluarsa
Di dalam KUHP, masalah daluarsa ini erat kaitannya dengan masalah hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana.
Untuk masalah hapusnya kewenangan menuntut lebih lanjutnya diatur dalam :
Pasal 78 KUHP
Pasal 79 KUHP
Untuk masalah daluarsa dalam menjalankan pidana secara lebih lanjut diatur dalam :
Pasal 84 KUHP
Pasal 85 KUHP

Apabila ajaran mengenai daluarsa diterapkan dalam kasus ini maka analisa saya adalah sebagai berikut :
Mengenai kewenangan menuntut
Tindakan pidana utama, yaitu kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang, dilakukan pada tanggal 3 Desember 2008.
Mengenai kewenangan menuntut pada Pasal 78 KUHP disebutkan bahwa :
Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan.

Dan mengacu pada isi Pasal 79 KUHP, maka tenggang daluwarsa dalam kaitannya dengan kewenangan menuntut pada kasus ini mulai berlaku sejak tanggal 4 November 2008, yaitu sehari setelah tindakan kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang tesebut dilakukan.
Dan mengenai lamanya tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut pada kasus ini, diatur pada Pasal 78 ayat (1) butir ke-3 KUHP yang berbunyi :
Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa :
………………………………………………………
………………………………………………………
Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana dengan penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun.
……………………………………………………….”

Melihat pada isi pasal 78 ayat (1) butir ke-3 KUHP, berarti kewenangan menuntut dalam kasus ini akan hapus apabila sudah lewat dari tanggal 4 Desember 2020, yaitu dua belas (12) tahun sehari sesudah tindak pidana kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang itu dilakukan.

Menjalankan pidana
Mengenai masalah daluwarsa dan hubungannya dengan menjalankan pidana secara lebih lanjut diatur dalam Pasal 84 dan 85 KUHP.
Dalam kasus ini, sudah ada putusan hakimnya namun tidak dijelaskan kapan putusan hakim itu secara resmi dijatuhkan, jadi mari menggunakan pengandaian. Putusan hakim dijatuhkan pada tanggal 25 Juni 2009, dengan begitu akan dengan mudah menghitung tenggang waktu daluwarsa dalam hubungannya dengan menjalankan pidana.
Tenggang waktu daluwarsa dalam menjalankan pidana diatur dalam Pasal 85 ayat (1) KUHP yang berbunyi :
Tenggang waktu daluwarsa mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan.

Mengacu pada bunyi Pasal 85 ayat (1) KUHP maka pada kasus ini, karena putusan hakim dijatuhkan pada tanggal 25 Juni 2009, berarti masa daluwarsa dengan kaitannya dengan menjalankan pidana adalah dimulai dari tanggal 26 Juni 2009.
Kemudian mengenai kewenangan menjalankan pidana lebih lanjut lagi diatur dalam Pasal 84 ayat (1) ,(2), dan ayat (3) KUHP yang berbunyi :
Ayat (1) :
Kewenangan menjalankan pidana hapus karena daluwarsa.
Ayat (2) ;
Tenggang daluwarsa mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun, mengenai kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya lima tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan lainnya lamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana, ditambah sepertiga.
Ayat (3) :
Bagaimanapun juga, tenggang daluwarsa tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan.

Mengacu pada isi Pasal 84 ayat (1), (2), dan ayat (3) maka tenggang daluwarsa dalam kaitannya dengan kewenangan menjalankan pidana pada kasus ini adalah sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana ditambah dengan sepertiga.
Jadi penghitungannya adalah :
Tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana = 12 tahun
Sepertiganya ( 12 tahun : 3 ) = 4 tahun
à Tenggang daluwarsa dalam kaitannya dengan kewenangan menjalankan pidana adalah 12 tahun + 4 tahun = 16 tahun.

Dalam Pasal 84 ayat (3) KUHP disebutkan  bahwa tenggang daluwarsa tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan. Pada kasus ini, karena masa hukuman baik bagi si pelaku kejahatan dan si pelaku yang membantu melakukan kejahatan tidak ada yang melebihi tenggang daluwarsa dalam menjalankan pidana, maka tenggang daluwarsa dalam kaitannya dengan kewenangan menjalankan pidana tetap bisa diterapkan dalam kasus ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar