cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

hukum perorangan dan kekeluargaan islam 3

Putusnya Hubungan Perkawinan

1. Perkawinan

Perkawinan ditujukan untuk seumur hidup dan kebahagiaan bagi pasangan suami istri yang bersangkutan. Keluarga yang kekal dan bahagia, itulah yang dituju. Banyak perintah-perintah Tuhan dan rasul yang bermaksud untuk ketentraman keluarga seumur hidup tersebut.

Perceraian adalah haram hukumnya. Banyak larangan tuhan dan rasul mengenai perceraian suami dan istri tersebut. Ada pula larangan tuhan itu dalam bentuk sindiran dan dalam kesimpulan-kesimpulan dalam ayat tersebut.

Pada Q.S. An-nisa ayat 19 di sebutkan bahwa kita harus tetap mencintai pasangan kita walaupun kita tidak senang dengan perilaku pasangan kita. Seorang suami hendaknya tetap mencintai istrinya walaupun ada perasaan tidak senang dari istrinya tersebut. Adapun prosedur syiqaq atau pertengkaran yang dialami dalam hubungan suami istri juga tidak dapat langsung menceraikan pasangannya. Diatur dalam Q.S. An-nisa ayat 35 yang menyebutkan bahwa jika terjadi pertengkaran tersebut dalam hubungan sepasang suami istri, maka hendaknya masing-masing suami dan istrinya tersebut menunjuk seorang hakam untuk mewakilinya agar dapat menyelesaikan masalah mereka dengan baik.

Untuk masalah kedua hakam ini, jika kedua hakam menghendaki tidak terjadi cerai, maka pasangan tersebut tidak bisa cerai. Dan begitu pula jika salah satu hakam menghendaki tidak cerainya suami istri tersebut maka, kedua pasangan tersebut diwajibkan untuk melanjutkan hubungan tersebut. Sepasang suami istri diperbolehkan cerai apabila kedua hakam menyetujui untuk mereka bercerai.

Begitu pula dari pihak istri yang tidak dapat begitu saja meminta cerai terhadap suaminya dikarenakan tidak senang, karena hal itu diharamkan. Di sini jelas dikatakan bahwa haram hukumnya jika seorang wanita pada asasnya terlarang minta cerai dari suaminya kalu tidak ada alasan-alasan yang sungguh-sungguh dapat dibenarkan.

2. Arti Perceraian


Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talaq” atau “furqah”. talaq berarti membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang berarti perceraian antara suami-isteri.

Perkataan talaq dalam istilah ahli Figh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan arti yang khusus. talaq dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. talaq dalam arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.

Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang disebabkan karena talaq maka untuk selanjutnya istilah talaq yang dimaksud di sini ialah talaq dalam arti yang khusus.

Meskipun Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas – asas Hukum Islam.


3. Sebab-sebab Putusnya Hubungan Perkawinan


Yang menjadi sebab putusnya perkawinan ialah:

1. talaq ta'liq

2.  Syiqaq

3. Ila’

4. Zhihar

5. Fahisyah

6. Khulu’

7. Fasakh

8. Li’an

9. Murtad


3.1. Talaq


3.1.1. Hak Talaq

Talaq adalah suatu bentuk perceraian yang umum terjadi di Indonesia. Tata cara kurang dikenal walaupun sebenarnya ada cara-cara lain tersebut. Sehingga kata talaq telah dianggap sebagai penyebab perceraian terbesar di Indonesia.

Hukum Islam menentukan bahwa hak talaq adalah pada suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talaq diberikan kepada isteri. Di samping alasan ini, ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak talaq pada suami, antara lain:

a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri waktu dilaksanakan akad nikah.

b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan dianjurkan membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada isterinya) setelah suami mentalaq isterinya.

c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia mentalaqnya.

d. Perintah-perintah mentalaq dalam Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan pada suami.


3.1.2. Syarat-syarat menjatuhkan talaq


Seperti kita ketahui bahwa talaq pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan/dibenarkan, maka untuk sahnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu ada pada suami, isteri, dan sighat talaq.


a. Syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talaq ialah:

· Berakal sehat

· Telah baliqh

· Tidak karena paksaan

Para ahli Fiqh sepakat bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talaq ialah telah dewasa/baliqh dan atas kehendak sendiri bukan karena terpaksa atau ada paksaan dari pihak ketiga. Dalam menjatuhkan talaq suami tersebut harus dalam keadaan berakal sehat, apabila akalnya sedang terganggu. Misalnya: orang yang sedang mabuk atau orang yang sedang marah tidak boleh menjatuhkan talaq. Mengenai talaq orang yang sedang mabuk kebanyakan para ahli Fiqh berpendapat bahwa talaqnya tidak sah, karena orang yang sedang mabuk itu dalam bertindak adalah di luar kesadaran. Sedangkan orang yang marah kalau menjatuhkan talaq hukumnya dalah tidak sah. Yang dimaksud marah di sini ialah marah yang sedemikian rupa, sehingga apa yang dikatakannya hamper-hampir di luar kesadarannya.


b. Syarat-syarat seorang isteri supaya sah ditalaq suaminya ialah:

· Isteri telah terikat denagn perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila akad-nikahnya diragukan kesahannya, maka isteri itu tidak dapat ditalaq oleh suaminya.

· Isteri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya dalam waktu suci itu.

· Isteri yang sedang hamil.


c. Syarat-syarat pada sighat talaq

Sighat talaq ialah perkataan/ucapan yang diucapkan oleh suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talaq pada isterinya. Sighat talaq ini ada yang diucapkan langsung, seperti “saya jatuhkan talaq saya satu kepadamu”. Adapula yang diucapkan secara sindiran (kinayah), seperti “kembalilah ko orangtuamu” atau “engkau telah aku lepaskan daripadaku”. Ini dinyatakan sah apabila:

· Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talaq pada isterinya.

· Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan talaq kepada isterinya. Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan talaq kepda isterinya maka sighat talaq yang demikian tadi tidak sah hukumnya.

Mengenai saat jatuhnya talaq, ada yang jatuh pada saat suami mengucapkan sighat talaq (talaq “munziz”) dan ada yang jatuh setelah syarat-syarat dalam sighat talaq terpenuhi (talaq “muallaq”).


3.1.3. Macam-macam talaq


a. talaq raj’i adalah talaq, di mana suami boileh merujuk isterinya pada waktu iddah. talaq raj’i ialah talaq satu atau talaq dua yang tidak disertai uang ‘iwald dari pihak isteri.


b. talaq ba’in, ialah talaq satu atau talaq dua yang disertai uang ‘iwald dari pihak isteri, talaq ba’in sperti ini disebut talaq ba’in kecil. Pada talaq ba’in kecil suami tidak boleh merujuk kembali isterinya dala masa iddah. Kalau si suami hendak mengambil bekas isterinya kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan melaksanakan akad-nikah. Di samping talaq ba’in kecil, ada talaq ba’in besar, ialah talaq yang ketiga dari talaq-talaq yang telah dijatuhkan oleh suami. talaq ba’in besar ini mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali isterinya baik dalam masa ‘iddah maupun sesudah masa ‘iddah habis. Seorang suami yang mentalaq ba’in besar isterinya boleh mengawini isterinya kembali kalau telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

· Isteri telah kawin dengan laki-laki lain.

· Isteri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.

· Isteri telah dicerai oleh suaminya yang baru.

· Talah habis masa ‘iddahnya.


c. talaq sunni, ialah talaq yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Yang termasuk talaq sunni ialah talaq yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri dan talaq yang dijatuhkan pada saat isteri sedang hamil. Sepakat para ahli Fiqh, hukumnya talaq suami dalah halal.


d. talaq bid’i, ialah talaq yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-Quran maupun Sunnah Rasul. Hukumnya talaq bid’i dalah haram. Yang termasuk talaq bid’i ialah:

· talaq yang dijatuhkan pada isteri yang sedang haid atau datang bulan.

· talaq yang dijatuhkan pada isteri yang dalam keadaan suci tetapi telah dicampuri.

· talaq yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalaq isterinya untuk selama-lamanya.


3.1.4.. Talaq Ta'liq

Arti daripada ta'liq ialah menggantungkan, jadi pengertian talaq ta'liq ialah suatu talaq yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu.

Di Indonesia pembacaan talaq ta'liq dilakukan oleh suami setelah akad nikah. Adapun sighat talaq ta'liq yang tercantum dalam buku nikah dari Departemen Agama adalah sebagai berikut:

Sewaktu-waktu saya:

a. Meninggalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut;

b. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;

c. Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu;

d. Atau saya membiarkan/tidak memperdulikan isteri saya itu enam bulan lamanya.

Kemudian isteri saya tidak rela dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut dan isteri saya itu membayar uang sebesar Rp …….. sebagai ‘iwald (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talaq saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang ‘iwald (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.

talaq satu yang dijatuhkan suami berdasarkan ta'liq, mengakibatkan hak talaq suami tinggal dua kali, apabila keduanya kembali melakukan perkawinan lagi.

Kalau kita perhatikan jatuhnya talaq dengan ta'liq ini hampir sama dengan khuluk, sebab sama-sama disertai uang ‘iwald dari pihak isteri. Sehingga talaq yang dijatuhkan atas dasar ta'liq dianggap sebagai talaq ba’in, suami boleh mengambil isterinya kembali dengan jalan melaksanakan akad-nikah baru.




3.2. Syiqaq


Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.

Menurut Syekh Abdul ‘Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang boleh diangkat menjadi hakam adalah sebagai berikut:

a. Berlaku adil di antara pihak yang berpekara.

b. Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami-isteri itu.

c. Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami-isteri.

d. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.


3.3. Ila’


Arti daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalaq ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.

Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:

a. Suami yang mengila’ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.

b. Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri atau mentalaqnya.

Bila sampai batas waktu empat bulan itu habis dan suami belum mentalaq isterinya atau meneruskan hubungan suami-isteri, maka menurut Imam Abu Hanifah suami yang diam saja itu dianggap telah jatuh talaqnya satu kepada isterinya.

Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu:

a. Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau

b. Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau

c. Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga maka

d. Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.

Pembayaran kafarah ini pun juga harus dilaksanakan apabila suami mentalaq isterinya dan merujuknya kembali pada masa ‘iddah atau dalam perkawinan baru setelah masa ‘iddah habis.


3.4. Zhihar


Zhihar adalah prosedur talaq, yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta akibat zhihar sama dengan ila’. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:

a. Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu sama denagn punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi.

b. Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh Allah dan sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa.

c. Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri. Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar kafarahnya lebih dulu.

d. Bentuk kafarahnya adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan berurut menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yakni:

· Memerdekakan seorang budak, atau

· Puasa dua bulan berturut-turut, atau

· Memberi makan 60 orang miskin.


3.5. Fahisyah


Fahisyah atau faahisyah atau kekejian. Dalam hukum perkawinan mengenai soal-soal putusnya hubungan perkawinan ini, fahisyah diartikan sebagai zinah. Fahisyah adalah semua perbuatan buruk dari pihak suami atau pihak istri yang mencemarkan nama baik keluarga tersebut. Dengan demikian fahisyah dapat dimaksudkan dengan berbuat zina, pemabok, pemadat, penjudi dan sebagainya.

Penyelesaian persoalna jika terjadi fahisyah adalah pertama kali dengan mengadakan usaha untuk memperbaiki yang sudah terjadi tersebut, dan jika tidak berhasil dapat menjurus pada suatu perceraian. Kalau yang melakukan fahisyah itu adalah isteri maka suami menahan isteri agar insyaf dan kalau tidak berhasil suami dapat menjatuhkan talaq. Jika suami yang melakukan fahisyah sang isteri dapat mengambil keputusan untuk bercerai.


3.6. Khuluk


Talaq khuluk atau talaq tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya talaq satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.

Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi hak talaq yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”.

Syarat sahnya khuluk ialah:

a. Perceraian dengan khuluk itu harus dilaksanakan dengan kerelaan dan persetujuan suami-isteri.

b. Besar kecilnya uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan bersama antara suami-isteri.

Apabila tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai jumlah uang penebus, Hakim Pengadilan Agama dapat menentukan jumlah uang tebusan itu.

Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu, tidak usah menanti isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri, hal ini disebabkan karena khuluk itu terjadi atas kehendak isteri sendiri.


3.7. Fasakh


Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.

Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di pengadilan:

a. Suami sakit gila.

b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh.

c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin.

d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya.

e. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.

f. Suami pergi tanpa diketahui tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.


3.8. Li’an


Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya.

Proses pelaksanaan perceraian karena li’an diatur dalam Al-Quran syrat An-Nur ayat 6-9, sebagai berikut:

a. Suami yang menuduh isterinya berzina harus mengajukan saksi yang cukup yang turut menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut.

b. Kalau suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya ia tidak terkena hukuman menuduh zina, ia harus mengucapkan sumpah lima kali. Empat kali dari sumpah itu ia menyatakan bahwa tuduhannya benar, dan sumpah kelima menyatakan bahwa ia sanggup menerima laknat Tuhan apabial tuduhannya tidak benar (dusta).

c. Untuk membebaskan diri dari tuduhan si isteri juga harus bersumpah lima kali. Empat kali ia menyatakan tidak bersalah dan yang kelima ia menyatakan sanggup menerima laknat Tuhan apabila ia bersalah dan tuduhan suaminya benar.

d. Akibat dari sumpah ini isteri telah terbebas dari tuduhan dn ancaman hukuman, namun hubungan perkawinan menjadi putus untuk selama-lamanya.



3.9. Murtad


Jika ada salah satu dari suami atau isteri yang keluar dari agama islam atau murtad, maka putuslah hubungan pernikahan mereka. Jika pihak wanita telah bersusah payah untuk bercerai tetapi tidak bisa karena suami tetap mempertahankannya, maka sang isteri memaklumkan dirinya untuk keluar dari agama islam dan putuslah hubungan pernikahan mereka. Jangan sampai hal ini dipergunakan untuk dapat terjadinya perceraian suami isteri. Suami tidak boleh bersikeras menahan isterinya  yang memang tidak dapat hidup bersama lagi dalam menuju kebaikan menurut kehendak Allah. Dalam hal ini digunakan prosedure syiqaq untuk menyelesaikan masalah ini.



4. Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan


4.1. Cara-cara Putusnya Perkawinan


Di dalam Undang-Undang perkawinan tidak diatur secara rinci mengenai cara-cara perceraian seperti yang diatur dalam Hukum Islam, melainkan hanya menyebut secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ini dalam tiga golongan seperti yang tercantum dalam pasal 38 sebagai berikut:

a. Karena kematian salah satu pihak

Putusnya hubungan perkawinan karena kematian salah satu pihak tidak banyak menimbulkan persoalan karena putusnya perkawinan di sini bukan karena kehendak salah satu pihak, tetapi karena kehendak Tuhan.

b. Perceraian

Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Walaupun perceraian itu urusan pribadi, tetapi perlu ada campur tangan pemerintah karena demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum.



4.2. Alasan-alasan Perceraian


Berdasarkan pasal 39 ayat 2 beserta penjelasannya dan dipertegas lagi dalam pasal 19 P.P. No. 9/1975, alasa menggugat perceraian sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahaykan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumahtangga.


4.3. Tatacara Perceraian


Berdasarkan pasal 39-41 Undang-Undang Perkawinan dan dalam Peraturan Pemerintah No. 9/1975 pasal 14-36, perceraian ada 2 macam yaitu:

a. Cerai talaq

Tatacara tentang seorang suami yang hendak mentalaq isterinya diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 14-18 yang pada dasarnya dalah sebagai berikut:

· Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Di sini ditegaskan bahwa pemberitahuan itu harus dilakukan secara tertulis dan yang diajukan oleh suami tersebut bukanlah surat permohonan tetapi surat pemberitahuan. Setelah terjadi perceraian di muka Pengadilan, maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.

· Setelah pengadilan menerima surat pembritahuan tersebut, kemudian setelah mempelajarinya, selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima surat itu, Pengadilan memanggil suami dan isteri yang akan bercerai itu, untuk dimintai penjelasan.

· Setelah Pengadilan mendapat penjelasan dari suami-isteri, ternayat memang terdapat alasan-alasan untuk bercerai dan Pengadilan berpendapat pula bahwa antara suami-isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumahtangga, maka Pengadilan memutuskan untuk mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu.

· Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu di dalam sidang tersebut.

· Kemudian Ketua Pengadilan memberi surat keterangn tentang terjadinya perceraian tersebut, dan surat keterangan tersebut dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.

· Perceraian itu terjadi terhitung pada saat terjadi perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.



b. Cerai gugat

Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dan perceraian itu terjadi dengan suatu putusan Pengadilan.

Tatacara perceraian ini diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 20-36 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:

· Pengajuan gugatan

ü Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tergugat.

ü Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai kediaman yang tetap, begitu juga tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.

ü Demikian juga gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat penggugat.

· Pemanggilan

a) Pemanggilan harus disampaikan kepda pribadi yang bersangkutan apabila tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan dengannya. Pemanggilan ini dilakukan setiap akan dilakukan persidangan.

b) Yang melakukan pemanggilan tersebut adalah jurusita (Pengadilan Negeri) dan petugas yang ditunjuk (Pengadilan Agama).

c) Panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut dan sudah diterima oleh para pihak atau kuasanya selambat-lambatanya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat harus dilampiri dengan salinan surat gugat.

d) Pemanggilan bagi tergugat yang tempat kediamannya tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkan melalui satu atau beberapa suratkabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan yang dilakukan dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.

e) Apabila tergugat berdiam di luar negeri pemanggilannya melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

· Persidangan

a) Persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan oleh Pengadilan selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat gugatan di Kepaniteraan. Khusus bagi gugatan yang tergugatnya bertempat kediaman di luar negeri, persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhiitung sejak dimasukkannua gugatan perceraian itu.

b) Para pihak yang berpekara dapat menghadiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan.

c) Apabila tergugat tidak hadir dan sudah dipanggil sepatutnya, maka gugatan itu dapat diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali kalau gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

d) Pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

· Perdamaian

a) Pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak baik sebelum maupun selama persidangan sebelum gugatan diputuskan.

b) Apabila terjadi perdamaian maka tidak boleh diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

c) Dalam usaha mendamaikan kedua belah pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang lain atau badan lain yang dianggap perlu.

· Putusan

a) Pengucapan putusan Pengadilan harus dilakukan dalam sidang terbuka.

b) Putusan dapat dijatuhkan walaupun tergugat tidak hadir, asal gugatan itu didasarkan pada alasan yang telah ditentukan.

c) Perceraian dianggap terjadi dengan segala akibat-akibatnya terdapat perbedaan antara orang yang beragama Islam dan yang lainnya. Bagi yang beragama Islam perceraian dianggap terjadi sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedang bagi agama lain terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat.


4.4. Akibat Perceraian


Hal-hal apa yang perlu dilakukan oleh pihak isteri maupun suami setelah terjadi perceraian diatur dalam pasal 41 Undang-Undang Perkawinan yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggungjawab pihak bapak, kecuali dalam kenyataannya bapak dalam keadaan tidak mampu sehingga tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar