cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

hukum agraria


Analisa Sengketa Tanah Meruya Selatan

Pengadilan Negeri Jakarta Barat akhirnya menunda eksekusi terhadap tanah Meruya Selatan yang sedianya dilakukan hari ini. Bentrok antara warga dan eksekutor seperti yang dikhawatirkan banyak orang pun tak terjadi. Kasus ini bermula pada 1972. Waktu itu, Haji Djuhri bin Haji Geni, Yahya bin Haji Geni, dan Muhammad Yatim Tugono membeli tanah-tanah girik dari warga Meruya Udik, yang kini menjadi Kelurahan Meruya Selatan. Seluruh tanah ini mencapai luas 78 hektare dan kemudian dijual dengan harga Rp 300 per meter persegi ke perusahaan properti milik Beny Rachmat itu.
Masalah muncul ketika Portanigra menuduh tiga mandor itu belakangan membuat girik palsu dan menjual lagi tanah tersebut ke beberapa pihak. Kasus pemalsuan girik ini ditemukan oleh Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pusat pimpinan Laksamana Sudomo pada 1978.
Dalam proses pemeriksaan, tiga mandor tadi mengaku menjual lagi girik tersebut kepada beberapa perusahaan. Di antaranya ke pemerintah DKI Jakarta pada 1974 seluas 15 hektare, kepada PT Intercone (2 hektare) dan PT Copylas (2,5 hektare) pada 1975, serta kepada BRI seluas 3,5 hektare pada 1977.
Pada 1986, Djuhri divonis hukuman setahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Di tingkat banding, Yahya terkena vonis setahun penjara. Adapun Tugono, kasasinya ditolak Mahkamah Agung sehingga ia harus masuk penjara pada 1989.
Berbekal putusan pidana itu, Portanigra kemudian menggugat perdata ketiga mandor tersebut pada 1996. Ketika itu, Pengadilan Negeri Jakarta Barat sudah meletakkan sita jaminan terhadap tanah seluas 44 hektare yang diklaim milik Porta. Gugatan ini sempat ditolak di tingkat pertama dan banding.
Namun, pada 2001, nasib berbalik memihak Porta ketika perkara sampai di Mahkamah Agung. Mahkamah memenangkan Porta. Putusan perkara pidana dan bukti jual-beli yang jadi pegangan putusan kasasi.
Meskipun bukan pihak yang bersengketa, warga kini berusaha melawan putusan Mahkamah Agung dengan mengajukan gugatan perlawanan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Warga juga berusaha menghalangi eksekusi dengan mengadukan Portanigra ke polisi karena adanya sejumlah kejanggalan di berkas perkara.
Kejanggalan itu di antaranya menyangkut domisili perusahaan tersebut di Duta Merlin yang ternyata kosong dan nomor wajib pajak ganda atas nama Portanigra.
Dari tiga terpidana, kini cuma Haji Djuhri yang sudah berusia 80 tahun dan pikun itu yang ikut melawan. Sebab, Yahya sudah meninggal dan Tugono pindah entah ke mana.
Portanigra sendiri kini menunggu upaya Dewan Perwakilan Rakyat mencari solusi untuk tak merugikan pihak ketiga atau warga dalam sengketa tanah tersebut.
Badan Pertanahan Jakarta yang disebut-sebut ikut punya andil membuat masalah ini jadi kisruh sepertinya malah tak diganggu gugat. Padahal jika dokumen tanah berupa hak girik dipegang PT Portanigra dan tanah tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa memiliki sertifikat hak milik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah di atas lahan yang terlibat sengketa.
Nasi telah menjadi bubur. BPN mengeluarkan sertifikat itu dan kini jadi masalah. Warga Meruya pun berada dalam ketidakpastian entah sampai kapan 

Sumber :

Analisa Kasus

Kasus Meruya ini telah mengundang reaksi banyak pihak. Namun satu hal yang tidak sesuai yaitu apa semudah itu sebuah perusahaan seperti PT. Portanigra sekehendaknya membeli lahan tanpa izin dari Pemerintah.  Jika demikian orang yang memiliki harta dapat semena-mena membeli tanah-tanah rakyat miskin. Dengan hukum saat ini seharusnya ada ijin lokasi, dulu mungkin ada dengan prosedur yang tidak berlaku seperti sekarang. Lalu karena masalahnya tanah, kita menyalahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Dalam kasus ini BPN menjadi kambing hitam dan juga sangat tidak etis hakim kasasi Sdr. Benjamin Mangkoedilaga, menyalahkan BPN. Komentarnya yang bernada provokatif sebagaimana yang lihat di berita. Seharusnya sebagai seorang hakim agung, dia bisa mengendalikan mulutnya agar permasalahan ini tidak tambah runyam. Kita semua berkomentar mengenai Meruya dan menyalahkan salah satu pihak, tapi kita tidak memiliki data-data untuk menjadi bahan argumentasi kita untuk menyalahkan pihak mana. Pernahkah kita membaca berkas perkaranya dari awal ? Kita hanya mendengar dari media, sedangkan kita semua tahu tidak semua berita itu berimbang dan benar, bisa jadi berita tersebut bias atau tidak akurat, karena kekurangan data. Jadi yang kita terima selama ini hanya dari salah satu pihak. BPN tidak bisa disalahkan, karena ketika mereka memproses permohonan pengukuran dan pendaftaran tanah warga meruya, sita jaminan dari pengadilan adalah tanah yang belum terdaftar atau masih berupa girik. Lain perkara jika seumpamanya tanah yang dikenakan sita jaminan sudah terdaftar, maka akan jelas dalam sita jaminan tercantum jenis hak, nomor hak, kelurahan, luas tanah dan batas-batasnya. Yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah BPN sudah diberikan salinan sita jaminan secara resmi oleh lembaga peradilan? Kemudian apakah obyek sita jaminan tersebut jelas, apakah sudah terdaftar atau belum? Seharusnya semua pihak mengetahui, sita jaminan tidak hanya berupa pemberitahuan adanya sita jaminan, tapi dalam sita jaminan tersebut mencantumkan dengan tegas obyek sengketa yaitu mengenai ukuran, luas dan batas-batasnya. Kalau semua itu tidak dipenuhi, maka bisa sita jaminan tersebut memiliki akibat hukum. Mungkin saja BPN dan warga Meruya yang memohon pendaftaran dan pengukuran tanahnya bukan partai dalam perkara tersebut, sehingga perkara tersebut tidak mengikat BPN dan warga yang menguasai tanah untuk mentaati putusan lembaga peradilan yang memeriksa perkara tersebut. Menurut saya ada kejanggalan dalam kasus ini, mengapa dalam waktu lebih dari 30 tahun warga yang menguasai tanah dan melakukan kegiatan fisik, tidak ditegur oleh P.T. Portanigra ? Seharusnya P.T. Portanigra tidak membiarkan adanya aktivitas warga di atas tanah yang diklaim oleh P.T. Portanigra. Apalagi berdasarkan ketentuan dalam PP.24/1997, tentang Pendaftaran Tanah, masyarakat yang menguasai tanah selama lebih dari 20 tahun secara berturut-turut tanpa adanya keberatan dari pihak lain, maka dianggap sebagai pihak yang pihak yang benar. Belum lagi adanya kejanggalan lain, seperti P.T. Portanigra belum bukti kepemilikan yang sah dan benar. Kemudian yang diklaim hanya tanah kosong. Dan yang lebih parah lagi (kalau ini benar) ternyata berdasarkan putusan kasasi luas tanah P.T. Portanigra lebih dari 70 HA, sedangkan P.T. Portanigra hanya mengklaim luas tanahnya hanya sekitar lebih dari 40 HA. Artinya putusan kasasi tersebut telah melampaui apa yang digugat oleh Penggugat, jelas ini telah melanggar asas hukum beracara di peradilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar