cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

hukum pidana analisa kasus terakhir

KASUS POSISI

Terdakwa VINCENTIUS AMIN SUTANTO alias VICTOR SETIAWAN alias VICTOR SUSANTO bekerja di PT. Indosawit Subur (Asian Agri Group) sejak tahun 1999 dan menjabat sebagai Group Financial Controller. Asian Agri Group bergerak dalam bidang minyak mentah kelapa sawit (CPO), perkebunan, dan lain-lain, membawahi beberapa perusahaan di dalam negeri (Indonesia) dan beberapa perusahaan di luar negeri, diantaranya Asian Agri Oils & Fats Ltd. yang berkedudukan di Singapura.
Terdakwa menyuruh Ricky Bunjaya untuk membuat Kartu Tanda Penduduk dengan nama Hendri Susilo, dengan tujuan untuk mendirikan dua perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas berkedudukan di Jakarta masing-masing dengan nama PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama, selanjutnya Hendri Susilo menyerahkan nomor rekening atas nama PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama berikut Swift Code Pin serta 3 (tiga) buah stempel/cap perusahaan kepada Terdakwa. Terdakwa memberitahukan kepada Hendri Susilo dan Agustinus Ferry Susanto bahwa uang dalam waktu dekat akan masuk ke rekening dan menugaskan orang tersebut untuk mencairkan dana yang sudah masuk rekening. Selanjutnya Terdakwa membuat 2 (dua) lembar perintah aplikasi transfer menggunakan formulir Fortis Bank SA/NV Singapore, menandatanganinya dengan meniru tanda tangan Kueh Chin Poh dan Ong Chan Hwa dan mengirimkan perintah aplikasi transfer tersebut ke Singapore melalui jasa pengiriman DHL di Bandara Polonia Medan. Atas pengiriman 2 (dua) aplikasi transfer tersebut pada tanggal 15 Nopember 2006 dana masuk dari Fortis Bank SA/NV Singapore ke rekening PT. Asian Agri Jaya sebesar USD 1.906.215.60 dan ke rekening PT. Asian Agri Utama sebesar USD 1.203.872.47.
Sebelum perkara Vincentius Amin Sutanto digelar di persidangan, Vincentius sempat melapor ke polisi mengenai adanya dugaan manipulasi pajak yang dilakukan oleh pemilik atau bos besar perusahaan dimana dia bekerja senilai lebih dari satu trilyun rupiah. Tetapi akibatnya Vincent terpaksa mendekam di tahanan atas perbuatannya yang merugikan Asian Agri Group sebesar Rp 250.000.000,- (dua ratus lima juta rupiah).
(Sumber : http://sudiharsa.wordpress.com/2008/07/02/penelusuran-kasus-vincentius-amin-sutanto/)
ANALISA YURIDIS

Pasal yang dilanggar
Dari penjelasan mengenai perkara di atas. Perkara ini terbukti melanggar :
Pasal 263 ayat (1) KUHP :
Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
            Dengan Juncto (Jo) :
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP :
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana; mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.”
Selain itu, perkara ini juga melanggar ketentuan-ketentuan di luar KUHP tepatnya melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Yaitu melanggar ketentuan pada :
Pasal 3 ayat (1) huruf a UU TPPU :
Setiap orang yang dengan sengaja; menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).”
Pasal 6  ayat (1) huruf c UU TPPU :
Setiap orang yang menerima atau menguasai; pembayaran; Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).”

Unsur-unsur Pasal
Unsur-unsur pasal 263 ayat (1) KUHP :
Barangsiapa
Unsur ini menunjuk kepada subjek hukum yang melakukan tindak pidana dan orang tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakannya.
Dalam perkara ini unsur barangsiapa terpenuhi, dan menunjuk kepada Vincentius Amin Sutanto selaku terdakwa dalam kasus ini.
Membuat surat palsu
Unsur ini terbukti karena dalam kasus posisi diatas sudah dijelaskan bahwa pelaku memalsukan perintah aplikasi transfer dan juga tanda tangannya.
Diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Unsur ini juga terpenuhi karena perintah aplikasi transfer yang dibuat oleh terdakwa dan tanda tangan yang dipalsukan itu digunakan sebagai perintah untuk mentransfer uang ke rekening fiktif yang dibuat oleh terdakwa.


Pidana dan Pemidanaan
Teori-teori Pemidanaan
Teori Absolut, yang menyatakan bahwa hukuman adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekuensi dilakukannya kejahatan. Maksud hukuman adalah untuk represif dan beratnya hukuman sama dengan beratnya delik.
Teori Relatif yang menyatakan bahwa hukuman dijatuhkan untuk tujuan tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Teori ini menekankan kepada pembinaan dan rehabilitasi.
Teori Prevensi yang menyatakan bahwa hukuman dijatuhkan untuk pencegahan. Hukuman sebagai contoh agar masyarakat tidak meniru kejahatan yang dilakukan dan hukuman ditujukan kepada si pelaku sendiri agar tidak mengulangi perbuatannya.
Teori Gabungan yang menyataka bahwa pidana bertujuan untuk; Pembalasan, upaya prevensi, merehabilitasi pelaku, dan melindungi masyarakat.

Dilihat dari perkara di atas, maka saya rasa dalam perkara ini pemidanaan lebih dapat digolongkan ke dalam Teori Absolut. Karena dalam pelaksanaan hukumannya nanti, saya rasa pemidanaan tidak ditujukan agar pelaku menjadi jera, melainkan pidana ini diberikan karena hukuman ini adalah konsekuensi dari dilakukannya kejahatan tersebut.

Sistem Penjatuhan Pidana
Sistem penjatuhan pidana dikenal dengan adanya 4 sistem yaitu :
Stelsel kumulasi murni, hanya untuk pelanggaran + kejahatan atau pelanggaran + pelanggaran (Pasal 70 dan Pasal 70 bis KUHP).
Stelsel kumulasi terbatas (Pasal 65 ayat (1) KUHP)
Absorsi murni (Pasal 63 ayat (1) dan Pasal 64 KUHP)
Absorsi dipertajam (Pasal 65 ayat (2) KUHP)

Menurut analisa saya, dalam masalah penjatuhan pidana pada kasus ini, seharusnya digunakan Stelsel Kumulasi Terbatas, karena bila dilihat dari gabungan tindak pidananya, kasus ini terdiri dari dua (2) tindak pidana yaitu tindak pidana pemalsuan surat-surat dan tindak pidana pencucian uang, sehingga kasus ini diancam dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP jo Pasal 3 ayat (1) huruf a UU TPPU jo Pasal 6 ayat (1) huruf c UU TPPU.
Memang benar bahwa pada kasus ini ada peraturan khusus (UU) yang mengatur secara terpisah dengan KUHP, namun karena pada kasus ini terdiri dari lebih dari satu tindak pidana maka dalam penjatuhan pidananya yang digunakan adalah sistem absorsi diperberat, seluru pidana yang diancamkan secara kumulasi tetapi tidak boleh melebihi pidana terberat + 1/3-nya, tertuang pada Pasal 65 ayat (1) dan (2) :
Ayat (1) :
Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.”
Ayat (2) :
Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.”

Dilihat dari isi Pasal 65 , karena kasus ini diancam dengan pidana pokok yang sejenis, yaitu ancaman pidana penjara, maka akumulasi pemidanaannya adalah ancaman hukuman pidananya diakumulasi degan syarat jumlah pidananya tidak boleh lebih dari maksmum pidana yang terberat ditambah sepertiga.
Akumulasi penghitungannya adalah :
Pasal 163 ayat (1) KUHP à pidana penjara 6 tahun
Pasal 3 ayat (1) huruf a UU TPPU à pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun
Pasal 6 ayat (1) huruf c UU TPPU à pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun.

Bila diakumulasikan maka hukuman pidana yang diancaman kepada si pelaku adalah :
6 + 5 + 5 = 16 tahun

Namun, karena pada Pasal 65 diatur ketentuannya adalah jumlah pidana tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambaha sepertiga, dimana jumlah maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga penghitungannya adalah :
Yang terberat = 15 tahun
Sepertiganya = 5 tahun
à 15 tahun + 5 tahun = 20 tahun

Karena jumlah akumulasi pidana tidak melebihi jumlah maksimum pidana terberat ditambah sepertiga, maka yang dijatuhkan adalah akumulasi total seluruh pidana yang diancamkan kepadanya yaitu : ancaman pidana penjara selama 16 tahun.

Dasar/Alasan Penghapus Pidana
Pengertian :
Hal-hal atau keadaan y\ang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan  tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU, namun tidak dihukum karena orangnya tidak dapat dipersalahkan dan perbuatannya tidak lagi melawan hukum.
Pembagian dasar penghapus pidana menurut doktrin :

Dasar Pembenar
Dalam hal ini, perbuatannya tidak dianggap melawan hukum, walaupun perbuatannya itu dilarang dan diancam hukuman oleh UU/KUHP. Jadi perbuatannya dibolehkan.
Yang termasuk ke dalam dasar pembenar antara lain terdapat pada :
Pasal 48 KUHP à Keadaan Darurat
Pasal 49 KUHP à Bela Paksa/Pembelaan Darurat
Pasal 50 KUHP à Melaksanakan perintah Undang-Undang
Pasal 51 KUHP à Perintah jabatan yang sah dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

Dasar Pemaaf
Dalam hal alasan pemaaf ini, perbuatan pelaku tetap dianggap melawan hukum, namun unsure kesalahannya dimaafkan. Yang termasuk ke dalam alasan pembenar antara lain :
Pasal 44 KUHP à Ketidakmampuan untuk bertanggung jawab karena sakit jiwa/ idiot/imbisil
Pasal 48 KUHP à Overmacht dalam arti sempit-relatif, dilakuka karena adanya ancaman atau paksaan dari pihak ketiga (biasanya orang) yang sudah tidak dapat dielakkan lagi.
Pasal 51 ayat (2) KUHP à Melakukan perintah jabatan yang tidak sah, namun yang disuruh dengan itikad baik menganggap bahwa perintah tersebut sah.

Dalam penjabaran mengenai kasus ini, memang tidak ditemukan latar belakang atau motif dilakukannya tindak pidana ini, sehingga saya juga tidak bisa pasti mengatakan apa yang dijadikan latar belakang pelaku melakukan tindak pidana ini. Namun, karena dalam ringkasan kasus yang ada motifnya tidak jelas maka tidak bisa diketahui secara pasti apakah ada dasar-dasar penghapus pidana atau tidak. 
Dilihat pada latar belakang terjadinya perkara ini, tidak dapat ditemukan alasan pembenar. Karena sepertinya, saat melakukan tindak pidana ini pelaku dalam keadaan sadar akan akibat yang akan ditimbulkan oleh perbuatannya. Tindak pidana ini tidak dilakukan dalam keadaan darurat, bukan dalam bentuk pembelaan darurat, tindak pidana ini tidak melaksanakan perintah Undang-Undang dan tidak dalam keadaan menjalankan perintah jabatan.


Dasar/Alasan Pemberat Pidana
Dasar pemberat pidana dibedakan dalam dua, yaitu :
Dasar Pemberat Pidana Dalam KUHP
Umum
Recidive : Pengulangan tindak pidana. Ancaman pidananya + (1/3-nya) diatur dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP.
Pada waktu melakukan tindak pidana melanggar perintah jabatan (abuse of power), Pasal 52 KUHP.

Khusus
Delik-delik yang diperberat, contohnya adalah delik-delik yang dikualifisir atau diper-berat. Contohnya adalah Pasal 52 a, Pasal 356, 349, 351 ayat (2), dll.

Dasar Pemberat Pidana diluar KUHP
Pemaksimalan pidana karena dianggap meresahkan masyarakat
Dilakukan dengan cara yang kejam
Memberi keterangan dengan berbelit-belit
Tidak menunjukkan sikap menyesal
Bukan pertama kali melakukan tindak pidana
Penjatuhan pidana yang cukup berat

Dilihat dari kasus ini, walaupun tindak pidananya bukan merupakan recidive atau tindakan jabatan, namun tetap saja ditemukan alasan pemberatnya yaitu karena melakukan gabungan tindak pidana (samenloop).
Dasar pemberatnya dapat dilihat pada sistem penjatuhan pidananya yaitu jumlah maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Walaupun pada kasus ini, jumlah pidana yang dijatuhkan yaitu maksimum pidana terberat ditambah sepertiga adalah untuk menggantikan akumulasi pidana yang jumlahnya jauh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.
Jadi, walaupun bukan merupakan recidive atau tindakan jabatan, gabungan tindak pidana yang dilakukan oleh si pelaku kasus ini tetap saja dianggap sebagai dasar pemberat pidana, karena sudah tertulis juga di dalam Pasal 65, pasal yang dijadikan acuan dalam menghitung penjatuhan pidananya.


Dasar Peringan Pidana
Sama halnya dengan dasar pemberat pidana, dasar-dasar peringan suatu pidana juga dibedakan menjadi dua, yaitu :
Umum
Tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak atau orang yang belum dewasa. Diatur dalam UU no.3 tahun 1997 tentang pengadilan anak sebagai pengganti pasal 45-47 KUHP. Jika tidak diatur secara menyimpang oleh Undang-Undang Pengadilan Anak, maka ketentuan-ketentuan umum lain yang ada di dalam KUHP dan KUHAP tetap dipergunakan.
Khusus
Delik yang diperingan (diprelifisir), contohnya ada pada Pasal 308 KUHP.

Dalam perkara ini, lagi-lagi tidak ditemukan dasar peringan di dalam perumusan tindak pidananya. Alasannya adalah karena tindak pidana ini tidak dilakukan oleh anak-anak dan juga bukan dilakukan oleh orang yang imbisil. Pelaku dari tindak pidana ini adalah seorang laki-laki dewasa yang kejiwaannya normal dan seharusnya secara keinsyafan kepastian mengetahui bahwa dengan melakukan tindak pidana ini dia akan dihukum. Sehingga dengan tidak adanya dasar peringan pidana dalam perumusan kasus ini, hubungan yang diterima terpidana adalah hukuman yang tertuang dalam pasal-pasal yang dilanggar oleh tindak pidana ini.
                                             

Gabungan Tindak Pidana (Samenloop)
Pengertian dari gabungan tindak pidana adalah satu orang melakukan perbarengan 2 atau lebih tindak pidana, yang dipertanggungjawabkan pada satu orang atau lebih atas dua atau lebih tindak pidana tersebut, belum mendapat putusan hakim diantaranya, dan akan diperiksa serta diputus sekaligus.
Jenis-jenis gabungan :
Gabungan berupa satu perbuatan (Pasal 63 KUHP)
Gabungan berupa satu perbuatan atau Concursus Idealis. Yaitu perbarengan tindakan tunggal/perbarengan ketentuan pidana.
Seseorang atau lebih melakukan suatu perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan pidana.
Concursus Idealis Homogenius à dengan satu perbuatan melanggar satu peraturan pidana yang sama beberapa kali.
Concursus Idealis Heterogenius à dengan satu perbuatan melanggar beberapa peraturan idana yang berbeda.
Untuk jenis gabungan tindak pidana ini stelsel pemidanaannya digunakan sistem Absorsi Murni, yaitu dijatuhkan satu jenis pidana saja yakni yang terberat.

Gabungan beberapa perbuatan (Pasal 35, 66, 70 KUHP)
Gabungan beberapa perbuatan atau Concursus Realis. Yaitu perbarengan tindak pidana jamak/perbarengan ketentuan-ketentuan pidana.
Seseorang/lebih melakukan tindakan-tindakan yang berdiri sendiri dan termasuk dalam 2/lebih ketentuan pidana.
Concurses Realis Homogenius à melakukan beberapa perbuatan dan dengan perbuatan-perbuatan tersebut melanggar suatu ketentuan pidana beberapa kali.
Concursus Realis Heterogenius à beberapa perbuatan melanggar beberapa per-aturan pidana yang berbeda.
Stelsel pemidanaannya :
Pasal 65 ayat (1) à kejahatan dengan ancaman pidana pokok sejenis; absorsi yang diperberat, seluruh pidana yang diancamkan secara kumulasi tetapi tidak boleh melebihi pidana terberat + 1/3-nya
Pasal 66 ayat (1) à Concursus Realis berupa kejahatan dengan ancaman pidana pokok yang tidak sejenis : kumulasi terbatas
Pasal 66 ayat 92) jo Pasal 30
Pasal 67 à Jika salah satu tindak podana dijatuhkan hukuman mati atau penjara seumur hidup maka tidak boleh dihatuhkan pidana lainnya kecuali pencabutan hak-hak tertentu.

Perbuatan berlanjut (Pasal 64)
Perbuatan berlanjut atau Voorgezette Handeling.
Suatu tindak pidana yang terdiri dari beberapa perbuatan di mana perbuatan tersebut terdapat hubungan sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut.
Stelsel pemidanaanya menggunakan sistem Absorsi Murni.
Pemidanaan bagi tindak pidana ini lebih lanjutnya diatur dalam Pasal 64 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) KUHP.

Menurut analisa saya, kasus ini dapat dikategorikan ke dalam gabungan tindak pidana (samenloop) yaitu jenis Concursus Realis Heterogenius.
Dikategorikan kedalam jenis itu karena pada kasus ini perbuatannya terdiri dari 2 tindak pidana yaitu tindak pidana pemalsuan surat dan tindak pidana pencucian uang, dan 2 tindak pidana itu dilakukan secara bersamaan yang melanggar ketentuan pada Pasal 263 ayat (1) mengenai pemalsuan surat, dan juga melanggar ketentuan di Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu Pasal 3 ayat (1) huruf a dan Pasal 6 ayat (1) huruf c.


Penyertaan Tindak Pidana
Penyertaan adalah terlibatnya lebih dari satu prang dalam satu atau lebih tindak pidana, sebelum atau saat tindak pidana terjadi.
Golongan peserta dalam tindak pidana :
Pembuat/dader dipidana sebagai pelaku :
Yang melakukan
Yang menyuruh melakukan
Yang turut serta
Yang menganjurkan
Pembantu :
Pembantu pada saat kejahatan dilakukan
Pembantu sebelum kejahatan dilakukan

Dalam kasus ini, tindak pidana yang dilakukan dapat digolongkan ke dalam jenis Membantu Melakukan.

Membantu Melakukan
Mengenai membantu melakukan diatur lebih lanjut dalam Pasal 56-57 KUHP
Dilakukan dengan sengaja : tidak ada niat untuk melakukan tindak pidana, tidak ada kepentingan lebih lanjut, hanya sekedar membantu saja.
Dibagi atas : membantu sebelum tindak pidana dilakukan dan pada saat tindak pidana dilakukan
Sarana : kesempatan, daya upaya, keterangan.
Yang dipidana hanya jika membantu kejahatan, bukan pelanggaran (Pasal 56 dan 60).
Ancaman pidananya : pidana bagi pelaku kejahatan dikurangi sepertiganya.

Pada kasus ini, dikatakan masuk ke dalam jenis penyertaan Membantu Melakukan, karena si pelaku tidak melakukan tindak pidana ini sendiri. Pelaku menyuruh temannya untuk melakukan tindak pidana yang dapat mempermudah tindakan utamanya, yaitu si pelaku menyuruh kedua temannya untuk mencairkan dana yang kemudian dengan surat perintah aplikasi trasfer yang dibuat si pelaku, uang yang sudah dicairkan tersebut masuk ke dalam rekening fiktif buatan si pelaku.
Sebetulnya, perumusan tindak pidana yang dilakukan oleh kedua orang rekan pelaku ini agak sedikit membingungkan karena bisa dikategorikan ke dalam Menyuruh Melakukan dan Membantu Melakukan. Namun, ada beberapa alasan yang membuat dalam analisa saya ini tindakan dua rekan pelaku dikategorikan sebagai jenis penyertaan Membantu Melakukan, untuk lebih spesifiknya adalah membantu sebelum tindak pidana dilakukan.
Walaupun pada dasarnya kedua rekan pelaku itu tidak memiliki kesalahan sama sekali (AVAS), karena mereka tidak mengetahui kalao uang yang mereka akan cairkan di bank akan dicuci dan ditransfer ke dalam rekening fiktif perusahaan buatan pelaku, tetap saja dikatakan kalau mereka sengaja membantu melakukan tindak pidana.
Mereka memang tidak mengetahui maksud awal si pelaku, dan mungkin mereka memang tidak berniat sama sekali untuk membantu terlaksananya tindak pidana pencucian uang itu, namun seharusnya saat mereka disuruh oleh pelaku untuk mencairkan uang itu, dengan itikad baik mereka bertanya kepada si pelaku, mengapa uang yang dicairkan harus begitu banyak? Mengapa uang itu ditransfer ke dua rekening yang berbeda? Dan yang lebih penting lagi adalah untuk apa uang tersebut dicairkan?
Karena kedua rekannya tidak melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan jadi mereka berdua dapat dianggap sebagai membantu melakukan kejahatan, dan membantu melakukan kejahatan dapat dipidana.

Ancaman pidana bagi yang membantu melakukan adalah pidana bagi pelaku kejahatan dikurangi sepertiga.
Pidana bagi pelaku kejahatan = 16 tahun à 192 bulan
Sepertiganya ( 16 tahun : 3 ) = 64 bulan
Penghitungannya à 192 bulan 64 bulan = 128 bulan à 10 tahun 8 bulan
Jadi, pidana yang dikenakan kepada kedua rekan pelaku adalah pidana penjara selama 10 tahun 8 bulan.


Daluarsa
Di dalam KUHP, masalah daluarsa ini erat kaitannya dengan masalah hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana.
Untuk masalah hapusnya kewenangan menuntut lebih lanjutnya diatur dalam :
Pasal 78 KUHP
Pasal 79 KUHP
Untuk masalah daluarsa dalam menjalankan pidana secara lebih lanjut diatur dalam :
Pasal 84 KUHP
Pasal 85 KUHP

Apabila ajaran mengenai daluarsa diterapkan dalam kasus ini maka analisa saya adalah sebagai berikut :
Mengenai kewenangan menuntut
Tindakan pidana utama, yaitu pencucian uang, dilakukan pada tanggal 15 November 2006.
Mengenai kewenangan menuntut pada Pasal 78 KUHP disebutkan bahwa :
Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan.

Dan mengacu pada isi Pasal 79 KUHP, maka tenggang daluwarsa dalam kaitannya dengan kewenangan menuntut pada kasus ini mulai berlaku sejak tanggal 16 November 2006, yaitu sehari setelah tindakan pencucian uang tesebut dilakukan.
Dan mengenai lamanya tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut pada kasus ini, diatur pada Pasal 78 ayat (1) butir ke-3 KUHP yang berbunyi :
Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa :
………………………………………………………
………………………………………………………
Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana dengan penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun.
……………………………………………………….”

Melihat pada isi pasal 78 ayat (1) butir ke-3 KUHP, berarti kewenangan menuntut dalam kasus ini akan hapus apabila sudah lewat dari tanggal 16 November 2018, yaitu dua belas (12) tahun sehari sesudah tindak pidana pencucian itu dilakukan.

Menjalankan pidana
Mengenai masalah daluwarsa dan hubungannya dengan menjalankan pidana secara lebih lanjut diatur dalam Pasal 84 dan 85 KUHP.
Dalam kasus ini, sudah ada putusan hakimnya namun tidak dijelaskan kapan putusan hakim itu secara resmi dijatuhkan, jadi mari menggunakan pengandaian.
Mari mengibaratkan kalau putusan hakim dijatuhkan pada tanggal 4 Juni 2007, dengan begitu akan dengan mudah menghitung tenggang waktu daluwarsa dalam hubungannya dengan menjalankan pidana.
Tenggang waktu daluwarsa dalam menjalankan pidana diatur dalam Pasal 85 ayat (1) KUHP yang berbunyi :
Tenggang waktu daluwarsa mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan.”

Mengacu pada bunyi Pasal 85 ayat (1) KUHP maka pada kasus ini, karena putusan hakim dijatuhkan pada tanggal 4 Juni 1007, berarti masa daluwarsa dengan kaitannya dengan menjalankan pidana adalah dimulai dari tanggal 5 Juni 2007.
Kemudian mengenai kewenangan menjalankan pidana lebih lanjut lagi diatur dalam Pasal 84 ayat (1) ,(2), dan ayat (3) KUHP yang berbunyi :
Ayat (1) :
Kewenangan menjalankan pidana hapus karena daluwarsa.”
Ayat (2) ;
Tenggang daluwarsa mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun, mengenai kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya lima tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan lainnya lamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana, ditambah sepertiga.”
Ayat (3) :
Bagaimanapun juga, tenggang daluwarsa tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan.”

Mengacu pada isi Pasal 84 ayat (1), (2), dan ayat (3) maka tenggang daluwarsa dalam kaitannya dengan kewenangan menjalankan pidana pada kasus ini adalah sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana ditambah dengan sepertiga.
Jadi penghitungannya adalah :
Tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana = 12 tahun
Sepertiganya ( 12 tahun : 3 ) = 4 tahun
à Tenggang daluwarsa dalam kaitannya dengan kewenangan menjalankan pidana adalah 12 tahun + 4 tahun = 16 tahun.

Dalam Pasal 84 ayat (3) KUHP disebutkan  bahwa tenggang daluwarsa tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan. Pada kasus ini, karena masa hukuman baik bagi si pelaku kejahatan dan si pelaku yang membantu melakukan kejahatan tidak ada yang melebihi tenggang daluwarsa dalam menjalankan pidana, maka tenggang daluwarsa dalam kaitannya dengan kewenangan menjalankan pidana tetap bisa diterapkan dalam kasus ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar