cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

negara dalam perspektif hukum islam 2

Konsep Kekuasaan dan Kedaulatan Dalam Perspektif Islam

Politik, realitanya pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat. Sehingga definisi dasar menurut realita dasar ini adalah netral. Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum mengatur sistem politik mereka. Dari sinilah muncul pengertian politik yang mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi “netral”.
Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat. Rasulullah saw bersabda:
Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah Nabi Muhammad SAW. hal ini juga ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghazali:
Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht  yang artinya politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan.
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, taatilah rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya. “(QS. An-Nisa : 58-59)
Kedua ayat di tersebut dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan dalam pengertian tanggung jawab terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah SWT.[1] Hal ini menandakan bahwa semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Allah SWT melalui konstitusi yang ada di dalam Al-qur’an, ini menandakan adanya syumuliatul Islam.
Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk.[2]
Kalau kita meneliti lebih jauh tentang kekuasaan  dalam Surat An-Nisa 58-59, dalam latar belakang historisnya turunnya ayat ini bisa dilihat dalam Asbabun Nuzulnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dari al-Kalbi dari Abi shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah fathu makkah (pembebasan mekkah) Rasulullah saw memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman dating menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Abbas dan berkata:
 “Ya Rasulallah demi Allah , serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan). Utsman menarik kembali tangannya.
Maka bersabda Rasulullah:
 “Berikanlah kunci itu kepadaku wahai utsman!”
Utsman berkata :
 “inilah dia, amanat dari Allah”.
Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di baitullah. Turunlah jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada utsman. Rasulullah melaksankan perintah itu sambil membaca ayat tersebut di atas Qs An-Nisa :58.[3]
Diriwayatkan oleh bukhari dan lainnya yang bersumber dari ibnu Abbas dengan riwayat ringkas. Menurut imam ad-Dawudi riwayat tersebut menyalahgunakan nama Ibnu Abbas, karena cerita mengenai Abdullah bin hudzafah itu sebagai berikut: Di saat Abdullah marah-marah pada pasukannya ia menyalakan unggun api, dan memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke dalam api. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa Abdullah mengapa ayat ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah saja, sedang pada waktu lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini sesudahnya, maka berdasarkan hadist yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah di dalam ma’ruf (kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa ia tidak taat.[4]
Dari kajian tekstual di atas , menggambarkan bahwa kekuasaan yang paling hakiki adalah milik Allah SWT. Allah adalah pemilik segala sesuatu, sesuai yang difirmankan di dalam Surat Al-Maidah : 18
Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya” (Qs Al-Ma-idah:18).
Adapun di dunia, maka di samping Dia melimpahkan sebagian kekusaan-Nya kepada makhluk, Dalam konteks kekuasaan politik, al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad Saw. Untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut:
Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran : 26)
Seperti tersurat di dalam ayat di atas, Allah SWT menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di antara mereka ada yang berhasil melaksankan tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan  dan ada pula yang gagal.
Dalam konsepsi Islam, manusia memikul amanah (amanah ibadah dan amanah risalah). Amanah ini boleh jadi sebagai konsekuensi dari deklarasi universal yang pernah dinyatakan manusia di hadapan Allah dan sekaligus menjadi tantangan terhadap sifat manusia yang etis yang harus dibuktikan melalui keberhasilannya di dalam menunaikan amanah yang telah disanggupinya itu.
Amanah risalah berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai khalifatullah fi Al-Ardh. Kedudukan itu mencakup aktivitas manusia dalam memakmurkan dan memelihara bumi, menata kehidupan dan menyejahterakan umat manusia. Aktivitas ini jelas-jelas merupkan suatu tindakan dan fungsi siyasah manusia yang otentik.
Oleh sebab itu, amanah risalah dalam pengertiannya yang luas menegaskan bahwa manusia adalah makhluk siyasah yang bertanggungjawab atas terpeliharanya keteraturan hidup di tengah-tengah masyarakat manusia dan lingkungan hidupnya, sedangkan siyasah memakmurkan bumi dalam islam memiliki tujuan antara dan sekaligus menjadi cara, jalan dan sarana untuk meraih tujuan yang lebih mulia dan lebih abadi, yaitu keselamatan kehidupan yang lebih bermakna dan kekal, kehidupan akherat.[5]
Kekuasaan yang berorientasi pemerintahan (kekuasaan Politik) yang mempunyai mekanisme politik tertuang di dalam Al-Qur’an  (Shaad:26) :
”Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan”.
Kekuasaan politik (pemerintahan) juga tertuang di dalam surat Al-Baqarah ayat 21 :
” Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”
Menurut Pendapat Ahl as-Sunnah sesungguhnya kepemimpinan dan kekuasaan adalah takdir yang ditentukan Allah SWT kepada siapa saja yang dikehendakinya serta berada di bawah kekuasaan-Nya dan bukan bagi siapa yang berkehendak atau berusaha untuk memilikinya. Kekuasaan dan kepemimpinan adalah takdir yang diberikan Allah SWT kepada yang dikehendakinya melalui faktor atau asbab-asbab ghaibiyah yaitu iman dan amal shaleh. disebut sebagai takdir yang ditetapkan Allah SWT maksudnya bahwa perkara kekuasaan dan kepemimpinan ini sudah ditetapkan Allah SWT sebelum Ia menciptakan kekuasaan-kekuasaan dan pemegang kekuasaan itu. Allah SWT, sudah menetatapkan kepada siapa kekuasaan atau kekhalifahan itu akan diberikan-Nya. sebagai contoh Allah SWT telah memberikan kekuasaan dan pemerintahan kepada Nabi Daud as, Nabi sulaiman as, Nabi Yusuf as, Namrud. Begitu juga Allah SWT telah menetapkan Firaun menjadi penguasa Mesir dan mempunyai kekuasaan yang besar. Untuk memperkuat pendapat ini Ulama-ulama Ahl-al-sunnah memberikan dalil dari Al-qur'an;
قل اللهم ملك الملك تؤتى الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء وتعزمن تشاء وتذل من تشاء بيدك الخير إنك على كل شيئ قدير (سورة آل عمران : 26 ) 
Katakanlah: Wahai tuhan yang mempunyai kerajaan, engkau memberikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang engkau kehendaki dan engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki, di tangan engkaulah segala kebajikan, sesunggunya engkaulah maha kuasa atas segala sesuatu,” (QS. Ali Imran:26)
 Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: Allah SWT berfirman kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, “katakanlah Wahai Muhammad dengan mengagungkan Tuhanmu dan bersyukur padaNya serta bersandar dan bertakwakal padaNya”, “Engkau“wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan” (semua kerajaan dan kekuasaan adalah milik Engkau), memberikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki”. (Engkau yang memberi dan Engkau pula yang menahan, Engkau berkehendak maka terjadi dan apabila tidak engkau kehendaki maka tidak akan terjadi).[6]
 Imam Thabary menafsirkan ayat:
 تؤتى الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء
 Engkau memberikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki”. 
Ayat ini menegaskan bahwa kekuasaan atau pemerintahan berada di Tangan Allah SWT dan bukan kepada selainNya. 
إنك على كل شيئ قدير 
"Sesunggunya engkaulah maha kuasa atas segala sesuatu”.
Maksudnya Tidak ada yang mampu mengubah takdir ini melainkan Engkau dan engkaulah penentu segalanya).[7] Dengan mengetengahkan penafsiran dari dua ulama tafsir terkemuka di atas dapat dipahami bahwa kekuasaan dan pemerintahan menurut konsep Ahl al-sunnah adalah bagi orang yang ditakdirkan Allah SWT untuk berkuasa dan memimpin.
Konsep Mu'tazilah dan khawarij tentang kekuasaan dan kepemimpinan Mu’tazilah dan khawarij berpendapat bahwa kekuasaan bukanlah pemberian atau ketentuan (takdir) dari Allah SWT bagi orang yang dikehendakinya, bukan juga atas pilihan dan ketentuan Allah SWT. mereka berpendapat bahwa kekuasaan adalah perkara yang diusahakan (كسبي) bagi orang yang berkehendak untuk menjadi penguasa atau mencari kekuasaan, tetapi mereka berpendapat bahwa kekuasaan yang diberikan atau ditakdirkan Allah SWT kepada yang dikehendakiNya sebagai mana dalam surah Ali Imran ayat 26 adalah penguasa yang adil, bukan penguasa yang zhalim, karena tidak boleh bagi Allah SWT untuk memberikan atau menjadikan penguasa yang zhalim, karena Allah SWT sendiri mengatakan dalam firmanNya:
 JanjiKu ini tidak mengenai orang-orang yang lalim” (Al-Baqarah 124).
Juba'iy berkata, “Kekuasaan yang diberikan Allah SWT kepada orang yang dikehendakiNya adalah khusus bagi penguasa/pemimpin yang adil dan bukan orang yang zhalim. tidak boleh bagi Allah memberi kekuasaan atau membuat pemimpin yang lalim, Bagaimana tidak, sedang Allah sendiri mengatakan perkara kekuasaan tidak untuk diberikan kepada orang yang zhalim”.
Pendapat ini lemah. para ulama Ahl al-sunnah membantah pendapat ini dengan argumen-argumen yang lebih bisa diterima. Jika kekuasaan yang adil adalah pemberian Allah SWT sedangkan kekuasaan yang zhalim bukan pemberian atau ketentuan dari Allah SWT, maka pendapat ini telah menafikan sifat Allah SWT yaitu Allah Maha Berkehendak, Maha Berkuasa. Berarti Allah SWT tidak ikut campur dalam perkara pemerintahan atau penguasa zhalim, Allah SWT tidak ikut campur dalam berdirinya kedaulatan suatu negara, munculnya suatu negara dan hancurnya di luar perbuatan Allah SWT, di luar urusanNya dan bukan takdir dari Nya. Jika demikian maka tidak bisa diterima dari sisi aqidah, pendapat Mu'tazilah di atas juga telah dibantah oleh Imam Ar-razy;
 Mereka Mu'tazilah telah menafikan sifat Allah SWT (الصانع), dan telah berbohong/mengingkari dengan apa yang ditetapkan Allah SWT bahwa Dia memberikan kekuasaan kepada orang yang dikehendakiNya dan bahwa kekuasaan itu berada di TanganNya”.
Allah SWT telah menetapakan Namrud berkuasa sedangkan Ia adalah penguasa yang paling kafir dan lalim pada zamannya. musuh nabi Ibrahim as, dalam firmaNya
( ألم ترى إلى الذي حاج إبراهيم فى ربه أن آتاه الله الملك" (سورة البقرة آية: 258 
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang TuhaNya (Allah) Karena Allah telah memberikan kepada orang itu (Namrud) Pemerintahan
Jelas dari ayat ini dapat dipahami bahwa kekuasaan atau pemerintahan Namrud adalah pemberian dan takdir dari Allah SWT, walaupun Ia adalah penguasa yang lalim dan sombong.
Imam Al-Baidhawy berkata: 
Ayat ini sebagai hujah atas pendapat bahwa pemerintahan yang lalim atau penguasa kafir bukan pemberian atau takdir yang ditetapkan Allah SWT”.[8]
Begitu juga Allah SWT berkehendak kepada Firaun untuk menjadi penguasa, Jalut dan selain keduanya menjadi penguasa lalim dan ini jauh dari usaha keduanya untuk menjadi penguasa kerajaan, akan tetapi takdir Allah SWT yang menetapkan mereka berkuasa.
imam Al-qurthuby menulis dalam tafsirnya, menerangkan dan menguatkan pendapat manhaj Ahl-al-sunnah tentang konsep kekuasaan adalah pemberian/ketetapan Allah SWT dengan menafsirkan ayat: 
أنى يكون له الملك علينا ونحن أحق بالملك منه (سورة البقرة آية : 247)
Mereka menjawab “Bagaimana Thalut memmerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya
Nabi mereka berhujah dan menjawab:
  إن الله اصطفاه" 
Sesungguhnya allah SWT yang memilihnya”.[9]
 Sebelum menutup pembahasan dalam bab ini penulis nukilkan perkataan Ibnu Hajr al-Asqalany yang menguatkan mazhab Ahl al-Sunnah dan membantah pendapat kaum Mu'tazilah:
Sesungguhnya kekuasaan adalah milik Allah dan pemberian Allah SWT, baik yag meminta kekuasaan maupun yang tidak meminta. yang berhak maupun yang tidak berhak, yang kafir atau lalim maupun yang adil. semuanya adalah pemberian Allah SWT.Sebagai contoh seperti Namrud, Firaun, Penguasa kafir dan lalim. Penguasa dari para Nabi-nabi, seperti Nabi Yusuf as, Daud as, sulaiman as, mereka adalah penguasa yang adil dan bijaksana”.
Semua nabi-nabi yang diutus pertama kali yang diusahakan adalah memperbaiki iman dan keyakinan umat, kemudian ibadah, mua'malah dan mu'asyarah setelah itu yang terakhir adalah politik kekuasaan yang berfungsi sebagai proteksi agama dan mengokohkan keberadaan nabi dan kaumnya dari bahaya musuh yang mengancam. berbeda dengan keadaan umat hari ini, ketika mereka melihat kezhaliman dan ketimpangan dalam pemerintahan dengan tergesa-gesa ingin mengangambil dan mengubah pemerintahan tersebut tanpa mengikuti tertib yang telah ditentukan Allah SWT dan yang telah ditempuh dan dirintis oleh para utusan-Nya, akhirnya menimbulkan fitnah besar dalam umat islam, sehingga kaum muslimin diteror dan diskriminasikan dengan alasan Teroris yang mengganggu perdamaian dunia.
Kita tengok kembali sirah an-nubuwah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau tidak memulai merubah umatnya khususnya bangsa Arab melalui kekuasaan dan politik, dalam perjalanan dakwahnya Ia pernah ditawari untuk menjadi raja Arab tetapi Beliau tolak tawaran itu, padahal secara akal jika Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam menjadi penguasa atau raja dan memiliki kekuasaan Ia akan mudah menyebarkan pengaruhhya dan ajaran yang dibawanya. Beliau lebih memilih menggunakan metode yang digunakan oleh saudara-saudaranya para anbiya' sebelumnya dan sudah teruji keunggulannya dan kesuksesan yang dicapai dengan metode tersebut, yaitu metode nubuwah yang langsung mendapat rekomendasi dari sang pencipta. Maka Muhammad shalallahu 'alaihi wasalam memulai usaha untuk mengubah umat dengan menyempurnakan iman dan keyakinan umat selama tiga belas tahun di Kota Makkah dan ketika iman sudah sempurna, Allah SWT memberikan hadiah besar yaitu negara islam dan kekuasaan yang berwibawa di Madinah al Munawwarah.
Demokrasi dibangun atas dasar prinsip yang menegaskan bahwasanya hak dalam membentuk undang-undang dan arah pembangunan berada di tangan rakyat. Dalam sistem kenegaraan, ide dasar tersebut secara praktis tersimpul dalam lembaga yang disebut lembaga legislatif, yaitu lembaga yang menentukan hukum-hukum dasar, serta haluan suatu negara. Apapun yang menjadi produk lembaga ini, berarti hukum yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Dengan kata lain, rakyatlah –yang diwakili oleh lembaga legislatif– yang berdaulat (menentukan hukum apa yang akan diterapkan dalam masyarakat).
Kedaulatan atau As-Siyadah adalah istilah yang berasal dari Barat dan memiliki pemahaman/pengertian tertentu yang bertumpu pada aqidah sekularisme. Maksud kata ‘kedaulatan’ tersebut adalah menangani dan menjalankan suatu kehendak atau aspirasi tertentu.[10]
Apabila terdapat seseorang yang menangani dan mengendalikan aspirasinya, maka ia pada dasarnya memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri. Jika aspirasi orang tadi dikendalikan dan diatur oleh orang lain, berarti ia telah menjadi hamba (‘abdun) bagi orang lain. Sebuah negeri yang terjajah, akhirnya menjadi hamba-hamba yang aspirasinya, sudah diatur oleh sang penjajah. Dengan kata lain, kedaulatannya sudah berada dalam genggaman sang penjajah.
Sistem demokrasi berarti kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, rakyatlah yang menangani dan mengendalikan aspirasinya. Rakyat berhak untuk mengangkat siapa saja yang dikehendakinya seraya memberikan hak penanganan dan pengendalian aspirasinya kepada orang terpilih tersebut.
Islam telah menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan syara, bukan di tangan rakyat. Sebagaimana firman Allah SWT:
Menetapkan hukum/peraturan itu hanyalah merupakan hak Allah.” (QS Al An’am:57)
Begitu pula firmannya:
Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah” (QS Al A’raaf:54)
Yang dimaksud dengan Al Amru (perintah) dalam ayat ini meliputi perintah Allah SWT untuk mengatur alam semesta dan perintah Allah SWT dalam menetapkan hukum bagi kehidupan manusia. Berarti hanya Allah sajalah yang bertindah selaku Musyarri’ (Yang menetapkan hukum). Dialah satu-satunya Dzat yang berhak memerintah. Tidak ada lagi seorangpun di kalangan makhluq-Nya yang layak menya- mai-Nya dalam penciptaan, sebagaimana halnya juga tidak ada yang layak menyamainya dalam memerintah, atau dalam menetapkan hukum.
Allah SWT telah mencela orang-orang yang mengaku dirinya beriman, padahal mereka berhukum kepada ‘thaghut’, yaitu hukum selain hukum Allah SWT. Firman Allah SWT:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Dan jika dikatakan kepada mereka ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang diturunkan Allah dan kepada hukum Rasul.’ Niscaya kamu melihat orang-orang munafiq akan menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari mendekati kamu.” (QS An Nisaa’:60)
Berdasarkan ayat ini, tidak dibenarkan berhukum kepada thaghut, yaitu setiap hukum yang bukan berdasarkan hukum Allah SWT.
Bagi seorang muslim, tidak ada pilihan lain kecuali mentaati dan tunduk pada apa yang di-berikan Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebagaimana friman-Nya :
(Dan) tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan, akan ada lagi bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS al Ahzab:36)

Tidak cukup dengan itu saja, malah setiap kecenderungan seorang muslim hendaknya tunduk pada Islam, tunduk pada hukum syara’.
Sabda Rasulullah SAW:
Tidak beriman seseorang diantara kalian, sehingga hawa nafsunya (keinginannya) disesuaikan dengan apa yang telah aku datangkan (yaitu hukum syari’at Islam).”[11]
Setiap sistem ataupun peraturan buatan manusia, yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW adalah sistem thaghut, yang harus disingkirkan.Selain itu, upaya tadi harus dilanjutkan dengan menempatkan Islam sebagai penggantinya. Seorang muslim tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang akan mengokohkan sistem-sistem thaghut itu. Sebab perbuatan itu –jika dilakukan– berarti telah menjauhkan Islam sebagai hukum Allah SWT yang haq dari penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mungkin hukum dan peraturan produk manusia akan menyamai apa lagi mengungguli, atau bahkan lebih benar dari pada hukum Allah SWT:
Maka, apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah, bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah:50)
Oleh karena itu, yang berkuasa di tengah-tengah ummat maupun individu serta yang menangani dan yang mengendalikan aspirasi ummat dan individu itu adalah apa yang berasal dari Allah SWT dan yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Ummat dan individu harus tunduk kepada syara’. Maka di dalam Islam Kedaulatan itu adalah milik syara’ (hukum Islam).[12]
Seorang kepala negara (khalifah) di dalam Islam dibai’at (diangkat setelah dipilih) oleh ummat bukan sebagai Aajir (pekerja/eksekutif) yang mendapatkan gaji untuk melak- sanakan apa yang telah dikehendaki oleh ummat, yakni hukum-hukum dasar yang disusun oleh rakyat, sebagai haluan bagi kepala negara melak- sanakan aspirasi mereka, sebagaimana yang terjadi dalam sistem demokrasi Barat. Islam mengajarkan kepada kita bahwa kepala negara (khalifah) itu dibai’at oleh ummat berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya agar ia melaksanakan secara sempurna semaksimal mungkin Kitabullah dan Sunnah Rasul, yaitu melaksanakan hukum syara’. Jadi bukan melaksanakan apa yang dikehendaki oleh rakyat (manusia).
Walhasil, baik rakyat ataupun penguasa (khalifah) tunduk pada hukum syara’. Inilah makna dari pernyataan ‘kedaulatan adalah milik Syara’. Rakyat tidak boleh mengikuti pendapat-pendapat atau hukum yang bertentangan dengan hukum syara’, apalagi jika ia diperintah dalam perkara maksiyat. Begitu pula sebaliknya penguasa tidak akan menerima pendapat rak-yat dan melaksanakan aspirasinya apabila pendapat mereka itu menyimpang dari ajaran dan hukum Islam. Seandainya ummat sepakat untuk menghalalkan perjudian atau perzinaan, padahal perbuatan-perbuatan jenis itu telah diharamkan oleh Allah SWT dengan tegas, maka kesepakatan mereka tidak akan bernilai sedikitpun di sisi Allah.
Seorang muslim adalah hamba Allah SWT. Ia wajib menyesuaikan setiap bentuk perbuatannya agar menetapi perintah dan larangan Allah SWT. Begitu pula ummat ini tidak diperkenankan memiliki dan mengikuti kehendaknya sesuai dengan hawa nafsu atau hanya berdasarkan nilai ‘manfaat dan maslahat’ semata. Sebab kedaulatan bukan berada di tangan ummat. Yang menjalankan dan mengarahkan kehendah ummat hanyalah syara’.
Berangkat dari prinsip bahwa politik berpusat pada kaidah-kaidah dan ajaran Islam, Umar membuat suatu sistem untuk negeri-negeri Arab dan untuk seluruh kedaulatan negeri Islam itu, yang pada zamannya sangat dipatuhi dan berjalan sekian lama sesudahnya. Dengan sistem itulah membuat kedaulatan Islam tetap terpelihara dan bertahan.
Umar berijtihad  dalam membuat sistem itu, suatu ijtihad yang mengukir kecemerlangan dalam sejarah, yang keagungannya dalam menciptakan sebuah kedaulatan sangat berarti. Model perpolitikan yang diterapkan Umar terhadap kedaulatan yang baru itu menjadi penggerak kemajuan dakwah Islam yang bertahan lama sepeninggalanya. Dalam periode Umar ini dikenal pembangunan Islam dengan perubahan-perubahan. Bahkan peta Islam melebar ke seluruh wilayah Persia dan menyentuh sebagian India dan sentral Asia serta wilayah kekuasaan Bizantium, Syam, dan Mesir, yang saat itu sempat menjadi ancaman bagi negara Islam.












Daftar Pustaka
Mujib, Abdul.2000. Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis. Jakarta: Darul Falah
Rais, M. Dhiauddin.2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press
Ridha, Abu.2004. Amal Siyasi : Gerakan Politik dalam Dakwah. Bandung: PT Syaamil Cipta Media
Ridha, Abu.2004. Manusia dan Kekhalifahan. Bandung: PT Syaamil Cipta Media
Salim, Abdul Mu’in. 2002. Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Shaleh, Qamaruddin , dkk.1982.  Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Bandung: CV Diponegoro
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung


[1] Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an), (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2002), hal 175
[2] Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung
[3] K.H. Qamaruddin Shaleh,dkk. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an,(Bandung: CV Diponegoro, 1982), hal 138
[4] Ibid, hal 139
[5] Abu Ridha, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004), hal 59
[6] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, Hal, 356 
[7] Atthabari, Jilid 3. Hal, 223
[8] Al-Baidhawy. dalam tafsirnya Jilid 1. Hal, 559
[9] Al-Qurthuby. Tafsir Qurthuby. jilid 2. Hal, 1054
[10] Qowaaid Nidhomul Hukmi fil Islam, kar. Dr. Mahmud Abdul Majid al Khalidi, hal 46
[11] Fathul Baari, jld XIII, hal.289
[12] Nizhamul Hukmi fil Islam, kar. Taqiyuddin an Nabhani, hal 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar