cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

hukum acara perdata perma no 1 tahun 2008

Ringkasan Undang-undang No. 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi
Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses keadilan yang lebih besar kepada para pihak dalam menemukan penyelesaian sengketa yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga non-pradilan untuk penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (Ajudikatif).

Hukum acara yang sepnjang ini berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri
Sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa perdata, kedua aturan tersebut menjadi landasan.

Setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003, ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No
2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan Perma No 1 Tahun 2008 terbit setelah melalui sebuah kajian oleh tim yang dibentuk Mahkamah Agung Salah satu lembaga yang intens mengikuti kajian mediasi ini adalah Indonesian Institute for Coflict Transformation (IICT)

Perma Nomor 1 Tahun 2008 terdiri dari VIII Bab dan 27 pasal yang telah ditetapkan oleh Ketua Makamah Agung pada tanggal 31 Juli 2008
Perma No. 1 Tahun 2008 membawa beberapa perubahan penting, bahkan menimbulkan implikasi hukum jika tidak dijalani. Misalnya, memungkinan para pihak menempuh mediasi pada tingkat banding atau kasasi Perubahan-perubahan itu penting dipahami oleh para hakim, penasihat hukum, advokat, pencari keadilan, dan mereka yang berkecimpung sebagai mediator atau arbiter.

Hal ini berbeda dengan substansi dari Perma Nomor 2 Tahun 2003, dimana Mediasi hanya diwajibkan pada saat perkara belum masuk ke pengadilan saja (hanya ditawarkan pada awal). Mediasi dalam Perma Nomor 2 tahun 2003, merupakan mediasi yang di adopsi dari proses perdamaian di pengadilan.
Sedangkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 muncul karena Perma No. 2/2003 memiliki kelemahan, ada beberapa hal yang perlu penyempurnaan Mulai tahun 2006 dibentuk working group team untuk meneliti hal-hal yang perlu disempurnakan. Produk akhirnya adalah Perma 1/2008. Working group ini terdiri dari beberapa pihak, mulai sektor kehakiman, advokat, maupun organisasi yang selama ini concern terhadap mediasi yaitu IICT (Indonesian Institute for Conflict Transformation), dan dari Pusat Mediasi Nasional (PMN). Tidak seperti Perma Nomor 2 Tahun 2003 yang hanya mengadopsi dari proses perdamaian di pengadilan.

Terbitnya Perma 2008 ini sebagai suatu yang positif untuk membantu masyarakat, advokat, dan hakim untuk lebih memahami mediasi
Jika dibandingkan dengan Perma 2003, Perma 2008 memang lebih komprehensif Jumlah pasal juga jauh lebih banyak dan lebih detail mengatur proses mediasi di pengadilan. Walaupun lebih detail, lebih lengkap belum tentu lebih baik. Karena mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa, merupakan proses yang seharusnya fleksible dan memberikan kesempatan luas kepada para pihak untuk melakukan perundingan atau mediasi itu sendiri agar mencapai hasil yang diinginkan.

Seringkali pengaturan yang rigid atau detail akan memberikan beban kepada para pihak. Hal tersebut merupakan salah satu efek jika sebuah aturan diatur dengan rigid dan detail. Salah satu ketentuan menarik dari Perma No. 1 tahun 2008 adalah Pasal 2 ayat 3, yang menyatakan bahwa:

“Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 130 HIR yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”. 

Ketentuan ini perlu diperhatikan berbagai pihak, semua putusan pengadilan dapat batal demi hukum jika tidak melakukan prosedur mediasi yang didasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 ini.

Perma No
1 tahun 2008 mencoba memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap, lebih detail sehubungan dengan proses mediasi di pengadilan. Diarahkannya para pihak yang berpekara untuk menempuh proses perdamaian secara detail, juga disertai pemberian sebuah konsekuensi, bagi pelanggaran, terhadap tata cara yang harus dilakukan, yaitu sanksi putusan batal demi hukum atas sebuah putusan hakim yang tidak mengikuti atau mengabaikan Perma No. 1 tahun 2008 ini.

Jika diperbandingkan dengan Perma No. 2 tahun 2003, maka Perma 2003 tidak memberikan sanksi, dalam Perma 2003, banyak aspek yang tidak diatur terutama mediasi di tingkat banding dan kasasi, sedangkan Perma No. 1 tahun 2008 mengatur kemungkinan mengenai hal itu.

Perubahan mendasar dalam Perma No
1 tahun 2008, dapat dilihat dalam Pasal 4, yaitu batasan perkara apa saja yang bisa dimediasi. Namun ketentuan tersebut belum menentukan kreteria secara spesifik mengenai perkara apa yang bisa dimediasi atau tidak bisa di mediasi. Pendekatan Perma ini adalah pendekatan yang sangat luas. Dalam Perma ini, semua perkara selama tidak masuk dalam kreteria yang dikecualikan, diharuskan untuk menempuh mediasi terlebih dahulu.

Kewajiban mediasi bagi pihak yang berpekara bermakna cukup luas. Para pihak diwajibkan untuk melakukan mediasi dalam menyelesaikan perkara-perkara sepanjang tidak dikecualikan dalam pasal 4 yaitu pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas keputusan BPSK, dan keberatan atas keputusan KPPU.

Semua sengketa perdata wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator
Perma No. 1 tahun 2008 tidak melihat pada nilai perkara, tidak melihat apakah perkara ini punya kesempatan untuk diselesaikan melalui mediasi atau tidak, tidak melihat motivasi para pihaknya, tidak melihat apa yang mendasari iktikad para pihak mengajukan perkara, tidak melihat apakah para pihak punya sincerity (kemauan atau ketulusan hati untuk bermediasi atau tidak). Tidak melihat dan menjadi persoalan berapa banyak pihak yang terlibat dalam perkara dan dimana keberadaan para pihak, sehingga dapat dikatakan Perma No 1 tahun 2008 memiliki pendekatan yang sangat luas.

Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008, Peran mediator menurut pasal 5 menegaskan, ada kewajiban bagi setiap orang yang menjalankan fungsi mediator untuk memiliki sertifikat, ini menunjukan keseriusan penyelesai sengketa melalui mediasi secara profesional
Mediator harus merupakan orang yang qualified dan memiliki integritas tinggi, sehingga diharapkan mampu memberikan keadilan dalam proses mediasi. Namun mengingat bahwa Perma No. 1 tahun 2008 mewajibkan dan menentukan sanksi (pasal 2), maka perlu dipertimbangkan ketersedian dari Sumber daya Manusianya untuk dapat menjalankan mediasi dengan baik.

Upaya mediasi wajib ini harus dilakukan dengan hati-hati
Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak beriktikad baik. Sistim pengadilan sekarang banyak dikeluhkan memberikan kesempatan bagi pihak yang beriktikad tidak baik untuk mengajukan perkara atau gugatan yang tidak cukup kuat kepentingan hukumnya atau alas haknya. Tujuannya hanya untuk mengganggu atau merepotkan pihak lain. Mediasi wajib akan mengakibatkan proses berperkara di pengadilan semakin panjang karena ada prosedur yang wajib ditempuh. Sedangkan pada dasarnya mediasi adalah bagian dari alternatif penyelesaian sengketa yang harusnya dilakukan atas dasar sukarela (voluntir), kesuksesan mediasi sangat tergantung pada kemauan atau keinginan para pihak.

Menjadi persoalan mendasar jika para pihak yang berpekara tidak mempunyai keinginan atau kemauan untuk melakukan mediasi, hal itu akan menyebabkan keadaan atau situasi yang tidak efektif terhadap keharusan melakukan mediasi
Akan tetapi, secara medasar perlu dipahami bahwa kemampuan para pihak melihat sebuah alternatif dalam menyelesaikan perkara yang dihadapi biasanya terbatas, sehingga perlu didorong untuk dapat melihat dan mengetahui sebuah cara-cara yang tidak terpikirkan dan terbayangkan sebelumnya. Dengan kondisi tersebut, diharapkan para pihak mampu menemukan dan melihat sisi positif dari proses mediasi yang ditawarkan.

Kunci utama dalam mediasi adalah permasalahan waktu
Dalam sengketa-sengketa bisnis, semakin panjang waktu yang terbuang untuk menyelesaikan sengketa adalah kerugian besar terhadap kepentingan bisnis mereka. Jika menggunakan penyelesaian sengketa melalui peradilan biasa, perlu dipertimbangkan system pengadilan yang unpredictable, dapat mendorong pilihan penyelesaian pekara melalui mediasi.

Pada era Perma Nomor 2 tahun 2003, banyak pihak menggunakan mediasi karena tuntutan dari Perma dan merupakan formalitas yang belum ada sanksinya
Sekarang situasi tersebut dapat saja terjadi kembali. Para pihak mengikuti proses mediasi bukan karena keinginan hati, bukan karena mereka melihat ada peluang baik dari proses penyelesaian sengketa melalui mediasi atau melihat adanya keuntungan dari mediasi. Tetapi lebih karena kekhawatiran putusan mereka akan batal demi hukum apabila tidak mengikuti proses mediasi.

Pemahaman atas nature mediasi dan manfaatnya masih belum maksimal
Banyak masyarakat yang memahami mediasi sekedar bertemu dengan pihak ketiga sebagai mediator, tapi mereka tidak melihat adanya manfaat lebih dari proses mediasi tersebut. Sehingga pemahaman mengenai mediasi sangat penting. Seharusnya proses memberikan pemahaman terhadap manfaat penyelesaian perkara melalui mediasi (sosialisasi), harus dilakukan terlebih dahulu secara maksimal sehingga masyarakat mendapatkan pemahaman dan pengetahuan akan pentingnya proses penyelesaian perkara melalui mediasi, idealnya sebelum Perma No 1 tahun 2008 diberlakukan. Lebih jauh, meminjam pernyataan Frehman bahwa pembangunan cultur hukum adalah bagian ujung yang terpenting, artinya proses penyelesaian perkara melalui mediasi adalah budaya hukum masyarakat.

Hal ideal yang seharusnya terjadi adalah adanya tuntutan masyarakat pentingnya mediasi dalam proses penyelesaian perkara harus lebih tinggi dan kemudian pengadilan memfasilitasinya, akan tetapi, saat ini masyarakat belum menunjukan adanya kebutuhan mendesak perlunya mediasi dan tidak paham arti dari mediasi, sehingga Perma No. 1 2008 mendobrak semua keadaan tersebut, hasilnya adalah sebuah pertanyaan, apakah Perma Nomor 1 Tahun 2008 akan efektif , dengan segala komponen pendukung yang belum tersedia?, harus diingat bahwa Filosofi Alternative Dispute Resolution khususnya mediasi adalah sukarela dan untuk membantu, bukan untuk membebani.



BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Perma adalah Peraturan Mahkamah Agung Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 2. Akta perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa. 3. Hakim adalah hakim tunggal atau majelis hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk mengadili perkara perdata; 4. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya; 5. Kesepakatan perdamaian adalah dokumen yang memuat syarat-syarat yang disepakati oleh para pihak guna mengakhiri sengketa yang merupakan hasil dari upaya perdamaian dengan bantuan seorang mediator atau lebih berdasarkan Peraturan ini; 6. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian; 7. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator; 8. Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bukan kuasa hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian; 9. Prosedur mediasi adalah tahapan proses mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan ini; 10. Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap pihak yang memuat duduk perkara dan atau usulan penyelesaian sengketa; 11. Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung; 12. Proses mediasi tertutup adalah bahwa pertemuan-pertemuan mediasi hanya dihadiri para pihak atau kuasa hukum mereka dan mediator atau pihak lain yang diizinkan oleh para pihak serta dinamika yang terjadi dalam pertemuan tidak boleh disampaikan kepada publik terkecuali atas izin para pihak. 13. Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat Pertama dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama. 14. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan tinggi dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama.

Pasal 2 Ruang lingkup dan Kekuatan Berlaku Perma

(1) Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan. (2) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini. (3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. (4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

Pasal 3 Biaya Pemanggilan Para Pihak

(1) Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya perkara. (2) Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan para pihak. (3) Jika mediasi gagal menghasilkan kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak dalam proses mediasi dibebankan kepada pihak yang oleh hakim dihukum membayar biaya perkara.

Pasal 4 Jenis Perkara Yang Dimediasi

Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator.

Pasal 5 Sertifikasi Mediator

(1) Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (6), setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2) Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di lingkungan Pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator. (3) Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia; b. memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau pelatihan sebagai instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi; c. sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan untuk mediator bersertifikat di pengadilan; d. memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan yang disahkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Pasal 6 Sifat Proses Mediasi Proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain.
BAB II Tahap Pra Mediasi Pasal 7 Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dan Kuasa Hukum

(1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. (2) Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi. (3) Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. (4) Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. (5) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. (6) Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.

Pasal 8 Hak Para Pihak Memilih Mediator

(1) Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut: a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan; b. Advokat atau akademisi hukum; c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa; d. Hakim majelis pemeriksa perkara; e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d. (2) Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri.


Pasal 9 Daftar Mediator


(1) Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan disertai dengan latarbelakang pendidikan atau pengalaman para mediator. (2) Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator. (3) Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator. (4) Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar mediator pada pengadilan yang bersangkutan. (5) Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator. (6) Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar mediator. (7) Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar mediator berdasarkan alasan-alasan objektif, antara lain, karena mutasi tugas, berhalangan tetap, ketidakaktifan setelah penugasan dan pelanggaran atas pedoman perilaku.

Pasal 10 Honorarium Mediator

(1) Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya. (2) Uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak.

Pasal 11 Batas Waktu Pemilihan Mediator

(1) Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim. (2) Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua majelis hakim. (3) Ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan tugas. (4) Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud ayat (1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. (5) Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator. (6) Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi mediator.

Pasal 12 Menempuh Mediasi dengan Iktikad Baik

(1) Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik. (2) Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik.

BAB III Tahap-Tahap Proses Mediasi Pasal 13 Penyerahan Resume Perkara dan Lama Waktu Proses Mediasi

(1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. (2) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. (3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dan (6). (4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 3. (5) Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara. (6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.

Pasal 14 Kewenangan Mediator Menyatakan Mediasi Gagal

(1). Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. (2) Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.

Pasal 15 Tugas-Tugas Mediator

(1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati. (2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi. (3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. (4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

Pasal 16 Keterlibatan Ahli

(1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak. (2) Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang ahli. (3) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.


Pasal 17 Mencapai Kesepakatan


(1) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. (2) Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. (3) Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik. (4) Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian. (5) Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. (6) Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai.

Pasal 18 Tidak Mencapai Kesepakatan

(1). Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3), para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. (2). Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. (3) Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. (4) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan.

Pasal 19 Keterpisahan Mediasi dari Litigasi

(1) Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain. (2) Catatan mediator wajib dimusnahkan. (3) Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan. (4) Mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.

BAB IV Tempat Penyelenggaraan Mediasi Pasal 20

(1) Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para pihak. (2) Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan. (3) Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya. (4) Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan.

BAB V PERDAMAIAN DI TINGKAT BANDING, KASASI, DAN PENINJAUAN KEMBALI Pasal 21

(1) Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. (2) Kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili. (3) Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili segera memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding yang berwenang atau Ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian. (4) Jika perkara yang bersangkutan sedang diperiksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali majelis hakim pemeriksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian. (5) Jika berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali belum dikirimkan, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan wajib menunda pengiriman berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali untuk memberi kesempatan para pihak mengupayakan perdamaian.

Pasal 22

(1) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak penyampaian kehendak tertulis para pihak diterima Ketua Pengadilan Tingkat Pertama. (2) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara tersebut di tingkat pertama atau di tempat lain atas persetujuan para pihak. (3) Jika para pihak menghendaki mediator, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan menunjuk seorang hakim atau lebih untuk menjadi mediator. (4) Mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), tidak boleh berasal dari majelis hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan pada Pengadilan Tingkat Pertama, terkecuali tidak ada hakim lain pada Pengadilan Tingkat Pertama tersebut. (5) Para pihak melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dapat mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majelis hakim tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. (6) Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis hakim banding, kasasi, atau peninjauan kembali dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dicatat dalam register induk perkara. (7) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) peraturan ini, jika para pihak mencapai kesepakatan perdamaian yang telah diteliti oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan para pihak menginginkan perdamaian tersebut dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, berkas dan kesepakatan perdamaian tersebut dikirimkan ke pengadilan tingkat banding atau Mahkamah Agung.

Bab VI Kesepakatan di Luar Pengadilan Pasal 23

(1) Para pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan. (2) Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa. (3) Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. sesuai kehendak para pihak; b. tidak bertentangan dengan hukum; c. tidak merugikan pihak ketiga; d. dapat dieksekusi. e. dengan iktikad baik.


Bab VII Pedoman Perilaku Mediator dan Insentif Pasal 24

(1) Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaati pedoman perilaku mediator (2) Mahkamah Agung menetapkan pedoman perilaku mediator.

Pasal 25

(1) Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. (2) Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator.

BAB VIII Penutup Pasal 26

Dengan berlakunya Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 27

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 31 Juli 2008
KETUA MAHKAMAH AGUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar