cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

hukum acara perdata 3

Hukum Acara Perdata

Definisi
·         Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum pidana materiil dengan perantaraan hakim. Dapat dikatakan juga bahwa hukum acara perdata adalah hukum perdata dalam arti formil.

·         Menurt Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana cara mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskannya dan pelaksanaan dari pada putusannya.

·         Menurut Ny. Retnowulan Sutantio, S.H., Hukum Acara Perdata disebut juga hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.

·         Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-perturan hukum perdata.

·         Penggugat adalah seseorang atau badan hukum yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain. Apabila penggugat lebih dari satu disebut para penggugat.

·         Tergugat adalah seseorang yang dirasa telah melanggar hak orang lain. Apabila tergugat lebih dari satu disebut para tergugat.

·         Turut tergugat adalah seseorang atau badan hukum yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi demi formalitas gugatan harus dilibatkan guna dalam petitum sebagai pihak yang tunduk dan taat pada putusan hakim perdata.


Dasar Hukum
1.     HIR atau Herziene Indonesich Reglemen atau Reglemen Indonesia Baru dengan dasar hukum keberlakuannya yaitu Stb. 1941 Nomor 44
2.     Rbg atau Reglement Buitengewesten dengan dasar hukum keberlakuannya yaitu Stb. 1927 Nomor 227
3.     Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
4.     Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum.
5.     Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung
6.     Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Arbitrase
7.     Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pengadilangan Niaga
8.     Undang-Undang Nomor 23 Tahun1997 Tentang Lingkungan Hidup
9.     Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
10.                         Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Mediasi
11.                         Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Class Action
12.                         Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Gijzeling (Lembaga        Penyanderaan)
13.                         Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Mediasi

Sifat Hukum Acara Perdata
Sifat Hukum Acara Perdata yang pertama adalah inisiatif berasal dari seseorang/beberapa orang yang merasa hak-haknya dilanggar.
Sifat Hukum Acara Perdata yang kedua adalah jika dilihat dari aspek pembagian hukum berdasarkan kekuatan sanksinya maka hukum acara perdata pada umumnya bersifat memaksa/dwingend recht
Sifat Hukum Acara Perdata yang ketiga adalah jika ditinjau dari aspek pendapat Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Sifat kesederhanaan dalam beracara di depan sidang pengadilan.



Asas-Asas Hukum Acara Perdata
1.     Hakim Bersifat Menunggu
Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim, demikianlah bunyi pemeo yang tidak asing lagi. Jadi, tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya. Hanya yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya. Selain itu, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan/mengajukan putusan untuk hal-hal yang tidak dituntut.

2.      Hakim Pasif
Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan (Pasal 5 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004). Hakim harus aktif dalam memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran.

3.      Sifat Terbukanya Persidangan
Berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari asas ini tidak lain untuk mmemberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektivitas peradilangan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat. ( Pasal 19 ayat (1) dan 20 UU No. 4 Tahun 2004)

4.      Mendengar kedua belah pihak
Kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak membedakan orang.  (Pasal 5 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004) mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang berpekara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk member pendapatnya.

5.      Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004 ), (184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan-jawab hakim dari pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenya mempunyai nilai obyektif.
6.      Beracara Dikenakan Biaya
Untuk berpekara pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 3 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2004, 121 ayat 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg) Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan biaya. Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat kepala kepolisian (Pasal 237 HIR. 273 Rbg)

7.      Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 Rbg). Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk mengajukan gugatan lisan tidak berlaku bagi kuasa. Wakil mempunyai manfaat juga, orang yang belum pernah berhubungan dengan pengadilan dan harus berpekara, biasanya gugup menghadapi hakim, maka seorang pembantu atau wakil sangat bermanfaat.

Badan Peradilan dan Lingkungan Peradilan
Kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan umum dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan berpuncak pada Mahkamah Agung.
·         Pengadilan Negeri dalam melaksanakan tugas pokoknya :
1.      Menerima, Memeriksa, dan Mengadili
2.      Menyelesaikan setiap perkara dan merupakan peradilan tingkat pertama (judex factie)
Pengadilan Negeri disebut juga sebagai pengadilan tingkat pertama/original jurisdiction
·         Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding yang bertugas memeriksa kembali/memeriksa ulang perkara yang telah diputus oleh pengadilan negeri. Pengadilan Tinggi disebut juga sebagai appellate jurisdiction yaitu mengulang perkara yang telah diputus oleh pengadilan dalam peradilan tingkat pertama.

Pengadilan Tinggi yang terjadi adalah pemeriksaan dalam tingkat kedua dan terakhir. Perkara diperiksa secara keseluruhan, baik dari segi peristiwanya maupun dari segi hukumnya.

·         Mahkamah Agung tidak memeriksa kembali/memeriksa ulang perkara yang telah diputus di Pengadilan Negeri dan/atau Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung hanya memeriksa mengenai penerapan hukum saja (apakah sudah lengkap atau belum) ini disebut judex juris. Mahkamah Agung dalah Pengadilan Negara Tertinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar