cari tugasmu

Selasa, 31 Mei 2011

hukum pidana analisa kasus

Teori Tempus Delicti
Teori Tempus Delicti adalah ketentuan tentang waktu terjadinya tindak pidana yang berkenaan dengan pasal 1 ayat (2) KUHP yaitu asas tidak berlaku surut.
Teori Tempus Delicti dibagi menjadi 4 yaitu;
            A. Teori Perbuatan Fisik
            B. Teori Bekerjanya Alat Yang Digunakan
            C. Teori Akibat
            D. Teori Waktu Yang Jamak
Dalam kasus ini waktu terjadinya delik adalah saat korban dianiaya. Dalam kasus ini teori yang dipakai adalah teori Perbuatan Fisik karena waktu pelaksanaan pidana adalah saat korban dianiaya.

Teori Locus Delicti
Teori Locus Delicti adalah ketentuan tentang tempat terjadinya tindak pidana.
Teori Tempus Delicti dibagi menjadi 4 yaitu;
            A. Teori Perbuatan Fisik
            B. Teori Bekerjanya Alat Yang Digunakan
            C. Teori Akibat
            D. Teori Tempat Yang Jamak
Dalam kasus ini tempat terjadinya delik ditentukan pada tempat korban dianiaya, yaitu ___________________________. Dalam kasus ini teori yang dipakai adalah teori Perbuatan Fisik karena lokasi tempat terjadinya delik ditentukan pada tempat korban dianiaya.


Berlaku asas teritorial yaitu mengacu kepada pasal 2 KUHP yang isinya;
Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia.

Pelaku menganiaya korban di _______, ________, Indonesia. Oleh karena itu asas yang berlaku adalah asas teritorial.

Dolus atau Opzet atau Sengaja adalah dikehendaki dan diketahui (willens en wetens).yaitu pelaku menghendaki dan mengetahui tindak pidana yang akan ia laksanakan.
Adapun teori-teori sengaja yaitu;
1).        Teori kehendak (wils theorie)
            Opzet ada apabila perbuatan dan akibat suatu delik dikehendaki pelaku.
2).        Teori bayangan (voorstellings-theorie)
            Opzet ada apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan, ada bayangan       yang terang bahwa akibat yang bersangkutan tercapai, maka dari itu ia      menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu.
Bentuk-bentuk dolus
1).        Dolus sebagai maksud tujuan
2).        Dolus dengan kesadaran akan keniscayaan akibat dengan keinsyafan kepastian (sadar kepastian/noodzakelijkheidsbewustzijn)
3).        Dolus dengan kesadaran akan besarnya kemungkinan/kesengajaan dengan        keinsyafan kemungkinan (opzet met waarschijnlijkheids bewustzijn/awareness of      probability)
4).        Dolus eventualis yaitu kesengajaan bersyarat yang dengan mengetahui dan         menghendaki menerima risiko yang besar.
Bentuk dolus terdakwa adalah dolus sebagai maksud karena tedakwa menghendaki dan mengetahui akibat dan perbuatannya. Pelaku menganiaya korban dengan menghendaki dan mengetahui akibat apa yang akan diterima oleh pelaku maupun korban jika delik dilaksanakan. Oleh karena itu, pelaku melakukan delik ini sebagai keinsyafan tujuan.

Ajaran kausalitas adalah hal sebab-akibat, yaitu hubungan logis antara sebab-akibat. Lebih jelasnya adalah setiap peristiwa selalu memiliki penyebab sekaligus menjadi sebab peristiwa lain yang dimana sebab dan akibat membentuk mata rantai yang bermula di suatu masa lalu. Yang menjadi fokus perhatian ahli hukum pidana bukanlah makna diatas, namun makna yang dapat dilekatkan pada pengertian kausalitas agar mereka dapat Manawa persoalan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu akibat tertentu.

Ajaran kausalitas diperlukan pada:
A).       delik materiil, karena perumusannya melarang timbulnya akibat.
B).       delik omisi tidak murni (delicta commissural per omissionem/oneigenlijk             omissiedelicten), karena delik yang terjadi dengan dilanggarnya suatu larangan         yang menimbulkan akibat yang dilakukan dengan perbuatan pasif.
C).       delik yang terkualifikasi, karena delik yang terkualifisir dengan timbul akibat.      Pengualifikasian delik juga dapat dilakukan atas dasar akibat yang muncul setelah            delik dilakukan.

Karena kasus ini merupakan delik yang terkualifikasi, kasus ini memerlukan ajaran kausalitas. Hal ini dikarenakan delik  yang terkualifikasi adalah delik yang terkualifikasi dengan timbulnya akibat. Teori kausalitas yang dipakai pada kasus ini adalah teori menggeneralisasi adequat subjectif oleh Von Kries, yaitu; sebab adalah keseluruhan faktor positif dan negatif yang tidak dapat dikesampingkan tanpa sekaligus meniadakan akibat. Namun pembatasan demi kepentingan penetapan pertanggungjawaban pidana tidak dicari dalam nilai kualitatif/kuantitatif atau berat ringannya faktor dalam situasi kongkret, tetapi dinilai dari makna semua itu secara umum, kemungkinan dari faktor-faktor tersebut untuk memunculkan akibat tertentu. Sebab sama dengan syarat-syarat yang dalam situasi dan kondisi tertentu memiliki kecenderungan untuk memunculkan akibat tertentu, biasanya memunculkan akibat itu, atau secara objektif memperbesar kemungkinan munculnya akibat tersebut.
Muncul pertanyaan apakah suatu tindakan memiliki kecenderungan memunculkan akibat tertentu hanya dapat deselesaikan apabila kita memiliki dua bentuk pengetahuan?
1).        Hukum umum probabilitas dalam peristiwa yang terjadi/pengetahuan Nomologis yang memadai
2).        Situasi faktual yang melingkupi peristiwa yang terjadi/pengetahuan ontologis/pemahaman fakta    (empirik).

Vonis hakim dalam kasus ini hanya dua tahun dari hukuman maksimal lima tahun penjara. Pasal yang dikenakan terhadap pelaku tidak maksimal karena menurut pasal 351 ayat (2) Jo. Pasal 90 KUHP yang isinya adalah;
            “jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun”;
            “luka-luka berat ialah:
Ÿ  Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau menimbulkan bahaya maut;
Ÿ  Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
Ÿ  Kehilangan salah satu pancaindera;
Ÿ  Mendapat cacat berat (verminking);
Ÿ  Menderita sakit lumpuh;
Ÿ  Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
Ÿ  Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.”

Mengacu pada pasal 90 Kitab Undang-undang Hukum Pidana poin pertama yaitu ‘jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau menimbulkan bahaya maut’, pelaku seharusnya didakwa paling lama lima tahun karena tindakan pelaku mendapat pemberatan dikarenakan salah satu luka yang diterima adalah terburainya usus korban yang mana dapat menimbulkan bahaya maut sebagaimana terdapat pada poin pertama pasal 90 KUHP.

Saya rasa vonis hakim kurang berat karena tidak sebanding dengan apa yang dihadapi korban dan keluarganya sebagai pihak yang dirugikan atas kejadian ini. Ditambah lagi tidak dilihatnya pasal pemberat ayat (2) yang menurut saya usus terburai adalah sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya maut.



Daftar Pustaka

Depkumham (2008).Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Setelah Amandemen. http://www.depkumham.go.id/NR/rdonlyres/FA26FEE4-D994-40A8-BE0E-9F3FA7CFBD95/0/UUDdlmsatunaskah.pdf, diakses pada tanggal 29 Maret 2010, pukul 15.39 WIB.
Fun (2009). Kriminalitas Tahun 2008 Menurun. http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=54417, diakses pada tanggal 29 Maret 2010, pukul 15.58.
Har (2008). Penganiayaan Meningkat. http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=8338, diakses pada tanggal 29 Maret 2010, pukul 15.45 WIB.
Kansil (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Moeljanto (2009). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Soetami, Siti (2001). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung :  PT. Refika Aditama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar